Imam
Ahmad Hambali membolehkan mahar dengan ayat al-Quran atau jasa bila memang ia
tidak mampu memberikan yang lain, agar tidak ada persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan sebelum memberikan sesuatu sebagai maharnya.
Pasangan
yang hendak Menikah disunahkan untuk tidak menjalankan akad nikah kecuali setelah adanya maskawin, supaya dapat meredam pertengkaran dan lebih
bermanfaat bagi seorang istri dan bila memang terjadi talaq
sebelum bersetubuh, maka bagi seorang
suami wajib membayar mahar yang telah disebutkan. Tetapi bila tidak menyebutkan mahar ketika
melakukan akad nikah,
maka bagi sang
istri tidak wajib mendapatkan mahar tersebut, namun yang wajib baginya
adalah mut’ah (pemberian).
Dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, menerangkan
tentang mengajarkan satu surat dari al-Qur’an setelah menikah, yaitu:
عن سهل بن سعد الساعدي ان النبي صلى الله عليه و
سلم قال لرجل انطلق فقد زوجتكها فلها سورة من القرآن
“Dari Sahl bin Sa’ud
as-Sa’idi bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada sesorang pergilah, karena aku
telah menikahkan kamu dengan dia, kemudian lelaki itu mengajarkan istrinya satu
surat dari al-Qur’an”.[1]
Seorang
merdeka sah menikah dengan seorang wanita dengan mahar melayaninya selama waktu
tertentu, atau dengan mahar mendatangkan pelayan merdeka untuk melayani
mempelai wanita selama waktu tertentu, lebih-lebih jika yang didatangkan adalah
pelayan hamba sahaya. Sah menikah dengan mahar perbuatan yang diketahui seperti
menjahit pakaian tertentu, baik ia sendiri yang menjahit atau orang lain, jika pakaian tersebut rusak sebelum
dijahit maka mempelai lelaki wajib
membayar setengah harga upahnya, meskipun ia
mengeluarkan talak sebelum berhubungan suami istri.
Menikah
sah dengan mahar mengajarkan bab-bab fiqh atau
hadits, atau mengajarkan sesuatu yang diperbolehkan dari sastra, syair, atau
mengajarkan keterampilan, kepenulisan, dan pekerjaan lainnya yang boleh dimintakan
upah, jika pengajaran tersebut tidak mungkin dilakukan (karena suatu alasan) maka mempelai lelaki wajib menyerahkan
upah orang yang bisa mengajarkannya.
Mempelai lelaki
berkewajiban memberikan upah
pengajarannya, apabila ia belum mengajarkan dan mengeluarkan talak
sebelum melakukan hubungan suami istri, serta jika talak terjadi setelah mengajarkan maka ia bisa meminta kembali setengahnya
dalam bentuk upah jika perpisahan terjadi dari pihak mempelai
lelaki, jika perpisahan terjadi
dari pihak mempelai perempuan, maka mempelai
lelaki bisa meminta
kembali seluruh upahnya.[2]
Ulama
Hanabilah berpendapat mahar adalah suatu imbalan dalam nikah baik yang disebutkan di dalam akad
atau yang diwajibkan sesudahnya dengan kerelaan kedua belah pihak atau hakim, atau imbalan dalam hal-hal yang menyerupai nikah
seperti watha’ syubhat
dan watha’ yang dipaksakan.[3]
Ulama
Hanabilah juga mengatakan sah mahar berupa manfaat seperti halnya mahar berupa benda.
Seseorang menikah dengan seorang wanita dengan
mahar menggembalakan kambingnya atau membajak tanahnya dan sebagainya maka mahar sah dengan syarat manfaat harus diketahui (ma’lumah),
apabila tidak diketahui (majhulah) maka
penyebutan mahar tidak sah dan
diwajibkan mahar mitsil.[4]
[1] Al-Imam Ahmad bin Hanbal,
Musnad Ahmad bin Hambal, Beirut: Darl al-Fikr, t.t, h. 401.
[2] Abdurrahman Jaziri, Kitab Fiqh
ala Madzhabi Arba’ah, Juz IV, Beirut Libanon: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1990, h.
100.
[3] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh
al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IX, Beirut
Libanon: Dar al-Fikr, tt, h. 6758.
[4] Abdurrahman Jaziri, loc. cit.
No comments:
Post a Comment