Bertolak
dari pengertian bahwa psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia,
para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan
dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu utama perilaku dan corak
kepribadian manusia.[1]
Berangkat
dari sinilah maka psikologi merupakan alat untuk mengetahui jiwa manusia yang
sesungguhnya. Sampai dengan penghujung abad dua puluh ini terdapat empat aliran
besar psikologi, yaitu:
a)
Psikoanalisis (Psychoanalysis)
b)
Psikologi Perilaku (Behavior Psychology)
c)
Psikologi Humanistik (Humanistic Psychology)
d)
Psikologi Transpersonal (Transpersonal Psychology)
Masing-masing
aliran meninjau manusia dari sudut pandang berlainan, dan dengan metodologi
tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan
manusia, kemudian membangun teori dan filsafat mengenai manusia.[2]
Walaupun sebenarnya banyak sekali
aliran-aliran lain dalam psikologi,[3] namun dalam sejarah
perkembangannya hanya empat aliran tersebut di ataslah yang mendapat tempat dan
apresiasi yang menyebabkan keempat aliran tersebut tetap eksis sampai dengan sekarang.
Adapun
konsep manusia menurut keempat aliran tersebut adalah sebagai berikut ini:
1) Mazhab Psikoanalisa berpendapat
bahwa manusia adalah mahluk yang dikuasai oleh sistem unconsciousnes (ketidak-sadaran)
dalam diri manusia.
Menurut
Sigmund Freud, -tokoh pendiri Psikoanalisa- struktur jiwa manusia terdiri dari
tiga sistem dasar yaitu id, ego dan superego.[4] Id berisi
dorongan-dorongan biologis, ego berisi kesadaran terhadap realitas kehidupan,
dan superego berisi kesadaran normatif, yang semuanya berinteraksi satu sama
lain dan masing-masing memiliki fungsi dan mekanisme yang khas.[5]
Sementara
itu, psikis manusia juga memiliki tiga strata kesadaran yaitu consciousnes
(kesadaran), preconsciousnes
(ambang sadar), dan unconsciousnes (ketidaksadaran).[6]
Psikoanalisa
yang diperkenalkan oleh Sigmund Freud
pada tahun 1909, dikenal dengan teorinya mengenai alam ketidaksadaran. Teori ini merupakan penemuan
baru disaat itu, karena selama itu para ahli hanya sibuk dengan alam kesadaran
sebagaimana yang nyata dalam teori-teori lain yang berlaku disaat itu.[7]
2) Aliran Behaviorisme atau aliran psikologi
S-R adalah aliran yang khususnya terdapat di Amerika Serikat. Aliran ini
dikemukakan oleh John. B. Watson (1878-1958). Ia menentang pendapat yang umum berlaku
saat itu bahwa dalam eksperimen-eksperimen psikologi diperlukan introspeksi.
Introspeksi yang berarti mengamati perasaan sendiri, digunakan dalam
eksperimen-eksperimen di laboratorium Wundt untuk mengetahui ada atau tidaknya
perasaan-perasaan dalam diri orang yang diperiksa.[8]
Diantara
tokoh utama dalam Behaviorisme adalah Burrhus Frederic Skinner (1904-1990).
Dalam analisisnya, dia membuat tiga asumsi dasar.
Pertama,
bahwa perilaku terjadi menurut hukum (behavior can be controlled). Memang
manusia yang berperasaan dan berfikir, namun dia tidak mencari penyebab tingkah
laku itu pada jiwa, bahkan menolak alasan-alasan yang menjelaskan perilaku
manusia dikendalikan oleh pikiran dan perasaan.
Kedua,
perilaku hanya dapat dijelaskan berkenaan dengan kejadian atau situasi-situasi
antiseden yang dapat diamati. Dia berpegang teguh pada pendirian deterministik
dan meneliti sebab-sebab perilaku yang dapat diamati.
Ketiga,
perilaku manusia tidak ditentukan oleh pilihan individual. Perilaku dan
kepribadian manusia ditentukan oleh kejadian-kejadian masa lalu dan sekarang
dalam dunia objektif.[9]
3) Sementara itu, aliran psikologi
Humanistik memandang manusia sebagai satu kesatuan yang utuh antara raga, jiwa
dan spiritual.
Menurut
Humanistik, susunan struktur psikis manusia terdiri dari dimensi somatis (raga), psikis (kejiwaan) dan neotik (kerohanian) atau disebut juga dengan
dimensi spiritual. Hanna Djumhana Bastaman dalam mengomentari makna dimensi
spiritual dalam psikologi Humanistik ini menguraikan bahwa pengertiannya sama sekali
tidak mengandung konotasi agama, tetapi dimensi ini diyakini sebagai inti
kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup dan potensi dari berbagai
kemampuan dan sifat luhur manusia yang luar biasa, yang sejauh ini masih terabaikan
dalam kajian psikologi.[10]
Psikologi
Humanistik berasumsi bahwa manusia memiliki potensi yang baik. Psikologi ini
memusatkan perhatiannya untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yaitu sifat-sifat
dan kemampuan khusus manusia yang melekat pada eksistensi manusia, seperti
kemampuan abstraksi, daya analisis dan sinthesis, imajinasi, relatifitas,
kebebasan berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan
pribadi, sikap etis, rasa estetika dan lain-lain.
Kualitas-kualitas
ini merupakan ciri khas manusia, dan tidak dimiliki oleh makhluk lain semisal
binatang. Kecuali itu, psikologi Humanistik memandang manusia sebagai pemilik
otoritas atas dirinya sendiri. Asumsi ini
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku
aktif, yang dapat menentukan hampir segala tingkah lakunya.[11]
Psikologi
Humanistik menganggap bahwa hasrat untuk hidup bermakna adalah motivasi utama
manusia. Bila seseorang berhasil memenuhinya maka akan menjadikan hidupnya
bermakna dan bahagia. Sebaliknya, bila ia tak berhasil memenuhi arti hidupnya, maka
akan menyebabkan hidupnya hampa tak bermakna.[12]
Jadi,
Psikologi Humanistik ini memandang bahwa manusia-lah yang mempunyai kehendak
bebas atas dirinya, jadi tidak
deterministik seperti dalam pandangan Psikoanalisa dan Behaviorime.
4) Psikologi Transpersonal adalah
pengembangan dari psikologi Humanistik.
Tokoh-tokoh
perintis psikologi Transpersonal adalah pemuka-pemuka dalam psikologi
Humanistik. Nama-nama seperti Abraham Harold Maslow, Antony Sutich, dan Charles
Taart merupakan pemuka aliran psikologi Humanistik yang menjadi perintis
psikologi Transpersonal.[13]
Psikologi
Transpersonal seperti halnya psikologi
Humanistik, menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung
berbagai potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari
telaah psikologi kontemporer. Bedanya adalah psikologi Humanistik lebih
memanfaatkan potensi-potensi ini untuk meningkatkan hubungan antar manusia,
sedangkan psikologi Transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman
subjektif-transendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi-potensi spiritual
ini.[14]
Dua
hal penting yang menjadi sasaran psikologi Transpersonal yaitu potensi-potensi
luhur batin manusia (human highest potentials) dan fenomena kesadaran manusia
(human states of consciousnes).
Potensi-potensi
luhur adalah potensi-potensi yang bersifat spiritual, seperti transendensi
diri, keruhanian, dimensi di atas alam kesadaran, pengalaman mistik,
daya-daya batin, dan praktek-praktek keagamaan
di kawasan dunia timur. Sedangkan fenomena kesadaran manusia adalah pengalaman
seseorang melewati batas-batas kesadaran biasa, misalnya pengalaman alih dimensi,
memasuki alam-alam kebatinan, kesatuan mistik, komunikasi batiniah, pengalaman
meditasi, dan lain-lain.[15]
Psikologi
Transpersonal ini mungkin mendasarkan teorinya atas pengalaman dan pengetahuan
yang didapat oleh seseorang dalam bermeditasi, kontemplasi, yoga, latihan
pernafasan, dan latihan kerohanian lainnya.
[1] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi
Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi Islami, Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
1997, hlm. 49
[2] Ibid.
[3] Aliran-aliran dalam psikologi
yang lain diantaranya; Strukturalisme (William Wundt 1832-1920), Fungsionalisme
(William James 1842-1910), Assosiasionisme (Thomas Hobbes 1588-1679), Hormic
Psychology (William Mc. Dougall 1871-1938), dan Gestalt Psychology/Configurationisme
(Max Wertheimer 1880-1943). (Singgih Dirgayunarsa, Pengantar Psikologi,
Jakarta: Mutiara, 1983, hlm. 3)
[4] Baharuddin, Paradigma
Psikologi Islami,; Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur’an,
Jogjakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 288
[5] Hanna Djumhana Bastaman. Op.
Cit. hlm. 50
[6] Baharuddin. Loc. Cit.
[7] Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan
Dengan Aliran-Aliran Dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1986,
hlm. 17
[8] Ibid, hlm. 15-16
[9] Baharuddin, Op. Cit, hlm.
175-176
[10] Ibid, hlm. 302
[11] Ibid, hlm. 176
[12] Hanna Djumhana Bastaman, Op.
Cit, hlm. 53
[13] Baharuddin, Op.Cit, hlm. 179
[14] Hanna Djumhana Bastaman, Op.
Cit, hlm. 54
[15] Baharuddin, Op. Cit, hlm.
179-180
terimakasih
ReplyDeleteartikel anda sangat membantu