Talak
terbagi kepada dua macam:[1]
a. Talak Sunnah[2]
Yang
dimaksud dengan talak sunnah adalah talak yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan Syari’at Islam, seorang suami menalak istri yang sudah pernah
disetubuhi dengan satu kali talak pada saat istri dalam keadaan suci dan tidak
lagi disentuh selama waktu suci tersebut.[3] Sebagai dasarnya adalah
firman Allah SWT :
يأيها
النبي إذا طلَقتم النساء فطلّقوهن لعدتهن
“Hai
nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.” (QS. At-Thalaq ; 1)[4]
Maksudnya
ialah talak yang sesuai dengan ajaran Syari’at Islam adalah menjatuhkan satu
kali talak, kemudian dilanjutkan dengan rujuk, kemudian ditalak untuk kedua
kalinya kemudian dilanjutkan dengan rujuk lagi. Setelah itu, jika seorang suami
yang menceraikan istrinya setelah rujuk yang kedua ini, maka dia dapat memilih
antara terus mempertahankan istrinya dengan baik atau melepaskannya dengan baik.[5]
Dalam
hal ini dinamakan talak sunnah dikarenakan berbagai pandangan.[6]
Pertama,
dari segi jumlah. Karena, dia menjatuhkan talak kepada istrinya sebanyak satu
kali dan meninggalkannya sampai masa iddahnya.
Kedua,
dari segi waktu. Karena, dia menjatuhkan talak kepada istrinya dalam keadaan
suci dan belum digauli sebagaimana dalam firman Allah SWT di atas.
b. Talak Bid’ah[7]
Talak
bid’ah adalah talak yang tidak sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam, lebih
singkatnya yakni talak yang terjadi dalam kondisi yang diharamkan atau tatacara
pelaksanaannya tidak dibenarkan dalam Syari’at Islam. Seperti seorang suami
yang menalak istri sebanyak tiga kali dengan satu kali ucapan atau menalak tiga
kali secara terpisah-pisah. Atau suami menalak istri dalam keadaan istri sedang
haid atau nifas, atau suci yang telah disetubuhi, sedang keadaannya belum
jelas, apakah persetubuhan itu menimbulkan kehamilan atau tidak.[8]
Adapun
talak bid’ah yang karena kondisi istri yang menjadi keharaman dijatuhkan talak
ialah riwayat:[9]
حدثنا
يحيى بن يحيى التميمي قال قرأت على مالك بن أنس عن نافع عن ابن عمر أنه طلق إمرأته
و هي حائض في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فسأل عمر بن الخطاب رسول الله صلى
الله عليه و سلم عن ذلك فقال له رسول الله صلى الله عليه و سلم مره ليراجعها ثم
ليتركها حتى تطهر ثم إن شاء أمسك بعد و إن شاء طلق قبل أن يمس فتلك العدة التي أمرالله
عز و جل أن يطلق لها النساء (رواه مسلم)
“Diriwayatkan
oleh Yahya bin Yahya At-Tamimi dari Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibnu Umar
bahwasanya Ibnu Umar menceraikan istrinya dalam keadaan haid dimasa Rasulullah
Saw, kemudian Umar bin Khatab bertanya kepada Rasulullah Saw tentang hal itu, Rasulullah
Saw menjawab : perintahlah dia untuk meruju’ istrinya lalu biarkan sampai suci
kemudian haid lagi kemudian suci lagi lalu jika dia mau maka dipertahankan atau
diceraikan.” (H.R. Muslim)
Adapun
keharaman talak bid’ah ditinjau dari jumlahnya tiga kali yang dijatuhkan
bersamaan dalam satu waktu ialah firman-Nya:
فإن
طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره فإن طلقها فلا جناح عليهما أن يتراجها
إن ظنا أن يقيما حدود الله و تلك حدود الله يبينها لقوم يعلمون
“Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah SWT. Itulah hukum-hukum Allah SWT, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 230)[10]
Para
ulama’ sepakat bahwa talak bid’ah diharamkan dan bagi yang melakukannya, maka
dengan sendirinya ia mendapatkan dosa dari perbutannya tersebut. Ini didasarkan
karena talak bid’ah ini tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka
oleh karena itu. Talak yang tidak berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah
adalah hal bid’ah, dan yang demikian tidak dibenarkan dalam Syari’at Islam.[11]
Adapun
talak jika ditinjau dari pengaruhnya ialah terbagi kepada :
a. Talak Raj’i
Talak
raj’i ialah talak dimana suami masih tetap berhak mengembalikan istrinya
kebawah perlindungannya selagi iddah-nya belum habis. Dan itu bisa dilakukan
dengan semata keinginan untuk rujuk dengannya sebagaimana Allah SWT firmankan
dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 229.[12]
Hal
ini maksudnya ialah bahwa, talak yang disyari’atkan oleh Allah SWT itu tahap
demi tahap. Jadi setelah jatuhnya talak yang pertama, laki-laki masih boleh
menahan istrinya dengan baik, dan begitu pula setelak talak yang kedua. Hal ini
maksudnya ialah suami berhak melakukan ruju’ (kembali) kepada istrinya seperti
sediakala ia sebelum menceraikan istrinya.[13] Adapun hak suami ini
diatur dalam firman-Nya:
و
المطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء و لا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن
أن كن يؤمن بالله و اليوم الآخر و بعولتهن أحق بردهن في ذلك إن أرادوا إصلاحا و
لهن مثل الذي عليهن بالمعروف و للرجال عليهن درجة و الله عزيز حكيم
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah SWT dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya. dan Allah SWT Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S.
Al-Baqarah : 228)[14]
Adapun
konsekuensi hukum dari talak raj’i ialah tidak menghapus kehalalan suami untuk
bersenang-senang dengan sang istri. Atau menghapus akad nikah yang berimbas
hilangnya kehalalan bagi mereka berdua. Selagi wanita tersebut masih dalam masa
menunggu habisnya masa ‘iddahnya. Pengaruh dari talak raj’i nampak ketika habis
masa ‘iddah istri yang diceraikan oleh suaminya dan suami juga tidak
merujuknya, maka haramlah melakukan persetubuhan dengan istri.
b. Talak Ba’in
Yaitu
talak yang putus secara penuh. Dalam arti tidak memungkinkan suami kembali
kepada istrinya kecuali dengan melakukan nikah baru, talak ba’in inilah yang
tepat untuk disebut putusnya perkawinan.[15]
Ibnu
Rusyd, berpendapat bahwa para ulama’ sepakat akan istilah talak ba’in hanya
digunakan untuk talak yang dilakukan suami kepada istri yang ditalak sebelum
disetubuhi, talak untuk kali yang ketiga dan talak dengan membayar uang tebusan
yang diserahkan oleh istri kepada suami agar sang istri bisa mengajukan khulu’.[16]
1) Talak Ba’in Sughra
Dalam
hal ini suami punya kesempatan untuk ruju’ jika belum habis masa ‘iddahnya atau
menikah dengan istrinya setelah masa ‘iddahnya habis.[17] Talak ba’in sughra ini
dimasukkan dalam hitungan, maksudnya ialah jika suami menjatuhkannya maka berkuranglah
jatah talak yang dimiliki suami.
Talak
dikategorikan talak ba’in sughra jika dilakukan dalam kondisi:[18]
- Jika seorang suami menalak istrinya
sebelum ia menyetubuhinya, maka tidak ada ‘iddah bagi istrinya dan tidak juga
berlaku ruju’. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
يآيها
الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنت ثم طلّقتموهن من قبل ان تمسوهن فما لكم من عليهن من
عدة تعتدونها
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
(QS. Al-Ahzab ; 49)[19]
- Talak yang dilakukan dengan cara
tebusan dari pihak istri atau yang disebut khulu’. Hal ini dapat dipahami dari
firman Allah SWT :
فإن
خفتم ألاّ يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما افتدت به تلك حدود الله فلا تعتدوها
و من يتعد حدود الله فأولئك هم الظلمون
“Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang
yang zalim.” (QS. Al-Baqarah ; 229)[20]
2) Talak Ba’in Kubra
Adalah
talak yang menghilangkan hak suami untuk nikah kembali kepada istrinya, kecuali
kalau bekas istrinya itu telah kawin dengan orang lain dan telah berkumpul
sebagai suami sebagai suami istri secara sah dan nyata. Dan istri telah menjalankan
masa ‘iddahnya dan telah habis masa ‘iddahnya.[21] Sebagaimana firman Allah SWT
:
فإن
طلّقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره
“Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (Q.S.
Al-Baqarah : 230)[22]
Yang
juga masuk dalam kategori talak ba’in kubra adalah, istri yang bercerai dari
suaminya melalui proses li’an. Berbeda dengan bentuk pertama mantan istri yang
di-li’an itu tidak boleh sama sekali dinikahi, meskipun sudah diselingi oleh
muhallil.
[1] Sedangkan menurut Abu Hasan
Ali bin Muhammad dalam kitab Al-Hawi Al-Kabiir membagi talak kepada 3 macam,
yakni : 1) talak sunnah 2) talak bid’ah, dan 3) talak yang bukan bid’ah dan
juga bukan sunnah, yakni yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum
sempat disetubuhi, atau kepada wanita hamil, kepada wnita tua yang tidak
bakalan dating haid lagi, dan talak yang dijatuhkan kepada istri yang masih
kecil yang masih belum dating haid. Lebih jelasnya lihat, Abu Hasan Ali bin
Muhammad, Al-Hawi Al-Kabiir, Beirut : Daarul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1994, hlm.
114-115.
[2] Dalam redaksi lain disebut
juga dengan talak sunni
[3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4,
Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009, hlm. 32.
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Bandung : Diponegoro, 2007, hlm. 558.
[5] Sayyid Sabiq, op. cit., hlm.
32.
[6] Saleh Al-Fauzan, Fiqih
Sehari-Hari, Jakarta : Gema Insani, 2006, Hlm. 702. Dalam pendapat lain
disebutkan bahwa pemberian nama sunnah/sunni tidak lain karena sesuai dengan
tuntunan sunnah. Hal ini disebut talak sunni jika memenuhi 3 syarat : 1) istri
yang ditalak sudah pernah dikumpuli. 2) istri dalam keadaan suci dari haid 3)
talak dijatuhkan dalam istri keadaan suci. Dalam masa suci istri tidak pernah dikumpuli.
Lihat Djaman Nur, Fikih Munakahat, Semarang : Dina Utama Semarang, 1993, hlm. 136.
[7] Dalam redaksi lain disebut
juga dengan talak bid’i
[8] Anshori Umar, Fiqih Wanita,
Semarang : CV. As-Syifa, 1986, Hlm. 405
[9] Muslim, Shohih Muslim, Bab
tahrimi talakil Haid bi ghairi, Juz 4, Daar Al-Kutub Al-Arabiyah, tt, Hlm. 104.
[10] Departemen Agama RI, op. cit.,
hlm. 36.
[11] Tapi ada sebagian ulama’ yang
berpendapat bahwa talak bid’ah tetap sah, diantara ulama yang membolehkannya
ialah Ibnu ‘Aliyah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hazm dan Ibnu Qayyim. Lebih jelasnya
lihat, Abu Hasan Ali bin Muhammad, al-Hawi Al-Kabiir, Beirut : Daar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyah, 1994, hlm. 115-117.
[12] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid, Jilid II, Jakarta : Pustaka Amani, 2007, hlm. 538.
[13] Ibid., hlm. 539.
[14] Departemen Agama RI, op. cit.,
hlm. 36.
[15] Djamal Nur, Fikih Munakahat, Semarang : Dina Utama
Semarang, 1993, hlm. 140.
[16] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid, Jilid II, Jakarta : Pustaka Amani, 2007, hlm. 538.
[17] Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah
Wanita, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007, hlm. 250.
[18] Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin
Yusuf, Muhadzzab Fi Fiqhi Imam As-Syafii, Beirut : Daar Al-Kutub, 1995, hlm.
10.
[19] Departemen Agama RI, op. cit.,
hlm. 424.
[20] Ibid., hlm. 36.
[21] Djamal Nur, op. cit., hlm. 140.
[22] Departemen Agama RI, op. cit.,
hlm. 36.
No comments:
Post a Comment