MAHAR BERUPA JASA MENURUT MAZHAB IMAM SYAFI’I


Imam Syafi’i memberikan definisi yang lebih terbuka dan jelas yakni “sesuatu (bisa harta maupun jasa) yang wajib diberikan oleh suami kepada istri untuk menghalalkan seluruh anggota badannya”.[1] Prinsip bagi Imam Syafi'i yaitu asal sesuatu yang dijadikan mahar itu bernilai dan berharga, maka  boleh  digunakan sebagai maskawin,[2] maka jelas bahwa mahar berupa jasa atau manfaat (non materi) diperbolehkan. Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya.

Kitab al-Umm karya Imam Syafi’i  menjelaskan  masalah  maskawin sebagai  berikut:  setiap barang yang bisa dijual atau disewakan dengan suatu harga, maka barang tersebut bisa dijadikan maskawin.  Sebaliknya bila barang itu tidak mempunyai harga dan tidak bisa dijual, maka barang tersebut tidak layak menjadi maskawin. Suatu barang tidak boleh dijadikan maskawin, kecuali  diketahui  adanya, dan benda  itu  halal  dijual  baik dengan tunai atau dengan ditangguhkan. 

Maskawin yang diberikan bisa sedikit dan bisa juga banyak itu sama saja, dengan demikian boleh orang itu mengawini seorang wanita dengan maskawin hanya sedirham atau kurang dari sedirham.

قال الشافعي خاتم الحديد لا يسوى قريبا من الدراهم و لكن له ثمن يتبايع به

“Imam Syafi'i berkata: Sebuah cincin besi tidak menyamai, yang mendekati dari sedirham, akan tetapi mempunyai harga yang diperjual-belikan dengan barang tersebut”.[3]

Pernyataan Imam Syafi’i di atas menunjukkan bahwa ia tidak memberi batasan terendah dalam memberikan mahar kepada wanita, yang penting dalam perspektif Imam Syafi’i itu mahar mempunyai nilai harga.

Pendapat Imam Syafi’i  tentang  kebolehan  perempuan  mengawini laki-laki dengan mahar lelaki itu menjahit kepadanya pakaian atau membangun baginya rumah atau melayaninya sebulan atau baginya lelaki itu berbuat suatu perbuatan apa saja atau ia mengajarkan al-Qur’an, dalam kitabnya al-Umm:

قال الشافعي يجوز ان تنكحه على ان يخيط لها ثوبا او يبني لها دارا او يخدمها شهرا او يعمل لها عملا ما كان او يعلمها قرآن مسمى او يعلم لها عبدا و ما اشبه هذا

“Imam asy-Syafi’i berkata: Boleh bahwa wanita  itu  mengawini seorang laki-laki untuk menjahit kepadanya pakaian atau membangun baginya rumah atau melayani sebulan atau lelaki itu berbuat baginya suatu perbuatan apa saja atau ia mengajarkan al-Qur’an yang  disebutkan atau ia mengajarkan bagi wanita itu seorang budak dan yang serupa dengan ini”.[4]

Penjelasan dari  kitab  di  atas  adalah  Imam  Syafi’i  membolehkan adanya mahar dengan menjahit pakaian, membangun rumah, melayani sebulan, atau mengajarkan al-Qur’an kepada istri, yang merupakan mahar jasa. Menurut Imam Syafi’i, setiap manfaat yang dimiliki dan halal harganya serta mempunyai nilai kesederhanaan pada mahar itu lebih beliau sukai. Beliau memandang sunnah, bahwa tidak berlebih pada mahar.[5]

Imam Syafi’i, dalam melakukan pembahasan mengenai mahar jasa di atas, mengungkapkan beberapa dalil yang tercantum dalam  kitabnya Ahkamul Qur’an yaitu firman Allah SWT QS. an-Nisa’ ayat 24:

فما استمتعتم به منهن فئاتوهن اجورهن فريضة

“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.”[6]

Ayat di atas menjelaskan bahwa wajib atas orang yang menikah lagi mencampuri, memberikan maskawin.[7] Hadits yang dijadikan argumentasi Imam Syafi’i mengenai mengenai mahar jasa adalah:

ان النبي صلى الله عليه و سلم قال أدّوا العلائق قيل و ما العلائق يا رسول الله قال ما ترضى به الأهلون (رواه ابو داود و الطبراني)

“Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Bayarlah olehmu “alaiq” (istilah lain untuk mahar). Apakah “alaiq” itu Ya Rasulullah? Nabi menjawab: sesuatu yang disenangi oleh keluarga wanita”. (HR. Abu Dawud dan Tabrani)[8]

Ulama Syafi’iyah mengatakan mahar manfaat adalah sah. Kaidahnya menurut  mereka adalah setiap sesuatu yang dapat  menjadi  harga dalam jual beli dapat pula menjadi mahar, jika sah membeli rumah dengan harga berupa  memanfaatkan suatu tanah pertanian selama waktu tertentu, maka begitu  pula  sah menjadikan manfaat tersebut sebagai mahar. Setiap kegiatan yang diupah seperti mengajar al-Qur’an, fiqh dan sebagainya, atau mengajar  keterampilan seperti bertenun, menjahit, atau menjahitkan pakaian, atau membangun rumah, atau melayani si perempuan, meski  ia merdeka, maka  semua  itu sah untuk menjadi mahar, seperti  halnya sah untuk menjadi harga jual beli.




[1] Abdurrahman Jaziri, op. cit., h. 99-100
[2] Ibnu Rusyd, op. cit., h. 15.
[3] Imam Abi Abdus Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, Juz V, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, tt, h. 64.
[4] Ibid.
[5] Ismail Yakub, Terjemah al-Umm, Jilid V, Jakarta: CV. Faizan, 1984, h. 287.
[6] Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op. cit.
[7] Al-Imam  asy-Syafi’i, Ahkamul  Qur’an,  Terj.  Baihaqi  Safi’uddin,  Surabaya:  PT. Bungkul Indah, h. 194.
[8] Muhammad al-Syaukani,  Nailul Authar, Cet. I, Mesir: Syirkah Maktabah al-Baby al-Halaby wa Auladuhu, 1961, h. 166.

No comments:

Post a Comment