BENTUK MAHAR JASA YANG SAH MENJADI MAHAR PERNIKAHAN


Jika seorang laki-laki benar-benar tidak mampu untuk memberikan mahar dalam bentuk materi (harta), maka ia bisa  memberikan mahar dalam bentuk non materi (bukan harta). Hendaknya sesuatu yang non materi tersebut memiliki manfaat yang kembali kepada si wanita.  

Mahar tidak mesti berupa uang atau harta benda, akan tetapi boleh juga hal-hal lainnya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini hal-hal yang dapat dijadikan maskawin atau mahar:

1.  Semua pekerjaan yang dapat diupahkan.

Menurut Madzhab Syafi'i dan Hambali, pekerjaan yang dapat diupahkan, boleh juga dijadikan mahar. Misalnya, mengajari membaca al-Qur'an, mengajari ilmu agama, bekerja dipabriknya, menggembalakan ternaknya, membantu membersihkan rumah, ladang atau yang lainnya.

Pendapat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm mengenai mahar berupa jasa yaitu:

قال الشافعي يجوز ان تنكحه على ان يخيط لها ثوبا او يبني لها دارا او يخدمها شهرا او يعمل لها عملا ما كان او يعلمها قرآن مسمى او يعلم لها عبدا و ما اشبه هذا

“Imam asy-Syafi’i berkata: Boleh bahwa wanita  itu mengawini seorang laki-laki untuk menjahit kepadanya pakaian atau membangun baginya rumah atau melayani sebulan atau lelaki itu berbuat baginya suatu  perbuatan apa saja atau ia mengajarkan al-Qur’an yang disebutkan  atau ia mengajarkan bagi wanita itu seorang budak dan yang serupa dengan ini”.[1]

 Semisal, seorang laki-laki berkata: "Saya terima pernikahan saya dengan putri bapak yang bernama Siti Maimunah dengan mas kawin akan mengajarkan membaca al-Qur'an kepadanya selama dua tahun, atau dengan mas kawin mengurus ladang dan ternaknya selama dua bulan”.

Akan tetapi menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, mahar dengan pekerjaan yang dapat diupahkan hukumnya makruh (dibenci). Hal ini sebagaimana telah terjadi ketika Nabi Musa a.s. menikahi salah seorang  putri Nabi Syu’aib a.s., dengan maskawin bekerja selama delapan tahun  sebagaimana  firman  Allah  SWT  dalam  surat  al-Qashash ayat 27:

قال اني اريد ان انكحها احدى ابنتي هتين على ان تأجرني ثمني حجج فإن اتممت عشرا فمن عندك

"Berkatalah Dia (Syu'aib): Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang  dari  kedua  anakku ini,  atas  dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan) dari kamu.” (QS. Al-Qashash: 27)[2]

Dalil lain bolehnya kerja dijadikan sebagai shadaq, maskawin adalah hadits berikut ini:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم اذهب فقد ملكتكها بما معك من القرآن (رواه البخاري)

“Rasulullah SAW bersabda: Pergilah sesungguhnya saya telah menikahkan kamu dengannya dengan apa ayat-ayat al-Qur'an yang kamu hafal.” (HR. Bukhari)[3]

Sebagian ulama menakwilkan kata bima ma'aka minal qur'an dengan akan mengajarkan satu atau beberapa surat dari al-Qur'an. Mahar dalam bentuk hafalan al-Qur’an yang akan diajarkan oleh seorang laki-laki kepada istrinya, sebagaimana  dalam hadits di atas. Hal ini, sang suami akan mengajarkan hafalan al-Qur’an yang ia miliki (surat-surat tertentu yang ia hafal) kepada istrinya, sehingga sang istri yang tadinya belum mengetahui atau menghafalnya akan menjadi tahu dan hafal.

2.  Membebaskan budak.

Menurut Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Daud ad-Dhahiry, bahwa membebaskan budak dapat dijadikan sebagai maskawin. Maksudnya, apabila seseorang hendak menikahi seorang wanita yang masih menjadi budak belian, kemudian ia membebaskannya dan menjadikan pembebasannya itu sebagai maskawinnya, maka boleh-boleh saja. Kemerdekaan dari perbudakan merupakan manfaat teramat besar yang diberikan kepada seseorang yang sebelumnya berstatus budak, sedangkan menurut sebagian ulama lain, membebaskan budak tidak boleh dijadikan sebagai maskawin. 

Dalil kelompok yang  membolehkan adalah dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Rasulullah SAW menikahi Shafiyyah dengan maskawin membebaskannya dari budak belian menjadi seorang yang merdeka dan dalam hadits tersebut  tidak ada keterangan bahwa hal itu khusus untuk Rasulullah SAW, karena tidak ada keterangan kekhususan itulah, maka ia berarti berlaku dan diperbolehkan juga untuk seluruh ummatnya termasuk kita. Hadits dimaksud adalah sebagai berikut:

حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا حماد عن ثابت و شعيب بن الحبحا عن أنس بن مالك ان رسول الله صلى الله عليه و سلم أعتق صفية و جعل عتقها صداقها

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Hammad dari Tsabit dan Su’aib bin Habha dari Anas bin Malik bahwa  Rasulullah  SAW telah memerdekakan Shofiyah dan menjadikan kemerdekaan  itu sebagai maharnya (waktu kemudian mengawininya).”[4]

Bagi yang menolak mengatakan bahwa hadits di atas adalah khusus untuk Rasulullah SAW saja, artinya maskawin dengan membebaskan budak itu hanya diperbolehkan untuk Rasulullah SAW saja dan tidak yang lainnya.

3.  Masuk Islam.

Masuk Islamnya seseorang boleh dijadikan maskawin, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini:

عن انس قال خطب ابو طلحة ام سليم فقالت و الله ما مثلك يا ابا طلحة يرد و لكنك رجل كافر و نا امرأة مسلمة و لا يحل لي ان اتزوجك فإن تسلم فذلك مهري و لا أسئلك غيره فأسلم فكان ذلك مهرها (رواه النسائي)

“Dari Anas, dia berkata, Abu Thalhah  telah  melamar Ummu Sulaim, kemudian Ummu Sulaim menjawab: Demi Allah, tidaklah seorang laki-laki sepertimu itu pantas ditolak. Tetapi kamu seorang laki-laki kafir sedang saya seorang muslim, dan tidak halal bagi saya menikah  denganmu. Jika kamu masuk Islam, maka itu adalah mahar untukku dan saya tidak meminta kepadamu selain itu. Kemudian dia masuk islam dan itu sebagai maharnya.”  (HR. An-Nasa’i)[5]

Ulama yang tidak membolehkan masuk Islamnya seseorang dijadikan mas kawin adalah Ibnu Hazm. Ibnu Hazm memberikan catatan penting untuk hadits di atas dengan mengatakan:

Pertama, kejadian dalam hadits di atas terjadi beberapa saat sebelum hijrah ke Madinah, karena Abu Thalhah termasuk sahabat Rasulullah SAW dari golongan Anshar yang masuk Islam paling awal. Dan pada saat itu, belum ada kewajiban mahar bagi wanita yang hendak dinikahi.

Kedua, dalam hadits di atas juga tidak disebutkan bahwa kejadian itu diketahui oleh Rasulullah SAW, karena tidak diketahui oleh Rasulullah SAW, maka posisinya tidak mempunyai ketetapan hukum. Rasulullah SAW tidak mengiyakannya juga tidak melarangnya, karena tidak ada kepastian hukum itulah, maka ia harus dikembalikan kepada asalnya, bahwa ia tidak bisa dijadikan sebagai mas kawin.[6]

Manfaat yang setidak-tidaknya didapatkan oleh Ummu Sulaim  dari masuk Islamnya Abu Thalhah adalah pahala besar yang diberikan oleh Allah kepadanya karena ia telah mampu mengislamkan seseorang yang sebelumnya kafir. Sebuah riwayat disebutkan bahwa pahalanya lebih besar dari pada seekor unta merah (yang ketika itu amat mahal harganya). Belum lagi manfaat-manfaat lainnya yang bisa dirasakan oleh Ummu Sulaim.

Ibnu Qayyim mengatakan, inilah yang dipilih Ummu Sulaim. Dia lebih memilih keislaman Abu Thalhah yang bermanfaat baginya dan menyerahkan dirinya kepada Abu Thalhah jika Abu Thalhah masuk Islam. Ini yang lebih disukai Ummu Sulaim dari pada harta yang diserahkan oleh suami. Pada dasarnya, mahar ditetapkan sebagai hak perempuan agar dapat dimanfaatkannya. Begitu dia ridha menerima  ilmu, agama, keislaman suami, dan bacaan al-Qur’annya, maka hal  tersebut merupakan mahar yang paling utama, paling bermanfaat,  dan  paling luhur.[7]







[1] Imam Abi Abdus Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, loc. cit.
[2] Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 310.
[3] Al-Imam  Abi  Abdillah  Muhammad  bin  Isma'il  bin  Ibrahim  ibn  al-Mugirah  ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz V, Beirut Libanon: Darul Kutub al-’Ilmiyah,1992, h. 444.
[4] Ibid., h. 443.
[5] Ahmad  Ibn  ‘Ali  Ibn  Syu’aib  Ibn  ‘Ali  Ibn  Sinan  Ibn  Bahr  Ibn  Dinar  Abu  ‘Abd  al-Rahman  al-Nasa’i,  Sunan  an-Nasa’I  Bisyarhi  al-Hafidh  Jalaluddin as-Suyuthi  Wahatsiyah  al-Imam as-Sanadi, Juz 6, Beirut Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, tt, h. 114.
[6] Abi Muhammad bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Muhalla, Juz V, Beirut Libanon: Darul Fikr, tt, h. 499.
[7] Sayyid  Sabiq,  Fikih  Sunah  3,  Terj.  Abdurrahim  dan  Masrukhin,  Jakarta:  Cakrawala Publishing, 2008, h. 412.

No comments:

Post a Comment