DASAR HUKUM TALAK DAN MACAM-MACAM HUKUMNYA


Talak disyari’atkan berdasarkan dalil yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama’. Firman Allah SWT :

الطلاق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Q.S. Al-Baqarah : 229)[1]

Kedua, sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:[2]

إنما الطلاق لمن أخذ بالساق (رواه ابن ماجه و غيره)

Sesungguhnya talak itu bagi orang yang berhak menggauli istri.” (HR. Sunan Ibnu Majah dan yang lain)

Ketiga, ijma’ ulama sepakat bahwa talak disyari’atkan dalam Agama Islam tanpa ada satupun ulama’ yang menentang terhadap disyari’atkannya  talak.[3]

Hukum talak berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasinya.[4] Terkadang talak itu hukumnya mubah, tapi juga bisa juga menjadi makruh. Terkadang juga sunnah, tetapi bisa juga menjadi wajib dan bisa manjadi haram. Dengan demikian, talak hukumnya ada lima : mubah, makruh, sunnah, wajib dan haram.[5]

Hukum talak menjadi mubah, jika sang suami membutuhkan hal itu, dikarenakan buruknya akhlak sang istri yang hal tersebut bisa membawa bahaya bagi keluarga yang sedang dibinanya. Karena dengan kondisi seperti ini, tidak akan dapat mencapai tujuan nikah yang sebenarnya, apalagi jika pernikahan itu tetap dipertahankan.

Talak bisa menjadi makruh jika tidak dibutuhkan. Misalnya kondisi kondisi suami istri tersebut dalam keadaan yang stabil dan tidak ada perubahan yang menghawatirkan. Bahkan sebagian ulama’ mengharamkan talak dalam kondisi yang seperti ini.[6] Hal ini dilandaskan kepada hadis Nabi SAW. tentang perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT.

Talak bisa menjadi sunnah jika sangat dibutuhkan. Hal ini terjadi demi mempertahankan pernikahan tersebut dari sesuatu yang bisa mendatangkan bahaya bagi hubungan suami atau istri. Seperti saat terjadinya perselisihan dan perpecahan diantara mereka. Dalam kondisi semacam ini jika pernikahan tersebut tetap dipertahankan, maka akan membahayakan sang istri, padahal Rasulullah Saw. bersabda:[7]

حدثنا محمد بن يحيى حدثنا عبد الرزاق أنبأنا معمر عن جابر الجعفي عن عكرمة عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا ضرر و لا ضرار (رواه ابن ماجه و غيره)

Diriwayatkan dari Muhammad bin Yahya, dari Abdur Razzaq, dari Jabir Al-Ju’fi, dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda ; tidak boleh membahayakan orang lain  dan tidak boleh juga membalas perbuatan orang lain yang membahayakanmu.” (H.R. Ibnu Majah Dan yang lain)[8]

Talak menjadi wajib bagi suami untuk menjatuhkannya kepada istri jika sang istri tidak istiqomah (komitmen) dalam melaksanakan perintah agama. Misalnya, istri sering meninggalkan shalat sedangkan ia tidak bisa lagi untuk dinasehati dan tidak bisa lagi menjaga kehormatannya, maka sang suami wajib menceraikan istrinya tersebut.[9]

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa apabila suami mendapati istrinya melakuka zina maka tidak dimungkinkan lagi suami mepertahankan istri yang demikian.[10]

Talak hukumnya menjadi haram dijatuhkan oleh suami bila kondisi sang istri dalam keadaan haid atau nifas.[11] Begitu juga suami dilarang menjatuhkan talak tiga sekaligus dalam satu waktu.[12]




[1] Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 36.
[2] Ibnu Maajah, op. cit., hlm. 269.
[3] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta : Lentera Basritama, 2002, hlm. 441.
[4] Salah satu ciri khas dari Hukum Islam adalah fleksibelitas ketetapan hukum yang didasarkan dengan situasi dan kelayakan penetapan hukum berdasarkan kondisinya, sehingga ulama’ Fiqih membuat kaedah (الحكم يدور مع علته وجودا و عدما) Maka tidak mengherankan satu kasus bisa dihukumi dengan hukum yang berbeda-beda (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah) berdasarkan situasi dan kondisi yang menuntutnya. Lihat Abdillah Bin Sa’id, Idhahul Qawaid al-fiqhiyah, Surabaya : Hidayah, 1990, hlm. 85.
[5] Muhammad Ali As-Shobuni berpendapat bahwa hukum asal dari talak adalah mubah, ini didasarkan kepada ayat Al-Qur’an yang berbunyi (اذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن) dalam hal ini ia lebih lanjut merinci bahwa hal mubah adakalanya boleh dilakukan dan adakalanya boleh dilakukan tapi itu sangat tidak disenangi oleh Allah SWT, dalam hal ini ia menjustifikasi talak kepada hal mubah yang sangat dibenci oleh Allah SWT, dengan dalil, riwayat dari Rasulullah SAW. : (و قد روي عن رسول الله صلى الله عليه و سلم انه قال ان من أبغض المباحات عند الله الطلاق) Lihat, Muhammad Ali As-Shobuni, Tafsir Ayatil Ahkam, Beirut : Daarul Qur’anil Karim, 1999, hlm. 432-433.
[6] Al-Mannar, Fiqih Nikah, Bandung : Syamil Cipta Media, 2007, hlm. 103.
[7] Ibnu Maajah, op. cit., hlm. 143.
[8] Dari hadis ini Ulama’ Fiqih membuat kaedah Fiqih yang dijadikan pedoman dalam penetapan hukum, yakni (الضرار يزال). Bahwa, setiap hal yang mendatangkan kemudaratan harus dijauhkan dari diri kita, lihat Abdillah Bin Sa’id, op. cit., hlm. 42.
[9] Abu Malik Kamal, op. cit., hlm. 235.
[10] Pendapat Ibnu Taymiyah ini sesuai dengan konsep yang ia tawarkan dalam maqosidut tasyri, yakni bahwa setiap konsep hukum merujuk kepada tujuan dasarnya, dalam hal ini yang menjadi landasan awal dari konsep hukum islam adalah hifdzud diin (menjaga agama). Lihat, Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiiz Fi Ushulil Fiqh, Beirut : Mu’assasah Ar-risalah, 1994, hlm. 379.
[11] Abu Malik Kamal, op. cit., hlm. 236.
[12] Penjelasan lebih lanjut akan dibahas dalam pembahasan tentang talak bidi.

No comments:

Post a Comment