Islam
mengatur mengenai etika berpakian adalah dengan menutup aurat. Hijab salah satu
bentuk model pakaian yang dapat menutup aurat yang ditawarkan. Kata hijab berasal
dari kata hajaba, yang berarti
bersembunyi dari penglihatan,[1] yang juga berarti al-satr,
suatu benda yang menjadi sekat bagi benda yang lain. Jadi hijab adalah sesuatu yang
digunakan sebagai alat untuk memisah.[2]
Pemakaian
hijab lebih dikhususkan pada isteri-isteri Nabi ketika mereka berbicara dengan
laki-laki lain, mereka harus berbicara dibalik tabir dengan begitu laki-laki
yang bukan mahram (orang yang haram dinikahi) tidak bisa
melihat sosok isteri-isteri Nabi, berdasarkan firman Allah:
“…Apabila
kamu meminta sesuatu (keperluan) pada mereka (isteri-isteri Nabi) maka mintalah
dari belakang tabir.” (Q.S: al-Ahzab : 53)[3]
Ayat
lain yang memerintahkan tentang penggunaan hijab adalah Qur’an Surat an-Nûr
ayat 30-31. Dari ayat yang tersebut kaum laki-laki diperintahkan untuk menahan
diri dari pandangan yang mengarah pada perbuatan
m3sum, sedangkan kaum wanita tidak hanya diperintahkan untuk menahan pandangan
tetapi juga diperintahkan untuk mentaati
dan memperhatikan kehidupan sosial. Hal tersebut memperlihatkan bahwa untuk melindungi
moralitas kaum wanita tidak hanya cukup dengan menghindari pandangan mata dan
menjaga auratnya.
Ayat
tersebut berkaitan dengan beberapa persoalan, yaitu:
1. Menghindari pandangan atau ghadl
al-bashar yang dimaksudkan untuk selalu mewaspadai z1na mata.[4]
Arti
ghadl al-bashar adalah tidak memandang untuk mencari kelezatan melainkan
yang bersifat pendahuluan dalam pembicaraan saja dan merupakan pandangan yang tidak
disengaja, tidak diulangi dan tidak untuk mencari kepuasan.[5]
Allah
telah menetapkan bahwa kesempatan pertama melihat dapat dimaafkan sedangkan
pandangan yang kedua tidak, seperti pesan
yang disampaikan Nabi kepada Ali.
يا
على لا تتبع النظرة النظرة فإنما لك الأولى و ليست لك الآخرة
“Hai
Ali janganlah sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan yang lainnya, kamu
hanya boleh pada pandangan pertama adapun yang berikutnya adalah tidak boleh.”
(HR.Ahmad, Abu Daud, dan Tarmidzi)[6]
Rasulullah
tidak melarang memandang wanita tetapi tujuan yang utama adalah untuk mencegah
akibat-akibat negatif yang bisa ditimbulkan, oleh karena itu beliau melarang
melihat yang tidak ada manfaat sosial atau hanya didasarkaan pada motivasi
seksual belaka.[7]
2.
Larangaan memamerkan perhiasan (aurat-nya). Larangan ini berlaku bagi
para pria dan wanita tetapi ada sedikit perintah tambahan bagi kaum wanita
yaitu tidak memamerkan perhiasanya pada pria bukan mahram, kecuali wajah dan
kedua telapak tangan, karena pada dasarnya tubuh seorang wanita adalah aurat,[8] yang mana seluruh tubuhnya
harus di tutup kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Selain itu, setiap orang
dilarang juga untuk saling melihat aurat masing-masing berdasarkan sabda Nabi :
عن
عبد الرحمن بن أبي سعيد الخدري عن أبيه ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لا
ينظر الرجل الى عورة الرجل و الا المرأة
الى عورة المرأة و لا يفض الرجل الى الرجل في الثوب واحد و ال تفض المرأة
الى المرأة في الثوب الواحد
“Dari
Abu Sa’id Al-Khudzry berkata: ”Rasulullah pernah bersabda: Janganlah kaum
laki-laki melihat aurat laki-laki yaang lain dan perempuan melihat aurat
perempuan yang lain dan tidak diperbolehkan dua laki-laki bertelanjang dalam
satu kain atau dua perempuan dalam satu kain.” (H.R: Muslim)[9]
Aurat
laki-laki adalah antara pusar sampai lutut sedangkan bagi perempuan seluruh
tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan, oleh karena itu seorang wanita
harus menutup tubuhnya sesuai dengan Qur’an Surat al-Ahzab ayat 59. Ayat tersebut mengandung maksud mendidik kaum
wanita muslimah agar mengenakan busana
luar yang modelnya sesuai dengan adat kesopanan masyarakat setempat, sehingga
tidak menjadi gunjingan masyarakat.
Sabab al-nuzûl ayat tersebut menurut
Al-Wahidi, berkenaan dengan wanita mukmin yang keluar pada malam hari untuk
keperluannya dan pada waktu itu orang-orang munafik mengganggu dan menghalangi
mereka. Berkenaan dengan hal tersebut maka turunlah ayat di atas.
Adapun
menurut Imam As-Saddi, dikarenakan di Madinah ada rumah-rumah yang penduduknya
sangat sempit, ketika malam hari para wanitanya keluar untuk memenuhi
keperluanya, demikian juga orang-orang fasik, ketika mereka melihat wanita
mengenakan qinâ (tutup kepala) maka mereka berkata, “ini adalah perempuan
merdeka, akan tetapi jika mereka melihat perempuan tanpa qinâ maka mereka mengatakan bahwa perempuan itu adalah budak dan mereka menganggunya.[10]
Dari
keterangan di atas dapat diketahui disyariatkan hijab tidak lebih dari ekspresi
rasa malu yang tercermin dari sikap kaum wanita yang menutupi sisi sensualitasnya,
ketika ia berinteraksi dengan pria bukan mahram, dan untuk menjaga dan
mengantisipasi bahaya-bahaya yang akan menyebabkan kemerosotan moral kaum
wanita.[11]
Seorang
wanita yang akan keluar dari rumahnya
dan berinteraksi dengan pria bukanmahram, maka ia harus
memperhatikan sopan santun dan tata cara busana yang dikenakan haruslah
memenuhi beberapa syarat :
1. Meliputi seluruh badan kecuali yang
diperbolehkan yaitu wajah dan kedua
telapak tangan.
2. Bukan berfungsi sebagai perhiasan.
3. Tebal tidak tipis.
4. Longgar tidak ketat.
5. Tidak diberi parfum atau minyak
wangi.
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
7. Tidak menyerupai pakaian wanita
kafir.
8. Bukanlah pakaian untuk mencari
popularitas.
Islam
mengajarkan etika berbusana yang menutup aurat tidak lain adalah demi
perlindungan terhadap pengguna (terutama kaum hawa), sehingga pelecehan s3ksual
tidak terjadi. Dengan demikian harkat dan martabat kaum wanita akan
terlindungi, kalau tidak ingin
direndahkan maka hargailah diri sendiri.
[1] Fatima Mernissi, Wanita di
dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Pustaka, Bandung, 1991, hlm.118
[2] Abdur-Rasul Abdul Hasan Al-
Ghaffar, Wanita Islam Dan Gaya Hidup Modern,
terj. Bahruddin Fanani, Pustaka Hidayah, Bandung, 1989, hlm. 35
[3] Departemen Agama RI, al-Qur’an
dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, al-Waah,
Semarang, 1993, hlm. 548
[4] Abul A’la Maududi, Al-Hijab,
terj. Ahmad Noer Z, Gema Risaalah Press, Bandung, 1995, hlm. 263
[5] Husein Shahab, Jilbab Menurut
Al-Qur’an dan As-sunah, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 31
[6] Syekh Muhammad Yusuf
Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam,
terj. Mu’amal Hamidy, Bina Ilmu,
Semarang, 1993, hlm. 206
[7] Ibid., hlm. 266
[8] Abdul Halim Abu Syuqqoh,
Kebebasan Wanita, terj. As’ad
Yasin, Gema Insani Press, Jakarta, 1997
hlm. 29
[9] Imam Abu Husain Muslim Ibn
al-Hajjaj, Shahih Muslim, Global Islamic
Software Company, t.tp., 2000, no. 512
[10] Sri Suhandjati Sukri, (ed), Pemahaman
Islam dan Tantangan Keadilan Jender, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hlm. 142
[11] M. Sa’id Ramadhan Al-
Buthi, Perempuan Antara Kezaliman Sistem
Barat dan Keadilan Islam, terj. Darsim Ermaya Imam Fajaruddin, Intermedia,
Solo, 2002, hlm. 190
No comments:
Post a Comment