Tidak
setiap perceraian dibolehkan dalam Islam. Beberapa kasus perceraian tidak
disukai dalam Islam atau dilarang, karena perceraian tersebut menyebabkan
kehancuran keluarga.[1] Padahal Islam sangat
menjaga keutuhan ikatan perkawinan dalam keluarga sebagaimana terkandung dalam
firman Allah SWT :
ومن
يفعل ذلك عدونا و ظلما فسوف نصليه نارا و كان ذلك على الله يسير
“Dan
barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak
akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah
SWT.” (Q.S. An-Nisaa’: 30)[2]
Hal
ini juga senada dengan intisari dalam riwayat:
حدثنا
كثير بن عبيد الحمصي حدثنا محمد بن خالد عن عبيد الله بن الوليد الوصافي عن محارب
بن دثار عن عبد الله بن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أبغض الحلال
الى الطلاق (رواه ابو داود و ابن ماجه)
“Diriwayatkan
dari Katsir bin Ubaid Al-Himsi, diriwayatkan Muhammad bin Khalid dari
Ubaidillah bin Walid Al-Washafi dari Muharib bin Ditsar dari Sahabat Abdillah
bin Umar berkata; Rasulullah SAW. bersabda; Perkara halal yang paling dibenci
Allah SWT adalah perceraian.” (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majaah)[3]
Secara
historis konsep talak telah menjadi praktek budaya hukum pada masyarakat arab
sebelum datanganya islam, sebagaimana penggalan kisah Aisyah r.a. bahwa,
laki-laki pada masa jahiliyah menceraikan istrinya sekehendak hatinya. Perempuan
tetap menjadi istrinya jika ia dirujuk dalam masa ‘iddah[4] (menunggu), sekalipun
sudah diceraikan seratus kali atau lebih.[5]
Suatu
ketika ada seorang pria menceraikan istrinya, ketika ia dalam masa ‘iddah dan
masa ‘iddahnya ia merujuk istrinya, kemudian sang istri menceritakan kondisi
ini kepada Aisyah. Mendengar cerita tersebut Aisyah hanya terdiam sampai
Rasulullah Saw. datang dan Aisyah menceritakan kembali peristiwa yang dialami
perempuan tersebut kepada Rasulullah Saw.., tapi Rasulullah Saw.. pun terdiam
hingga turun ayat:[6]
الطلاق
مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسن
“Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Q.S. Al-Baqarah : 229)[7]
Kemudian
Aisyah r.a. berkata, setelah itu banyak orang yang bersikaphati-hati dalam
urusan talak. Ada diantara mereka yang bercerai dan ada pula yang tidak
bercerai.[8]
Dalam
Agama Yahudi dan Nasrani talak bukanlah hal yang baru dalam konsep hukum
mereka. Dalam Agama Yahudi talak diperbolehkan meskipun tanpa alasan yang
jelas. Umpamanya suami ingin menikah lagi dengan wanita lain yang lebih cantik
dengan istrinya, maka ia dengan leluasa bisa menceraikan istrinya dengan sekehendak
hatinya. Alasan-alasan talak menurut Agama Yahudi ada dua:[9]
1. Cacat fisik, seperti : rabun,
juling, nafas berbau tidak sedap, pincang dan mandul.
2. Cacat secara psikis, seperti :
tidak memiliki rasa malu, banyak bicara, tidak bisa menjaga kebersihan, pelit,
berani melawan suami, suka berlaku boros, serakah, rakus dan lebih suka makan
diluar rumah.
Dalam
pandangan mereka, perselingkuhan merupakan alasan yang paling kuat untuk
menceraikan istri, sekalipun itu hanya isu dan belum terbukti kebenarannya.
Demikian
pula halnya dalam Agama Nashrani, Agama Nashrani yang dianut masyarakat barat
terbagi menjadi tiga aliran : 1. Aliran Katolik 2. Aliran Ortodok 3. Aliran
Protestan.
Aliran
Katolik mengharamkan talak secara mutlak. Tidak boleh memutuskan ikatan
perkawinan dengan alasan apa pun, meskipun kondisi rumah tangga sudah
berantakan, bahkan istri yang berkhianat kepada suaminya sekalipun, tetap tidak
diperbolehkan dicerai. Jika sang istri berkhianat dengan melakukan
perselingkuhan maka yang dilakukan suami adalah memisahkan diri dari sang istri
(pisah ranjang), sedangkan secara hukum pernikahan mereka tetap sah dan
berlaku. Dalam masa perpisahan, suami atau istri tidak boleh melakukan
pernikahan dengan pihak lain karena dengan demikian meraka telah melakukan
poligami, dan poligami dalam aturan hukum Agama Nasrani di haramkan secara
mutlak.[10]
Menurut Aliran Ortodok dan protestan boleh
bercerai tapi dengan alasan tertentu, diantara alasan-alasan kebolehan
menceraikan istrinya yang paling dominan adalah alasan perselingkuhan, tapi
setelah mereka bercerai tidak diperbolehkan menikah lagi untuk selama-lamanya.[11]
[1] Yusuf Qaradhawi, Fiqih Wanita,
Bandung : Jabal, 2007, hlm. 56.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Bandung : Diponegoro, 2007, hlm. 83.
[3] Abu Daud, Sunan Abu Daud
Kitabu al-Aqdiyah, Bab fi karahiyatit talak, Juz 6 (Beirut : Daar Al-Fikr,
1994), hlm. 91. Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Maajah, Sunan Ibnu Maajah, Juz 6, Beirut : Daar Al-Fikr, 1995, hlm. 175.
[4] ‘Iddah artinya secara
linguistik adalah masa atau hitungan tetapi yang dimaksud disini adalah masa
menunggu istri sesudah dicerai oleh suaminya sebagai ketetapan hamil atau
tidaknya. (Lihat Q.S. At-talak ; 1) adapun ketetapan ‘iddah adalah sebagai berikut
: 1) perempuan yang haid ‘iddahnya 3 kali suci. 2) perempuan yang putus haid
atau tidak pernah haid maka ‘iddahnya 3 bulan. 3) perempuan yang hamil
‘iddahnya sampai melahirkan anaknya. 4) perempuan yang tercerai karena suaminya
meninggal masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. 5) perempuan yang dicerai tapi
belum disenggama oleh suaminya maka, tidak ada masa ‘iddah baginya. Lihat, Hussein
Bahreisj, 450 Masalah Agama Islam, Surabaya : Al-Ikhlas, 1980, hlm. 82.
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4,
Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009, hlm. 8.
[6] Asbabun Nuzul ayat ini dalam
satu riwayat disebutkan bahwa seorang laki-laki menalak istrinya sekehendak
hati suami. Menurut anggapannya, selama rujuk itu dilakukan pada masa ‘iddah
maka ia tetap menjadi istrinya dan ia berhak melakukan jimak sekehendaknya
sekalipun sang suami telak mengucapkan talak seratus kali. Dengan perlakuan
yang demikian, sang istri menghadap ke Rasulullah SAW. lalu menceritakan apa
yang ia alami. Rasulullah terdiam sampai turunlah ayat tersebut. Untuk lebih
detail lihat K.H.Q. Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul ; Latar Belakang Turunnya Ayat,
Bandung : Diponegoro, 2007, hlm. 77.
[7] Departemen Agama RI, op. cit.,
hlm. 36.
[8] Sayyid Sabiq, op. cit., hlm.
8-9.
[9] Ibid., hlm. 7, pendapat ini ia
nukil dari kitab Nida’ul Lisan Al-Lathif, hlm. 97.
[10] Pendirian ini didasarkan pada
Injil Markus sebagaimana disampaikan Al-Masih, “Sehingga keduanya menjadi satu
daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang
telah dipersatukan Allah SWT, tidak boleh diceraikan manusia”. Lihat, Injil Markus,
Pasal 10 : 8-9. Ibid., hlm. 216.
[11] Alasan boleh bercerai dengan
istri karena perselingkuhan ialah berdasarkan pada dalil Injil Matius
sebagaimana dikatakan Al-Masih, “Barang siapa menceraikan istrinya kecuali
karena zina, berarti membuat dia berzina”. (Injil Matius, Pasal 5 : 21-22).
Adapun alasan dilarangnya menikah lagi setelah bercerai didasarkan pada dalil,
“Barang siapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan permpuan lain, dia hidup
dalam perzinahan terhadap istrinya”. (Injil Markus, Pasal 10 : 11). Ibid., hlm.
216.
No comments:
Post a Comment