Terputusnya
ikatan suami istri jika ditinjau dari inisiatif dari pihak yang menghendaki
akan putusnya ikatan, terbagi dalam:[1]
1. Putusnya ikatan suami istri yang
bukan kehendak dari pihak suami ataupun istri melainkan Allah SWT mencabut
nyawa dari salah satu pihak (istri/suami) sehingga terputuslah ikatan suami
istri (Kehendak Allah SWT dikarenakan ajal yang menjemput).
2. Putusnya ikatan suami istri dengan
inisiatif dari pihak suami dengan alasan dan ucapan tertentu kepada pihak istri
(Talak).
3. Putusnya ikatan suami istri dengan
inisiatif dari pihak istri yang menghendaki dikarenakan alasan tertentu dan
suami tetap ingin mempertahankan ikatan suami istri tersebut (Khulu).[2]
4. Selain dari pihak suami atau istri
serta ajal yang menjemput, hakim dapat menetapkan keputusan bahwa ikatan
perkawinan suami istri haruslah diputuskan dikarenakan “cacat” dalam keabsahan
dari perkawinan tersebut (Fasakh).[3]
Selain
dari yang telah disebutkan di atas tentang putusnya perkawinan ditinjau dari
pihak yang berinisiatif, terdapat beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami
istri yang halal menurut Agama Islam tidak dapat dilakukan (melakukan hubungan
suami istri) namun yang tidak memutuskan hubungan ikatan perkawinan secara
Syar’i, yakni :
a. Zhihar
Zhihar
adalah perbuatan seorang laki-laki yang mengatakan kepada istrinya, “kamu sama
dengan ibuku (atau saudariku atau orang yang masih mahram dengannya baik dari
segi nasab maupun sebab susuan)” dengan tujuan hanya ingin menghindari jimak
dan bersenggama dengan istrinya. Ketika suami menyamakan istrinya dengan wanita
yang haram dinikahinya, maka dalam hal ini dihukumi zhihar.[4]
Zhihar
hukumnya adalah haram dan dilarang, sebagimana firman Allah SWT :
الذين
يظهرون منكم من نسائهم ما هن أمهتهم إن أمهتهم إلا الئى ولدنهم و إنهم ليقولون
منكرا من القول و زورا و إن الله لعفو غفور
“Orang-orang
yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya,
padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah SWT Maha Pemaaf
lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Al-Mujadalaah : 2)[5]
Ayat
di atas menerangkan bahwa mereka (orang yang mendzihar) mengatakan perbuatan
yang keji dan batil yang tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan, hal itu termasuk
suatu kebohongan yang nyata serta diharamkan dalam Syari’at Islam. Sebab, orang
yang melakukan zhihar berarti telah mengharamkan sesuatu yang telah di halalkan
oleh Allah SWT dan telah menjadikan istrinya sama dengan ibunya sendiri, padahal
sesungguhnya tidak seperti itu.[6]
Pada
masa jahiliyah dikenal zhihar dikenal sebagai praktek untuk menjatuhkan talak
atau cerai kepada istrinya. Namun setelah datangnya Islam, zhihar dihapuskan
dan dianggap sebagai sumpah yang terlarang.[7] Seorang yang melakukan
zhihar diharamkan melakukan jimak dengan istrinya, sebelum ia membayar denda (kafarat)
dari zhiharnya tersebut, sebagimana firman Allah SWT :
إن
الذين يظهرون من نسائهم ثم يعودون لما قالوا فتحرير رقبة من قبل ان يتماساّ ذلكم
توعظون به و الله بما تعملون خبير فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين من قبل ان
يتماسّا فمن لم يستطع فإطعام ستين مسكينا ذلك لتؤمنوا بالله و رسوله و تلك حدود
الله و للكفرين عذاب عليم
“Orang-orang
yang menzhihar istri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah
SWT Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (3). Barangsiapa yang tidak
mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya)
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah SWT, dan bagi orang kafir
ada siksaan yang sangat pedih (4).” (Q.S. Al-Mujadalah 3-4)[8]
Dari
ayat di atas ditetapkan bahwa kafarat bagi orang yang melakukan zhihar adalah:[9]
1) Memerdekakan budak.
2) Berpuasa dua bulan secara
berturut-turut.
3) Memberi makan 60 orang miskin.
b. Ila’
Ila’
secara bahasa adalah sumpah. Kata ila’ adalah bentuk masdar dari kata (ألى _ يؤلي _ إيلاء) Karena itu, para ulama’ mendefinisikan ila’ dengan “sumpah
yang diucapkan oleh suami yang mampu melakukan jimak dengan nama Allah SWT atau
dengan sifat-sifat-Nya yang serupa untuk meninggalkan jimak dengan istrinya
melalui vagina selama-lamanya empat bulan atau lebih.[10]
Dari
definisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa ila’ tidak terjadi kecuali dengan
lima syarat dibawah ini :
1)
Suami mampu melakukan jimak secara fisik dan psikis.
2) Bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan sifat-sifat-Nya, tidak
dengan kata talak, perbudakan atau nadzar.
3)
Bersumpah meninggalkan jimak melalui vagina.
4)
Bersumpah meninggalkan jimak selama empat bulan atau lebih.
5) Seorang istri yang disumpahi adalah
istri yang mungkin untuk di-jimak.
Jika
kelima syarat ini terpenuhi, maka sumpahnya dinamakan ila’ dan hukumnya sesuai
dengan ketentuan hukum tentang ila’ yang diatur dalam nash.[11] Dan jika salah satu dari
mereka mencabut sumpahnya, maka tidak ada lagi hukum ila’.[12] Adapun dalil dari ila’
adalah firman Allah SWT :
للذين
يؤلون من نسائهم تربص أربعة أشهر فإن فآءو فإن الله غفور رحيم
“Kepada
orang-orang yang meng-ilaa' istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), Maka Sesungguhnya Allah SWT
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah; 226)[13]
Adapun
hukum dari ila’ adalah haram di dalam Islam. Karena ila’ pada hakikatnya adalah
sumpah untuk meninggalkan suatu perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh suami
(nafkah batin bagi istri).[14]
c. Li’an
Li’an
secara bahasa berasal dari kata la-‘a-na (لعن) yang berarti mengutuk[15] sedangkan menurut istilah
dalam Hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia
menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk
orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima
disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima la’nat Allah SWT jika ia berdusta
dalam tuduhannya itu.[16]
Adapun
dasar hukum dari li’an ialah firman Allah SWT:[17]
و
الذين يرمون أزواحهم و لم يكن لهم شهداء إلا أنفسهم فشهدة أحدهم أربع شهدات بالله إنه
لمن الصدقين و الخمسة أن لعنت الله عليه إن كان من الكذبين و يدرؤا عنها العذاب أن
تشهد أربع شهدت بالله انه لمن الكذبين و
الخمسة أن غضب الله عليها إن كان من الصدقين
“Dan
orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah SWT, Sesungguhnya dia adalah termasuk
orang-orang yang benar. (6) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah SWT
atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta (7) Istrinya itu
dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah SWT Sesungguhnya
suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. (8) Dan (sumpah) yang
kelima: bahwa laknat Allah SWT atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang
yang benar. (9)” (Q.S. An-Nuur 6-9)[18]
Agar
li’an sah hukumnya, maka disyaratkan suami istri tersebut haruslah orang
mukallaf (baligh dan berakal sehat) yang menuduh istrinya dengan tuduhan zina
dan dia berdusta dengan tuduhan tersebut hingga saat terjadinya li’an. Kemudian
hal tersebut akan diputuskan oleh hakim yang mengadili.
Jaki
li’an tersebut telah usai dengan sempurna yaitu terpenuhi syarat syarat sahnya,
maka yang akan terjadi adalah hal berikut :
1) Telah menggagalkan hukuman menuduh
(qadzaf) dari sang suami.
2) Telah terjadi perceraian kedua
belah pihak dan diharamkan bersatu kembali untuk selama-lamanya.
3) Jika suami menghapuskan status
keturunan anak yang ada dalam kandungan istri darinya didalam li’an, dengan
mengatakan “bayi yang dikandungnya bukan benih dariku” maka anak itu tidak
punya hubungan keturunan dengan suaminya.[19]
[1] Amir Syarifuddin, Garis-Garis
Besar Fiqih, Jakarta : Kencana, 2003, hlm. 124.
[2] Khulu’ adalah perceraian yang
terjadi dengan pembayaran ganti rugi oleh pihak istri kepada suami. Hal ini
disebabkan karena keengganan istri untuk melanjutkan hubungan suami istri dengan
suaminya dengan alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i. Khulu’ kadang juga
disebut dengan fidyah atau iftida. Lihat, Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita,
Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007, hlm. 260.
[3] Dalam hal ini yang dimaksud
adalah batalnya suatu perkawinan, yang dimaksud dengan batal ialah rusaknya
hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi
syarat dan rukunnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh syara’. Selain karena
tidak memenuhi syarat dan rukunnya, perbuatan itu dilarang/diharamkan oleh
agama. Jadi secara umum batalnya perkawina (fasakh) adalah rusak atau tidak
sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu
rukunnya atau sebab lain yang dilarang/diharamkan oleh agama. Abdur rahman
Ghazali, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana, 2003, hlm. 111.
[4] Saleh Al-Fauzan, Fiqih
Sehari-Hari, Jakarta : Gema Insani, 2006, hlm. 717.
[5] Departemen Agama RI, op. cit.,
hlm. 542.
[6] Saleh Al-Fauzan op. cit., hlm.
718.
[7] Ahmad Minhaji, Kontroversi
Pembentukan Hukum Islam ; Kontribusi Joseph Schacht, Yogyakarta : UII Press,
2001, hlm. 19.
[8] Departemen Agama RI, op. cit.,
hlm. 542.
[9] Pelaksanaan kafarat dzihar
dilakukan secara tertib sesuai dengan tahapannya, yakni pertama kali dengan
memerdekakan budak. Saat ini perbudakan sudah dihapuskan karena tidak sesuai
dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM), jadi tinggal berpuasa berturut-turut
selama dua bulan. Atau jika tidak mampu melaksanakannya, ia memberi jamuan
makanan kepada enam puluh orang miskin. Lihat, Anshori Umar, Fiqih Wanita,
Semarang : CV. As-Syifa, 1986, hlm. 429.
[10] Saleh Al-Fauzan, op. cit., hlm.
714.
[11] Nash, dalam pengertian penulis
disini adalah teks, yakni Al-Kitab dan As-Sunnah.
[12] Abdul Rohman, op. cit., hlm.
107.
[13] Departemen Agama RI, op. cit.,
hlm. 36.
[14] Yusuf Qaradhawi secara tegas
menghukumi ila’ dengan hukum haram. Karena dalam praktek ila’ hak seorang
wanita (nafkah batin dari suami) diabaikan oleh suami, dan yang demikian tidak
dibenarkan dalam Syari’at Islam. Lihat, Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, Bandung
: Jabal, 2007, hlm. 227.
[15] Anshori Umar, Fiqih Wanita,
Semarang : CV. As-Syifa, 1986, hlm. 441.
[16] Jika suami jika suami menuduh
istri telah melakukan zina yang disertai bantahan dari istri, maka jika suami
tidak dapat menunjukkan bukti dengan menghadirkan saksi-saksi laki-laki sebanyak
4 orang atau tidak terbukti istrinya hamil maka suami tersebut dihukumi cambuk sebanyak
80 kali. Tetapi jika suami dapat membuktikannya dengan jalan yang benar maka
istri dihukum rajam. Lihat, Hussein Bahreisj, 450 Masalah Agama Islam, Surabaya
: Al-Ikhlas, 1980, hlm. 131. Sedangkan dalam Hukum Positif di Indonesia akibat
hukum dari li’an ialah perkawinan itu terputus selama-lamanya dan anak yang
dikandung dinasabkan kepada ibunya sedangkan suaminya terbebas dari kewajiban
memberikan nafkah, lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 162.
[17] Anshari Umar, op. cit., hlm.
441.
[18] Departemen Agama RI, op. cit.,
hlm. 350.
[19] Anshari Umar, op. cit., hlm.
443.
No comments:
Post a Comment