TAMYIZ


Tamyiz adalah isim nakirah yang disebutkan sebagai penjelas dari dzat atau nisbat yang masih samar,[1] seperti (اِشْتَرَيْتُ عِشْرِيْنَ كِتاَباً) dan (طَابَ الْمُجْتَهِدُ نَفْساً).

Perkara yang menjelaskan dinamakan Tamyiz atau Mumayyiz atau Tafsir atau mufassir, dan perkara yang dijelaskan dinamakan Mumayyaz atau Mufassar.

Tamyiz memiliki makna (مِنْ) seperti halnya haal yang bermakna (فِي), sehingga ketika kita mengucapkan (اِشْتَرَيْتُ عِشْرِيْنَ كِتاَباً), maka maknanya adalah (اِشْتَرَيْتُ عِشْرِيْنَ مِنَ الْكِتاَبِ), dan ketika kita mengucapkan (طَابَ الْمُجْتَهِدُ نَفْساً), maka maknanya adalah (طاَبَ الْمُجْتَهِدُ مِنْ جِهَةِ نَفْسِهِ).

Tamyiz terbagi menjadi dua, yaitu Tamyiz Dzat (atau yang disebut juga dengan Tamyiz Mufrad) dan Tamyiz Nisbat (atau yang disebut juga dengan Tamyiz Jumlah).

Tamyiz Dzat

Tamyiz dzat adalah tamyiz yang menjelaskan pada isim yang masih samar (isim mubham) yang dilafalkan,[2] seperti (عِنْدِي رِطْلٌ زَيْتاً).

Isim mubham ada lima macam, yaitu:[3]

a.  Isim adad (hitungan), seperti (اِشْتَرَيْتُ اَحَدَ عَشَرَ كِتاَباً) “Aku membeli sebelas kitab.” Tidak ada bedanya jika adad tersebut sharih, seperti dalam contoh, atau mubham, seperti (كَمْ كِتاَباً عِنْدَكَ ؟) “Berapa kitab yang ada padamu?”

Adad ada dua macam, yaitu adad sharih (: yaitu adad yang sudah diketahui hitungannya, seperti (وَاحِدٌ) “satu” dan semisalnya) dan adad mubham (: yaitu adad yang tidak diketahui hitungannya, seperti (كَمْ) “berapa” dan semisalnya).

b.  Isim yang menunjukkan pada ukuran (sesuatu yang diukur dengan alat), yaitu adakalanya berupa jarak area, seperti (عِنْدِي قَصَبَةٌ اَرْضاً) “Aku mempunyai sekotak tanah,” atau timbangan, seperti (لَكَ قِنْطاَرٌ عَسَلاً) “Kamu mempunyai satu kuintal madu,” atau takaran, seperti (اَعْطِ الْفَقِيْرَ صَاعاً قُمْحاً) “Berilah orang fakir satu sha’ gandum,” atau ukuran, seperti (عِنْدِي ذِرَاعٌ جُوخاً) “Ada padaku satu dzira’ kain.”

c.  Isim yang menunjukkan pada perkara yang menyerupai ukuran (perkara yang menunjukkan pada sesuatu yang tidak tertentu), karena perkara itu tidak diukur dengan alat khusus.

Adakalanya menyerupai jarak area, seperti (عِنْدِي مَدُّ البَصَرِ اَرْضاً) “Ada padaku tanah sepanjang mata memandang,” atau timbangan, seperti (وَ مَنْ يَعْمَلْ مِثْقاَلَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ) “Barang siapa yang beramal sebesar atom, maka dia akan melihatnya,” atau takaran, seperti (عِنْدِي جَرَّةٌ ماَءً) “Ada padaku satu guci air,” atau ukuran, seperti (عِنْدِي مَدُّ يَدِكَ حَبلاً) “Ada padaku benang sepanjang tanganmu.”

d. Isim yang diberlakukan seperti ukuran, yaitu semua isim mubham yang membutuhkan pada tamyiz dan penjelas, seperti (لَناَ مِثْلُ ماَ لَكُمْ خَيْلاً) “Ada padaku kuda yang seperti yang ada padamu.”

e.  Perkara yang merupakan cabang dari tamyiz, seperti (عِنْدِي خَاتَمُ فِضَّةٍ) “Ada padaku cincin perak.”

Hukum tamyiz dzat adalah boleh dibaca nashab, seperti yang telah kalian lihat, dan boleh dijerkan dengan (مِنْ), seperti (عِنْدِي رِطْلٌ مِنْ زَيْتٍ), atau dengan diidlafahkan, seperti (لَناَ قَصَبَةُ اَرْضٍ), kecuali jika diidlafahkan akan menyebabkan terjadinya dua idlafah, yaitu ketika mumayyaznya berupa mudlaf, maka pengidlafahan itu dilarang dan wajib untuk dibaca nashab atau dijerkan dengan (مِنْ), seperti (ماَ فِي السَّماَءِ قَدْرُ رَاحَةٍ سَحاَباً اَو مِنْ سَحاَبٍ). Dikecualikan dari hukum tersebut adalah tamyiznya adad, karena dia mempunyai hukum tersendiri.

Tamyiz Nisbat

Tamyiz nisbat adalah tamyiz yang menjelaskan pada jumlah yang masih samar nisbatnya,[4] seperti (حَسُنَ عَلِيٌّ خُلُقاً), karena nisbatnya baik pada Ali masih samar yang memungkinkan pada banyak keadaan, lalu kita menghilangkan kesamarannya dengan mengucapkan (خُلُقاً).

Termasuk dalam tamyiz nisbat adalah isim yang jatuh setelah (ماَ) yang berfaidah ta’ajjub, seperti (ماَ اَشْجَعَهُ رَجُلاً).

Tamyiz nisbat terbagi menjadi dua, yaitu:[5]

a.     Tamyiz Muhawwal, yaitu tamyiz yang asalnya adalah fa’il, seperti (وَ اشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْباً) yang asalnya adalah (اِشْتَعَلَ شَيْبُ الرَّأْسِ), atau maf’ul, seperti (وَ فَجَّرْناَ الْأَرْضَ عُيُوناً) yang asalnya adalah (فَجَّرْناَ عُيُونَ الْأَرْضِ), atau mubtada’, seperti (اَناَ اَكْثَرُ مِنْكَ ماَلاً وَ اَعَزُّ نَفَراً) yang asalnya adalah (ماَلِي اَكْثَرُ مِنْ ماَلِكَ وَ نَفَرِي اَعَزُّ مِنْ نَفَرِكَ).

Hukum tamyiz ini adalah selamanya dibaca nashab dan tidak boleh dijerkan dengan (مِنْ) atau dengan idlafah.

b.     Tamyiz Ghairu Muhawwal, yaitu tamyiz yang bukan pindahan dari yang lain, seperti (سَمَوتَ اَدِيْباً).

Hukum tamyiz ini adalah boleh dibaca nashab dan boleh dibaca jer dengan (مِنْ), seperti (سَمَوتَ مِنْ اَدِيْبٍ).

Perlu diketahui bahwa lafal yang jatuh setelah isim tafdlil, wajib dibaca nashab menjadi tamyiz, jika lafal itu bukanlah jenisnya lafal sebelumnya, seperti (اَنْتَ اَعْلَى مَنْزِلاً). Namun, jika termasuk jenisnya lafal sebelumnya, maka wajib dijerkan dengan diidlafahkan kepada (اَفْعَل), seperti (اَنْتَ اَفْضَلُ رَجُلٍ), kecuali jika (اَفْعَل) diidlafahkan kepada selain tamyiz maka wajib untuk membaca nashab tamyiz karena sulitnya mengidlafahkan untuk kedua kalinya, seperti (اَنْتَ اَفْضَلُ النَّاسِ رَجُلاً).[6]

Hukum-Hukum Yang Dimiliki Oleh Tamyiz[7]

a. Amil yang menashabkan dalam tamyiz dzat adalah isim mubham yang ditamyizi, sedangkan dalam tamyiz jumlah adalah fi’il atau syibih fi’il yang ada dalam jumlah itu.

b.     Tamyiz tidak boleh mendahului amilnya, jika amilnya berupa dzat, seperti (رِطْلٌ زَيْتاً), atau berupa fi’il, seperti (نِعْمَ زَيْدٌ رَجُلاً). Adapun menengah-nengahinya tamyiz dan ma’mul marfu’nya, maka diperbolehkan, seperti (طاَبَ نَفْساً عَلِيٌّ).

c.     Tamyiz harus berupa isim sharih, sehingga tamyiz tidak boleh berupa jumlah atau syibih jumlah.

d.     Tamyiz tidak boleh berbilang.

e.  Asalnya tamyiz adalah berupa isim jamid, namun terkadang berupa isim musytaq, jika berupa sifat yang menggantikan maushufnya, seperti (ماَ اَحْسَنَهُ عاَلِماً) karena asalnya adalah (ماَ اَحْسَنَهُ رَجُلاً عاَلِماً).

f.      Asalnya tamyiz adalah berupa isim nakirah, namun terkadang datang tamyiz dengan bentuk isim ma’rifat secara lafdzi dan maknanya nakirah, seperti (رَأَيْتُكَ لَماَّ اَنْ عَرَفْتَ وُجُوهَناَ * صَدَدْتَ وَ طِبْتَ النَّفْسَ يَا قَيْسُ عَنْ عَمْرِو) karena (ال) pada lafal itu adalah zaidah dan asalnya adalah (طِبْتَ نَفْساً).

g.  Terkadang tamyiz datang sebagai penguat atau taukid, yang bertentangan dengan pendapat kebanyakan ulama’, seperti (إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللهِ اثْناَ عَشَرَ شَهْراً), karena (شَهْر) disebutkan bukan untuk menjelaskan, karena dzatnya sudah diketahui, tetapi dia disebutkan untuk menguatkan.

h.  Tidak diperbolehkan untuk memisahkan diantara tamyiz dan ‘adad kecuali dalam dlarurat syair, seperti syair, (فِي خَمْسَ عَشَرَةَ لَيْلَةً مِنْ جُماَدَى لَيْلَةً) ketika yang diinginkan adalah (فِي خَمْسَ عَشَرَةَ لَيْلَةً مِنْ جُماَدَى).

i.  Ketika setelah tamyiz adad, seperti (أَحَدَ عَشَرَ) dan sesamanya atau (عِشْرُونَ) dan sesamanya, kita datangkan na’at, maka sah jika memufradkan na’at itu dengan dibaca nashab dengan melihat pada lafalnya tamyiz, seperti (عِنْدِي ثَلاَثَةَ عَشَرَ أَو ثَلاَثُونَ رَجُلاً كَرِيْماً), dan sah juga jika kita menjama’kannya dengan jama’ taksir dengan dibaca nashab, seperti (عِنْدِي ثَلاَثَةَ عَشَرَ أَو ثَلاَثُونَ رَجُلاً كِراَماً), karena (رَجُلاً) dalam contoh itu bermakna (رَجُلاً), tidakkah kalian melihat kalau maknanya adalah (ثَلاَثَةَ عَشَرَ أَو ثَلاَثُونَ مِنَ الرِّجاَلِ). Namun, jika kita menjama’kannya dengan jama’ shahih, maka diwajibkan untuk menanggungkan na’at itu pada dirinya sendiri dan menjadikannya sebagai na’atnya adad bukan tamyiz, seperti (عِنْدِي اَرْبَعَةَ عَشَرَ أَو أَرْبَعُونَ رَجُلاً صَالِحُونَ).

j.  Terkadang adad diidlafahkan sehingga tamyiz tidak dibutuhkan, seperti (هَذِهِ عَشَرَتُكَ وَ عِشْرُو أَبِيْكَ وَ أَحَدَ عَشَرَ أَخِيْكَ), karena tidaklah kita mengidlafahkannya kecuali jenis mumayyaznya sudah maklum bagi orang yang mendengarnya.

Dan dikecualikan dari itu adalah (اثْناَ عَشَرَ) dan (اثْنَتاَ عَشَرَ), maka tidak diperbolehkan untuk mengidlafahkannya, sehingga tidak boleh untuk diucapkan (خَذِ اثْنَيْ عَشَرَكَ), karena (عَشَر) disini menempati tempatnya nun tatsniyyah, dan nun tatsniyyah tidak boleh dijama’kan dan tidak boleh juga diidlafahkan, karena dia menempati tempatnya tanwin.

Perlu diketahui bahwa adad murakkab ketika diidlafahkan, maka pengidlafahannya itu tidak bisa melepaskan dari kemabniannya, sehingga kedua juznya dimabnikan fath, seperti halnya sebelum diidlafahkan, seperti (جاَءَ ثَلاَثَةَ عَشَرَكَ).

Namun, ulama’ Kuffah telah berpendapat kalau adad murakkab ketika diidlafahkan, maka juz awalnya dii’rabi sesuai dengan tuntutan amil dan juz keduanya dibaca jer dengan idlafah, seperti (هَذِهِ خَمْسَةُ عَشَرِكَ), (خُذْ خَمْسَةَ عَشَرِكَ) dan (اعْطِ مِنْ خَمْسَةِ عَشَرِكَ). Dan pendapat yang dipilih oleh para ulama’ nahwu adalah kewajiban memabnikan kedua juz adad murakkab. 





[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 113
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 113
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 113
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 115
[5] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 115
[6] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 116
[7] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 123-126

2 comments:

  1. terima kasih kakak.
    sangat bermanfaat bagi saya.
    semoga bermanfaat bagi orang banyak

    ReplyDelete
  2. e. Perkara yang merupakan cabang dari tamyiz, seperti (عِنْدِي خَاتَمُ فِضَّةٍ) “Ada padaku cincin perak.”

    yg ini penjelasanya gimana ya?

    ReplyDelete