Dalam
bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti
diam atau tenang, sedang kata masakin ialah bentuk jama’ dari miskin
yang menurut bahasa diambil dari kata sakana yang artinya menjadi diam
atau tidak bergerak karena lemah fisik atau sikap yang sabar dan qana’ah.[1]
Menurut
al-Fairuz Abadi dalam Al-Qamus “miskin” adalah orang yang tidak punya apa-apa
atau orang-orang yang sangat butuh pertolongan. Dan boleh dikatakan miskin
orang yang dihinakan oleh kemiskinan atau selainnya.[2] Dengan kata lain miskin
adalah orang yang hina karena fakir jadi miskin menurut bahasa adalah orang
yang diam dikarenakan fakir.[3]
Sedangkan
menurut Yasin Ibrahim sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Ridlwan Mas’ud dalam
bukunya zakat dan kemiskinan, instrument pemberdayaan umat lebih luas lagi
yaitu orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka kebalikan
dari orang-orang kaya yang mampu memenuhi apa yang diperlukannya.[4]
Sementara
itu para ulama baik sahabat atau tabi’in berbeda pendapat dalam memahami dan
menafsirkan lafadh al-masakin dalam surat at-Taubah ayat 60:
إنما
الصدقات للفقراء و المسكين و العملين عليها و المؤلفة القلوبهم و في الرقاب و
الغرمين و في سبيل الله و ابن السبيل فريضة من الله و الله عليم حكيم
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang
sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah: 60)[5]
Kata
miskin pada ayat di atas diartikan sebagai orang yang mempunyai sesuatu tetapi
kurang dari nisab, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka atau orang-orang
yang memiliki harta tetapi tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka
sendiri tanpa ada bantuan.[6]
Ibnu
Abbas menyatakan lain kata al-masakin diartikan orang yang keluar rumah
untuk meminta-minta.[7] Hal serupa juga
diungkapkan oleh Mujahid, lebih lanjut ia menyatakan bahwa al-masakin adalah
orang yang meminta. Ibnu Zaid dalam menafsirkan al-masakin diartikan
orang-orang yang meminta-minta pada orang lain. Sedangkan menurut Qatadah al-masakin
adalah orang yang sehat (orang yang tidak mempunyai penyakit) yang membutuhkan.[8]
Pada
riwayat lain disebutkan bahwa Umar menyatakan “bukanlah orang miskin yang tidak
mempunyai harta sama sekali, tetapi orang yang buruk raganya” sementara Ikrimah
menyatakan orang-orang ahli kitab.[9]
Pengertian
miskin sering disamakan dengan fakir. Penjelasannya adalah bahwa mengenai
pengertian fakir dan miskin terdapat perbedaan pendapat, yaitu sebagai berikut:
1) Menurut Madzhab Hanafi, orang fakir
adalah orang yang memiliki usaha namun tidak mencukupi untuk keperluan
sehari-hari. Sedangkan orang miskin tidak memiliki mata pencaharian untuk
mencukupi keperluan sehari-hari. Jadi keadaan orang fakir masih lebih baik
daripada orang miskin.[10]
Pendapat ini diperkuat oleh Firman Allah dalam
surat al-Balad ayat 16:
او
مسكينا ذا متربة
"Atau
kepada orang miskin yang sangat fakir.” (QS. al-Balad: 16).[11]
Imam
Abu Hanifah memberi pengertian miskin adalah mereka yang benar-benar miskin dan
tidak memiliki apa-apa untuk memenuhi kebutuhan hidup.[12] Dengan kata lain orang
miskin lebih parah kondisinya daripada fakir.[13]
Imam
Malik mengatakan bahwa fakir adalah orang yang mempunyai harta yang jumlahnya tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam masa satu tahun.
Imam
asy-Syafi’i mengatakan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan
usaha atau mempunyai harta dan usaha tetapi kurang dari setengah kebutuhan
hidupnya dan tidak ada orang yang berkewajiban menanggung biaya hidupnya.
Imam
Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta
atau mempunyai harta tetapi kurang dari setengah keperluannya. Sebagaimana kata fakir, kata
miskin pun mengalami pengertian
yang bermacam-macam.
Imam
Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang
memiliki harta setengah dari kebutuhan hidupnya atau lebih tetapi tidak
mencukupi. ahli fikih sudah sama-sama mengadakan studi yang cukup mendalam
mengenai masalah ini. Mereka sudahsepakat bahwa perbedaan pendapat dalam hal
ini tak ada gunanya dalam arti zakat. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 273:
للفقراء
الذين أحصروا في سبيل الله لا يستطيعون ضربا في الأرض يحسبهم الجاهل أغنياء من
التعفف تعرفهم بسيمهم لا يسئلون الناس إلحافا و ما تنفقوا من خير فإن الله به عليم
“(Berinfaqlah)
kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak
dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena
memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat
sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui”. (QS. al-Baqarah: 273).[14]
2) Ibnu Al-Arabi berpendapat sama
saja antara fakir dan miskin yaitu orang
yang tidak mempunyai apa-apa. Abu Yusuf pengikut Abu Hanifah dan Ibnu Qasim
pengikut Maliki juga berpendapat demikian.[15]
Sementara
itu Masdar F. Mas’udi mengatakan bahwa miskin menunjuk pada orang yang secara
ekonomi lebih beruntung daripada si fakir. Tetapi secara keseluruhan ia
tergolong orang-orang yang masih tetap kerepotan dalam memenuhi kebutuhan hidup
kesehariannya.[16]
Thobari
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan miskin yaitu orang yang sudah tercukupi
kebutuhannya, tapi suka meminta-minta. Diperkuat lagi pendapatnya itu dengan
berpegang pada arti kata maskanah (kemiskinan jiwa) yang sudah
menunjukkan arti kata demikian. Sedang yang disebutkan dalam Hadits shahih
adalah :
ليس
المسكين الذي تمرة و التمران ... و لكن المسكين الذي يتعفف (رواه البخاري)
“Yang
dikatakan orang miskin itu bukan karena ia menerima sebuah, dua buah kurma,
tapi orang miskin itu orang yang meminta-minta.” (HR. Bukhori)
Dan
demikian pula apa yang dikatakan Imam Khatabi, hadits ini menunjukkan bahwa
arti miskin yang tampak dan dikenal mereka ialah peminta-minta yang
berkeliling. Rasulullah SAW menghilangkan sebutan miskin bagi orang yang tidak
meminta-minta, karena itu berarti sudah berkecukupan. Maka dengan demikian
gugurlah sebutan miskin itu bagi dirinya. Sedang yang meminta-minta mereka
berada dalam garis kebutuhan dan kemiskinan, dan mereka itu harus diberi
bagian.[17]
Dalam
pengertian lain kemiskinan adalah salah satu bentuk ketidak-sejahteraan. Dalam
al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyebut tentang kemiskinan dan
petunjuk-petunjuk untuk mengatasinya. Namun dalam al-Qur’an dan Hadits tidak
menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang
dikemukakan di atas dapat saja berubah. Namun yang pasti al-Qur’an menyebut
setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin dan harus
dibantu. Oleh karena itu pengertian miskin tergantung kepada ijtihad manusia
yang selalu berubah dari masa ke masa, karena ukuran-ukuran yang dipergunakan
untuk merumuskan suatu makna yang abstrak (seperti kemiskinan, misalnya) selalu
berubah-ubah.[18]
1) Sedangkan dalam kategori fiqh,
orang yang menerima zakat terdiri dari 8 golongan sebagaimana disyaratkan pada
surat yang terbagi dalam dua kategori yaitu; 1) empat utama 2) sewaktu-waktu.
Empat
penerima zakat yang utama, salah satunya adalah orang miskin. Miskin orang dalam
usia produktif (di atas 17 tahun) yang memiliki alat produksi tapi masih kekurangan
modal (di bawah nisab) dengan pendapatan masih tergolong miskin.
Menurut
Sayogyo miskin tidak bersifat menyeluruh dan dalam hal ini dia membedakan
ukuran antara warga miskin perkotaan dengan warga miskin pedesaan dengan
menetapkan cakupan tingkat konsumsi makanan pokok pada masing-masing daerah
yaitu angka pendapatan atau pengeluaran yang setara 240 kg beras untuk daerah
pedesaan dan 480 kg beras untuk daerah perkotaan atau kriteria rata-rata 360 kg
beras.[19]
Sedangkan
Mauloud Kassim Nait-bel Karem menyebutkan, yang dimaksud dengan masakin adalah
orang-orang yang membutuhkan bantuan orang lain karena persediaannya tidak
cukup dimakan selama satu tahun.[20]
Kemiskinan
diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara
dirinya sendiri dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga mental atau fisiknya dalam kelompok tersebut. Seseorang
bukan merasa miskin karena kurang sandang, pangan, papan tetapi karena harta
miliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada.[21]
Ajaran
Islam yang dijabarkan dalam fiqh melihat 3 faktor yang berkaitan dengan masalah
kemiskinan seseorang:
Pertama,
harta benda yang dimiliki secara sah dan berada di tempat (maal mamluk
hadhir).
Kedua,
mata pencaharian (pekerjaan) tetap, yang dibenarkan oleh hukum (al kasb
halal).
Ketiga,
kecukupan (al-kifayah) akan kebutuhan hidup yang pokok atas landasan
faktor-faktor tersebut.
Dirumuskan
bahwa, miskin ialah barang siapa yang memiliki harta benda atau mata pencaharian
tetap, hal mana salah satunya (harta / mata pencaharian / keduanya), hanya
menutupi tidak lebih dari kebutuhan pokoknya.[22]
Para
fuqaha berbeda pendapat tentang pengertian fakir dan miskin, pendapat yang
terkuat dalam hal ini adalah, yang dimaksud fakir ialah pihak yang membutuhkan
bantuan tetapi ia tidak mau mengemis sedangkan miskin pihak yang membutuhkan
pertolongan dan mengemis pada orang lain.
Sedangkan
menurut jumhur ulama, fakir adalah orang yang tidak memiliki apa-apa atau hanya
memiliki kurang dari separuh kebutuhan diri dan tanggungannya, sedangkan orang
miskin adalah mereka yang memiliki separuh kebutuhannya atau lebih, tetapi
tidak mencukupi.[23]
[1] Sidi Gazalba, Ilmu Islam2:
Asas Agama Islam, cet 2, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1985, hlm. 134.
[2] Teungku Hasby Ash-Shiddieqie,
Pedoman Zakat, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2006, hlm. 166.
[3] Sidi Gazalba, op. cit., hlm.
135.
[4] Muh. Ridwan Mas’ud, Zakat dan
Kemiskinan, Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogya: UII Press, 2005, hlm.
55.
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Semarang, CV.
Toha Putra, 1995, hlm. 288.
[6] Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi
Islam, Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, hlm. 295.
[7] Ibid., hlm. 203.
[8] Ibid., hlm. 204.
[9] Ibid., hlm. 205.
[10] M. Ali Hasan, Zakat dan Infaq,
Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 95.
[11] Departemen Agama RI, op. cit.,
hlm. 1062.
[12] M. Ali Hasan, op. cit., hlm.
96.
[13] Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam
Takaran Islam, Jakarta: Geman Insani, 2000, hlm. 241.
[14] Departemen Agama RI, op. cit.,
hlm. 68.
[15] M. Ali Hasan, op. cit., hlm.
96.
[16] Masdar F. Mas’udi, Menggagas
Ulang Zakat, Bandung, Mizan, 2005, hlm. 115.
[17] Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat,
Jakarta: Lintera Internusa, 2002, cet. 6, hlm. 513.
[18] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998, cet. 7, hlm. 449.
[19] M. Dawam Rahardjo, Islam Dan
Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999, hlm.439
[20] H. Moh. Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, cet
1, hlm. 278 – 279.
[21] Suryono Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002, hlm. 366.
[22] Ali Yafie, Menggagas Fiqh
Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Bandung: Mizan,
1995, hlm. 163.
[23] Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, cet. 1,
hlm. 115.
No comments:
Post a Comment