Wujud
mahar (maskawin) bukanlah untuk menghargai atau menilai perempuan, melainkan
sebagai bukti bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada calon istrinya,
sehingga dengan suka dan rela hati ia mengorbankan hartanya untuk diserahkan
kepada istrinya itu, sebagai tanda cuci hati dan sebagai pendahuluan, bahwa
suami akan terus-menerus memberi nafkah kepada istrinya, sebagai kewajiban suami terhadap istrinya. Oleh
sebab itu, maskawin tidak ditentukan berapa banyaknya, tetapi cukup dengan tanda
cinta hati. Laki-laki yang tidak mau membayar mahar adalah suatu bukti bahwa ia
tidak menaruh cinta walau pun sedikit kepada istrinya.[1]
Adapun
hikmah mahar adalah:
1. Menunjukkan kemuliaan
wanita, karena wanita yang dicari lakilaki bukan laki-laki
yang dicari wanita.
Laki-laki yang berusaha untuk mendapatkan wanita meskipun harus
mengorbankan hartanya.
2. Menunjukkan cinta dan kasih sayang
seorang suami kepada isterinya, karena maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah,
atau hibah yang oleh Al-Qur’an
diistilahkan dengan nihlah
(pemberian dengan penuh kerelaan), bukan sebagai pembayar harga
wanita.
3. Menunjukkan kesungguhan, karena
nikah dan berumah tangga bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.
4. Menunjukkan tanggung jawab suami dalam
kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah, karenanya lakilaki adalah
pemimpin atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak
itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih bertanggung
jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap
isterinya.[2]
No comments:
Post a Comment