MAKNA DAN UPAYA MERAIH HIDAYAH DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AL MISBAH


Makna Hidayah

Kata hidayah sebetulnya tidak terdapat dalam Al Qur'an, namun pengertian yang terkandung dalam kata tersebut diungkap dengan redaksi yang lain. Seperti dengan menggunakan kalimat fi’il yang berwazan (فَعَلَ) (هَدَى يَهْدِي) diulang sebanyak 232 kali dan dengan menggunakan kalimat fi’il yang berwazan (اِفْتَعَلَ) (اِهْتَدَى يَهْتَدِيْ) diulang sebanyak 61 kali.

Selanjutnya jika diperhatikan, penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat tentang hidayah, beberapa bentuk hidayah (pengertian yang terkandung di dalamnya) tersebut dipergunakan oleh Al Qur'an dalam beberapa ayat-yang masing-masing mempunyai konteks pembicaraan yang berbeda-beda, sehingga perbedaan bentuk kata tersebut masing-masing mempunyai konteks makna yang berbeda-beda pula.

Kata (هدى) yang berarti menunjuki, Al-Raghib al-Asfahany mengartikan kata tersebut dengan “petunjuk halus”, senada dengan definisi Mohammad Abduh ketika memberi batasan terhadap hidayah. Hidayah adalah petunjuk halus yang menyampaikan kepada apa yang diharapkan.

Sedangkan menurut penafsiran M. Quraish Shihab Q.S. Ar-Rum, 30: 50 menjelaskan dengan cukup rinci sebagai berikut:

Kata hadi (هاَدِي) terambil dari kata hada (هَدَى) berarti “memberi petunjuk informasi secara lemah lembut menuju apa yang diharapkan”, bila seseorang sesat di jalan, tidak mengetahui arah yang benar, lalu bertemu dengan seorang hady atau petunjuk jalan, maka dia akan menerima informasi arah mana yang harus ditujunya, ke kanan atau ke kiri. Dia juga diberi tahu tanda-tanda tentang tempat yang dituju atau yang mengantar ke sana. Jika dia sedang berada pada arah yang salah, maka petunjuk jalan itu akan menyampaikan kepadanya bahwa jalan ini keliru lalu memalingkannya dari sana dan mengarahkannya ke arah yang benar.”[1]

Dalam menjelaskan definisi hidayah, M. Quraish Shihab lebih mudah dipahami dibandingkan Al-Raghib al-Asfahany dan Mohammad Abduh. M. Quraish Shihab memberikan gambaran-gambaran yang ditujukan kepada pembaca untuk memudahkan memahami makna hidayah.

Adapun penggunaan kata (هادي) bila diqiyaskan ke dalam wazan (افتعل) (اهتدى) terkadang untuk menggambarkan bahwa hidayah itu diperoleh melalui jalan ikhtiar, adakalanya mengenai urusan duniawiyah misalnya Q.S. Al-An’am, 6: 97. Dan adakalanya mengenai urusan ukhrawiyah atau keagamaan.

Mengenai hal ini M. Quraish Shihab membagi hidayah keagamaan menjadi dua.

Pertama, hidayah atau petunjuk dalam arti menyampaikan kepada pihak lain ajaran-ajaran agama dan atau memberi contoh penerapannya. Ini adalah “hidayah irsyad”. Hidayah semacam ini dilakukan oleh Allah dan dapat juga dilakukan oleh manusia. 

Kedua, hidayah atau petunjuk keagamaan serta pemberian kemampuan untuk melaksanakan isi petunjuk itu. Hidayah itu adalah “hidayah taufik’. Ia tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT. ayat 56 dalam Qur’an surat Al Qashash yang sudah ditafsirkan di atas adalah salah satu contohnya.  

Untuk mempermudah atau memperjelas hidayah taufiq ini, bisa kita ilustrasikan sebagai berikut:

Jika anda ingin ke pasar, anda bertanya kepada seseorang di mana lokasi pasar yang anda tuju, lalu ada yang memberi informasi tentang lokasi pasar itu, bahkan mengantar anda langsung menuju pasar yang anda tuju dengan kendaraannya. Dalam kasus semacam ini, terjadi proses pertemuan antara keinginan anda ke pasar dan kesediaan orang itu mengantarkan anda dengan kendaraannya.

Adapun mengenai hidayah atau petunjuk menuju kebahagiaan ukhrawi/keagamaan hanyalah hak tunggal Tuhan sendiri semacam hak prerogatif, Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, bahwa dalam Al Qur'an surat al-Baqarah ayat 272 Allah berfirman:

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلكِنَّ اللهَ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاء

“Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk (taufiq), akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya...” (Q.S. al Baqarah, 2 : 272).

Oleh karena itu, Allah yang memberi petunjuk sehingga membuahkan pengalaman agama. Nabi Muhammad hanya sekedar menyampaikan petunjuk lisan dan keteladanan membuahkan pengetahuan. Meskipun demikian, Allah akan memberikan hidayah kepada siapa yang berkehendak untuk mendapatkannya dengan syarat membuka hatinya, dalam arti dia memilih jalan kebahagiaan (bersedia menerima hidayah).

Mengenai hal ini M. Quraish Shihab menyatakan bahwa mereka yang dikehendaki-Nya mendapatkan pertolongan (petunjuk), adalah mereka yang membuka hatinya kepada petunjuk, yang membuka akalnya kepada kebenaran, yang mencari dan menerima manhaj-Nya dengan ikhlas dan jujur, dan tunduk kepada agamanya dengan perintah ketaatan dan menyerahkan diri. Mereka inilah yang akan ditolong Allah untuk mendapatkan “petunjuk”, dihantarkan kepadanya, didorong untuk melakukannya, serta ditambah keimanan dan petunjuk mereka di dalam kehidupan ini. 

Adapun orang-orang yang akan dikehendaki Allah untuk mendapatkan kesesatan adalah mereka yang lari dari kebenaran, yang berpaling dari petunjuk, dan menutup semua pintu yang ada dalam dirinya yang bisa mengantarnya kepada keimanan dan keselamatan mereka, bahkan tidak ada sama sekali dalam diri mereka kesediaan untuk menerima manhaj yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, atau yang telah digariskan dalam kitab-Nya, mereka tuli, bisu, buta, lalu mereka tidak dapat lagi berfikir. Atau mereka yang berputus asa dari rahmat Allah. Mereka tersebut dalam keseharian bisa disebut orang zalim, kafir, musyrik dan munafik.[2]

Menurut analisa penulis, Muhammad Quraish Shihab berargumen bahwa Allah bukan yang menentukan keimanan dan kekafiran sesorang melainkan Allah memberi manusia kebebasan memilih jalan yang akan ia tempuh, jalan sesat atau jalan petunjuk (kabahagiaan) atas dasar pilihan masing-masing. Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, guna memilih kesesatan itu dan memberi kemampuan untuk melaksanakan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki sebagai anugerah dan pemenuhan tekad dan keinginannya melaksanakan tuntunan petunjuk.

Allah telah berfirman dalam surat Fushilat ayat 47 yang menjelaskan bahwa Allah menunjukkan kepada jalan yang mengantar mereka kepada kebaikan (iman). Dalam arti bahwa semua orang terbagi sama di dalamnya, baik mu’min maupun kafir karena ayat itu mengisyaratkan bahwa Allah menunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, dengan mengutus para Rasul dan menurunkan wahyu, akan tetapi banyak manusia dengan ikhtiarnya berpaling dan lebih menyukai kesesatan daripada kebenaran dan petunjuk. Termasuk yang manakah kita?

Telah tampak dengan jelas Allah akan memberikan pertolongan (petunjuk) kepada mereka yang membuka akalnya kepada kebenaran, yang mencari dan menerima manhaj-Nya dengan ikhlas dan jujur, dan tunduk kepada agamanya dengan perintah ketaatan dan menyerahkan segala urusan hanya kepada-Nya.

Namun, dewasa ini dapat kita lihat fenomena yang ada, banyak orang mengetahui dan memahami agama dengan kata lain telah mendapat hidayah dalam bentuk agama tetapi mereka tidak luput dari jalan kesesatan karena tidak komitmen. Sebagai contoh banyak pejabat, pemimpin ataupun pemuka agama yang melakukan penyimpangan-penyimpangan ajaran agama. Karena itulah, orang yang telah memilih jalan petunjuk diperintahkan agar tetap memohon hidayah Allah dengan terus membaca (اهدنا الصراط المستقيم) walaupun telah memperoleh petunjuk Allah.[3]

Upaya Meraih Hidayah

Menurut penulis tepat sekali M. Quraish Shihab ketika menjelaskan keimanan atau kekafiran seorang tidak bisa dijadikan indikasi bahwa orang itu sudah membuka hatinya atau belum. Karena bisa jadi, orang yang memilih jalan kesesatan suatu saat akan beralih kepada jalan petunjuk. Untuk itu ada beberapa jalan atau proses yang dapat ditempuh agar mencapai dan memperoleh hidayah antara lain: IRSYAD, TAUFIQ, ILHAM dan DALIL-DALIL.

Hal tersebut diperkuat M. Quraish Shihab dalam pendapatnya cara melestarikan hidayah, bagi mereka yang telah memilih jalan atau petunjuk. Mengenai hal ini M. Quraish Shihab mengisyaratkan bahwa mempertahankan iman dan amal shaleh merupakan sesuatu yang lebih tinggi derajatnya daripada beriman dan beramal tanpa berkesinambungan.

Menurut analisa penulis, mengenai upaya meraih hidayah, M. Quraish Shihab cenderung berpendapat bagaimana melestarikan hidayah daripada bagaimana upaya meraih hidayah. Menurut penulis, untuk meraih hidayah dapat dilakukan dengan cara:

(1) Berhati-hati dalam menuntut ilmu, terutama pada niat dan tujuannya;

(2) Ikhlas semata-mata karena Allah dalam melakukan kebaikan tidak terbatas pada dakwah atau menyampaikan ajaran kebenaran saja, tetapi juga dalam mencapai segala segi kehidupan duniawi;

(3) Mengerjakan sesuatu secara istiqomah. Setelah memperoleh ilmu, kita harus mengamalkannya secara rutin (istoqomah). Tanpa dilandasi ilmu baik agama maupun pengetahuan, maka seseorang akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan iman dan amal shaleh;

(4) Mengikuti keridhaan Allah. Dalam mengerjakan amal shaleh harus dengan mengikuti ketentuan agama. Sebab di sanalah tersimpan tata cara bagaimana beramal yang baik dan benar;

(5) Meningkatkan iman dan amal shaleh. Iman dapat ditingkatkan dengan mempelajari kandungan isi Al Qur'an dan kemudian mengamalkannya. Dan merenungi serta mengagumi alam sekitar sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya. Orang yang beriman dan terus meningkatkannya dengan istiqomah, maka semakin lama akan semakin dekat dengan Allah;

(6) Memegang agama dengan teguh, yaitu dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Agar kita dapat meraih petunjuk pada jalan yang lurus yang akan mengantarkan kita ke suatu tujuan untuk kebahagiaan hakiki. Ketaatan tersebut akan memudahkan kita dalam meraih dan Allah akan selalu membimbing arah langkah kita.

Adakalanya juga dalam penggunaan kata (هدى) yang diqiyaskan ke wazan (افتعل) mengandung arti pengharapan akan hidayah. Mengenai hal ini, penafsiran M. Quraish Shihab senada dengan komentar al-Asfahany. Dalam hal ini M. Quraish Shihab memberi penafsiran seperti ketika menguraikan atau menafsirkan ayat ke-6 dari surat Al-Fatihah.[4]

Sedangkan bila ditinjau dari sisi “orang yang mengharapkan petunjuk” (المهتدي), berarti orang tersebut mengikuti orang yang lebih tahu, seperti dalam Q.S. Yaasin, 36: 2. Mengenai hal ini M. Quraish Shihab juga satu pendapat dengan al-Asfahany.

Bila dilihat dari konteks ayat-ayat yang menggunakan kata dasar h-d-y- setidaknya ada empat hidayah yang dianugerahkan kepada manusia antara lain:

Pertama, kemampuan alamiah, seperti insting, panca indera dan akal. Kaitannya dengan hal ini M. Quraish Shihab dalam pembagian bentuk hidayah sependapat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mohammad Abduh yakni hidayah naluri, panca indera, akal dan hidayah agama.[5]

Kedua,  tuntunan wahyu. 

Ketiga,  tuntunan taufiq. 

Keempat, tuntunan berupa jalan ke surga.

Mengenai bentuk hidayah kedua, ketiga dan keempat, M. Quraish Shihab tidak menyebutkan secara sistematis sehingga untuk dapat menemukan secara runtut sedikit kesulitan meskipun dalam tafsirnya secara global telah diuraikan. Namun demikian M. Quraish Shihab menguraikan pendapat Thahir ibn ‘Asyur tentang pembagian hidayah dengan sistematis.[6]

Demikian analisis penulis, tidak ada satu mufassir pun yang sempurna. Umumnya kelebihan dan keunggulan seorang mufassir dalam satu aspek akan menyebabkan memiliki kekurangan pada aspek lainnya. Hal ini disebabkan penafsiran seorang mufassir sangat dipengaruhi oleh sudut pandang, keahlian dan kecenderungan masing-masing.




[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Vol.11, hlm. 94
[2] Wahyono Abdul Ghofur, Mendialogkan Teks dengan Konteks, Penerbit eLSAQ Press, Yogyakarta, Cet.I, 2005, hlm. 288
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8, hlm. 24
[4] M. Quraish Shihab, op.cit., Vol. 5, hlm. 311
[5] Ibid., Vol. 1, hlm. 63-64
[6] Ibid., hlm. 65

1 comment:

  1. Terima kasih atas atrikel ini sangat membantu bagi orang yang belum paham, teruslah sebar kebaiakan dan jangan lupa share and kunjungi juga website mp3 kami di http://daftarlagunet.wapque.com
    Semoga sukses selalu.. Aammiinn

    ReplyDelete