TAKLIK TALAK


Istilah taklik talak dalam fikih biasa disebut dengan talak  mu’allaq. Kata taklik talak terdiri dari dua kata, yakni taklik dan talak. Kata taklik   berasal dari bahasa arab ‘allaqa yu’alliqu ta’līqan[1] yang berarti menggantungkan. Sedangkan kata talak berasal dari kata tallaqa   yutliqu  tatlīqan yang berarti  mentalak  atau menceraiakan.

Jadi dari sisi bahasa taklik talak mempunyai arti talak yang digantungkan. Artinya penggantungan talak antara suami isteri terhadap sesuatu perkara yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan syarat (adawāt al-syarth) seperti: kata jika (إِنَّ) apabila (إِذَا) manakala (مَتَى) dan sebagainya.[2]

Menurut Sayyid Ustman jika taklik talak itu menggunakan kata-kata syarat sebagaimana di atas, yaitu (إِنَّ), (إِذَا) dan (مَتَى), maka sighat taklik itu berlaku sekaligus. Artinya jika telah terjadi perceraian baik karena talak raj’i maupun lainya maka kekuatan taklik talak yang diucapakan suami gugur.[3]

Taklik talak merupakan pernyataan jatuhnya talak atau cerai sesuai dengan janji yang diucapkan, karena telah melanggar janji pernikahan.[4] Dalam hukum Indonesia taklik talak diartikan sebagai Perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.[5] 

Artinya taklik talak tersebut dipahami sebagai semacam ikrar, yang dengan ikrar itu suami menggantungkan  terjadinya suatu talak atas isterinya apabila  ternyata  di kemudian  hari melanggar  salah  satu atau  semua  yang  telah diikrarkan.[6] Taklik  talak  dalam pengertian  hukum Indonesia ini telah  memiliki perubahan maksud sebagaimana yang dikehendaki dalam kitab-kitab fikih. Dimana fikih menyebutkan bahwa taklik talak bertujuan untuk memberikan peringatan dan pelajaran kepada isterinya yang nusyuz, seperti perkataan suami: “apabila kamu masih menemui si Fulan, maka saat kamu menemuiya maka jatuhlah talak saya!”[7]

Sedangkan dalam hukum Indonesia taklik talak dimaksudkan oleh suami berdasarkan kehendak dari isteri atau anjuran dari Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Disamping itu taklik talak juga disyaratkan adanya iwadl, sedang dalam kitab-kitab fikih tidak disyaratkan demikian.[8]

Taklik talak yang saat ini berlaku di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Agama (Permenag) No. 2 Tahun 1990 adalah menggunakan bentuk syarat “sewaktu-waktu” (كُلَّماَ) yang artinya jika sebelum terwujud syarat taklik kemudian suami menjatuhkan talak raj’i  dan kemudian suami merujuknya dalam masa iddah, maka taklik talak yang diucapkan oleh suami tetap mempunyai kekuatan hukum. 

Sehingga apabila suatu saat syarat taklik talak yang diperjanjikan terwujud, maka isteri dapat menggunakannya sebagai alasan perceraian.[9] Namun bila terjadi talak ba’in atau kawin lagi, setelah lepasnya talak raj’i, maka ta’lik talak yang diucapkan suami tidak lagi mempunyai kekuatan hukum, sehingga jika suami isteri itu menghendaki berlakunya perjanjian taklik talak, maka harus diulang.[10]

Taklik talak sebagaimana di atas dianggap sah apabila telah terpenuhi tiga syarat, yakni:

1. Perkara yang ditaklikkan belum ada, tetapi mungkin terjadi dikemudian hari.
2. Ketika lahirnya akad, isteri dapat dijatuhi talak.
3. Ketika terjadi perkara yang ditaklikkan, isteri dalam pemeliharaan suaminya.[11]




[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan atau Penafsiran al-qur’an, t.t), hlm. 277
[2] Wahbah  Zuhaili,  Wahbah  Zuhaili,  Al-Fiqh   al-Islami   wa-Adiillatuhu,  (Beirut:  Dar  al-fikr,1997), Jilid IX, hlm. 6968
[3] Sayyid Ustman, Qawanin al-Syar’iyyah, ( Surabaya: Salin Nabhan, t.th), hlm. 80
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 996
[5] Pasal   1   huruf   e.   Kompilasi   Hukum  Islam.  Lihat   Tim   Penyunting,  Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), hlm. 50
[6] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 207. lihat juga Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, ( Yogyakarta: Liberty, t.th), hlm. 115
[7] Dalam kitab-kitab fikih, talak mu’allaq (talak yang digantungkan) terbagi menjadi 2. yakni: )  talak  qasamy, talak yang   dimaksudkan seperti janji karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan, meninggalkan suatu pekerjaan atau menguatkan suatu kabar.taklik ini disebut dengan taklik dengan supah. Seperti perkataan suami: jika aku keluar rumah, maka engkau tertalak. Maksudnya suami melarang isteri keluar rumaha ketika suami keluar. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan talak. 2) talak syarth (talak  bersyarat), talak yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak bila telah terpenuhi  syarat yang ditaklikan. Seperti perkataan:  jika engkau membebaskan aku dari sisa maharmu maka engkau tertalak.Kedua taklik talak tersebut dianggap sah menurut menurut jumhur ulama’ sedangkan menurut Ibn Hazm tidak sah. Ibnu Taimiyah dan Ibn Qayyim berpendapat bahwa taklik qasamy tidak sah sedangkan taklik syarthi  sah apabila yang disyaratkan terpenuhi.
Adapun lafadz talak yang diucapakan oleh orang ada 3 macam; 1) dengan ucapan tanjiz dan irsal. Misalnya : kau  tertalak!  Kata kata ini telah sah untuk menjatuhkan talak. Bukan termasuk sumpah dan orang yang  melakkanya tidak dikenai kafarat. 2) dengan  ucapan  ta’liq.   misalnya perkataan:  aku jatuhkan talak kepadamu kalau aku berbuat begini  “ucapan ini oleh ahli bahasa disepakati sebagi sumpah. Begitu juga sebagian ulama’ dan masyarakat sebagai sumpah. 3) ucapan dengan ta’liq. Misalnya: jika aku berbuat demikian, isteriku tertalak. Talak ini juga dianggap sebagai sumpah dan makruh hukumnya.Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 154-156
[8] Kamal Mukhtar, Op. Cit.
[9] Sayyid Ustman, Loc. Cit.
[10] Ibid.
[11] Ali Ahmad Abdul Ali al-Thahthawi, Tanbīh al-Abrār bi Ahkām al-Khul’i wa al-Thalāq wa al-Dhihār, (Beirut: Dar Al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), hlm 101. lihat juga Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 154

No comments:

Post a Comment