AKIBAT HUKUM PEMINANGAN


Peminangan atau pertunangan hanyalah merupakan janji akan menikah. Oleh sebab itu peminangan dapat saja diputuskan oleh salah satu pihak, karena akad dari pertunangan ini belum mengikat dan belum pula menimbulkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak.

Dalam kompilasi juga ditegaskan bahwa “(1) pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan, (2) kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai”.[1]

Akan tetapi menurut Wahbah Zuhaily berpendapat bahwa akhlak Islam menuntut adanya tanggung jawab dalam tindakan. Apalagi yang sifatnya janji yang telah dibuatnya.[2]

Allah SWT. berfirman:

Dan penuhilah janji karena janji itu pasti dimintai pertanggung-jawabannya”. (QS. Al-Isra’: 34).[3]

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa seseorang itu dianjurkan untuk memenuhi janji yang telah diucapkan dengan penuh tanggung jawab, walaupun dalam hal peminangan yang status hukumnya belum mengikat dan belum pula menimbulkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak. Maka seseorang itu tidak diperbolehkan membatalkannya tanpa adanya alasan-alasan yang rasional dan harus dilakukan dengan tata cara yang baik (dibenarkan oleh syara’).

Karena peminangan prinsipnya belum berakibat hukum, maka diantara mereka yang telah bertunangan tetap tidak diperbolehkan untuk berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sampai mereka melangsungkan akad perkawinan atau kecuali mereka disertai oleh mahramnya maka berkhalwat itu diperbolehkan. Adanya mahram dapat menghindarkan mereka dari maksiat.

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa apabila mereka sudah bertunangan, mereka merasa sudah ada jaminan menjadi suami istri, tidak jelas apa yang melatarbelakangi anggapan masyarakat tersebut menjadi sesuatu yang dijadikan tradisi. Oleh karena itu hal ini patut mendapat perhatian semua pihak. Karena tidak mustahil dengan adanya kelonggaran norma-norma etika sebagian masyarakat, terlebih yang bertunangan akan menimbulkan penyesalan dikemudian hari, apabila mereka terjebak ke dalam perzinaan.

Berkaitan dengan peminangan ini, dalam masyarakat terdapat kebiasaan pada waktu upacara pertunangan, calon mempelai laki-laki memberikan sesuatu pemberian, seperti perhiasan atau cindera hati lainnya sebagai tanda bahwa seseorang tersebut sungguh-sungguh berniat untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan. Pemberian ini harus dibedakan dengan mahar. Mahar adalah suatu pemberian dari calon suami kepada istri dengan sebab nikah.[4]

 Sedangkan pemberian ini termasuk dalam pengertian hadiah/hibah. Oleh karena itu akibat yang ditimbulkan oleh pemberian hadiah, berbeda juga dengan pemberian dalam bentuk mahar.[5] Jika peminangan tersebut berlanjut ke jenjang perkawinan memang tidak menimbulkan masalah, tetapi jika tidak, diperlukan penjelasan tentang status pemberian itu.

Selanjutnya yang menjadi persoalan disini bagaimanakah kedudukan mahar yang telah dibayar sebelum dilaksanakannya akad nikah, dan begitu pula halnya pemberian-pemberian lainnya yang telah diterimakan kepada terpinang atau walinya sehubungan dengan pembatalan pertunangan antara keduanya.

Dalam masalah ini para fuqaha’ saling berbeda pendapat, yaitu:

a) Fuqaha’ Syafi’iyah berpendapat bahwa peminang berhak meminta kembali apa yang telah  diberikan kepada terpinang, jika barang yang diberikan kepada terpinang masih utuh maka diminta apa adanya, dan jika barang itu sudah rusak atau sudah habis (hilang) maka diminta kembali nilainya seharga barangnya, baik pembatalan itu datang dari pihak laki-laki maupun perempuan.

b) Fuqaha’ Hanafi berpendapat bahwa barang-barang yang diberikan oleh pihak peminang kepada pinangannya dapat diminta kembali apabila barangnya masih utuh, apabila sudah berubah  atau hilang, sudah dijual maka pihak laki-laki sudah tidak berhak meminta kembali barang tersebut.

c) Fuqaha’ Maliki berpendapat bahwa apabila barang itu datang dari pihak peminang maka barang-barang yang pernah diberikan tidak boleh diminta kembali, baik pemberian itu masih utuh maupun sudah berubah. Sebaliknya apabila pembatalan datang dari pihak yang dipinang maka jika barang pemberian itu masih utuh atau sudah berubah maka boleh diminta. Apabila barang rusak maka syarat dan adat itulah yang harus diikuti.[6]

d) Fuqaha’ Hanabilah dan sebagian fuqaha’ tabi’in berpendapat bahwa pihak peminang tidak berhak dan tidak ada hak meminta kembali barang-barang yang telah diberikan kepada terpinang, baik barang tersebut masih utuh ataupun sudah berubah, karena menurut pendapat mereka bahwa pemberian (hibah) tidak boleh diminta kembali kecuali pemberian seorang ayah kepada anaknya.[7]

Perbedaan tersebut terjadi dikarenakan tidak adanya dalil-dalil yang menunjukkan permasalahan ini dalam satu segi, dan dalam segi lain memang ada kebolehan membatalkan peminangan karena sebab-sebab yang rasional dan dibenarkan syara’. Akan tetapi jika timbul permasalahan maka lebih baik diadakannya musyawarah untuk mencapai perdamaian, sesuai dengan hal-hal yang diperbolehkan oleh syara’. Firman Allah SWT.:

Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir”. (QS. An-Nisa’: 128).[8]

Dengan demikian dapat diserasikan antara tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga dapat terbina kerukunan dan saling menghargai satu sama lain.




[1] Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI, 1999, hlm. 138.
[2] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adzilatuhu, Juz. VII, Beirut: t. th, hlm. 16.
[3] Dept. Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur'an, Jakarta. 1989, hlm. 429.
[4] A. Ghozali, Fiqh Munakahat, Diktat Fakultas Syari’ah IAIN WS., Semarang, hlm. 71.
[5] A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 65
[6] Al-Hamdani, Risalah Nikah, (alih bahasa Agus Salim), Pekalongan: Raja Murah, 1980, hlm. 21.
[7] Hadi Mufa’at Ahmad, Fiqh Munakahat (Hukum Perkawinan Islam dan Beberapa Permasalahannya), Duta Grafika, 1992, hlm. 54.
[8] Dept. Agama RI, op. cit., hlm. 143.

No comments:

Post a Comment