Imam
Syafi'i menetapkan bahwa setiap hari, suami yang mampu, wajib membayar nafkah
sebanyak 2 mudd (1.350 gram gandum/beras), suami yang kondisinya menengah
1,5 mudd dan suami yang tidak mampu
wajib membayar nafkah sebanyak 1 mudd (1,5 kg beras).
Pendapat
Imam Syafi'i di atas dan pengikutnya bahwa yang dijadikan standar dalam ukuran
nafkah istri adalah status sosial dan kemampuan ekonomi suami. Berlandaskan
firman Allah dalam surat at-Thalaq (65) ayat 7:
Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan
(Q.S. at-Thalaq: 7).
Orang
yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula). (Q.S. Al Baqarah: 256).
Sebelum
menganalisis pendapat Imam Syafi'i, maka penulis hendak mengemukakan lebih
dahulu pendapat ulama lain. Dari perbandingan ini diharapkan dapat mengetahui
relevansi pendapat Imam Syafi'i dengan kehidupan masa kini.
Dari
berbagai pendapat ulama sebagaimana telah dikemukakan dalam bab dua skripsi
ini, maka dapat dikelompokkan dalam tiga pendapat:
Pertama:
pendapat Imam Ahmad yang mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran dalam menetapkan
nafkah adalah status sosial-ekonomi suami dan istri secara bersama-sama. Jika
keduanya kebetulan status sosial-ekonominya berbeda diambil standar menengah di
antara keduanya. Yang menjadi pertimbangan bagi pendapat ini adalah keluarga
itu merupakan gabungan di antara suami dan istri. Oleh karena itu keduanya
dijadikan pertimbangan dalam menentukan standar nafkah.
Kedua:
pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang mengatakan bahwa yang dijadikan
standar adalah kebutuhan istri. Yang menjadi dasar bagi ulama ini adalah firman
Allah dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2) ayat 233:
Kewajiban
suami untuk menanggung biaya hidup dan pakaian secara patut.
(Q.S. al-Baqarah: 233)
Pengertian
"secara patut" dalam ayat ini dipahami ulama golongan itu dengan arti
mencukupi. Dalil ini dikuatkan dengan sebuah hadis Nabi dari Aisyah yang
mengatakan:
حدثنا
محمد بن مثنى حدثنا يحيى عن هشام قال أخبرني أبي عن عائشة أن هند بنت عتبة قالت يا
رسول الله ان سفيان رجل شحيح و ليس يعطيني من النفقة ما يكفيني و ولدي إلا ما أخذت
منه و هو لا يعلم فقال خذي ما يكفيك و ولدك بالمعروف (رواه البخاري)
Telah
mengabarkan kepada kami, dari Muhammad bin al-Mutsanna dari Yahya dari Hisyam
dari Abi dari 'Aisyah r.a. Hind binti 'Utbah berkata: "Ya Rasulullah,
suamiku Abu Sofyan adalah seorang yang amat kikir. la tidak pernah memberikan belanja yang cukup untuk saya dan anak-anak, kecuali
kalau saya mengambil uangnya tanpa pengetahuannya." Rasul menjawab:
"Ambil sajalah secukupnya untuk engkau dengan anakmu, dengan cara yang baik
dan pantas. (H.R. al-Bukhari)[1]
Ketiga,
pendapat Imam Syafi'i yang menentukan kadar kewajiban suami dalam memberikan
nafkah dengan mendasarkan pada Al-Qur'an surat at-Thalaq (65) ayat 7. Ayat ini
menjelaskan bahwa seorang suami wajib memberi nafkah atau perbelanjaan untuk
istrinya menurut kemampuannya.
Jika
ia orang yang mampu berilah nafkah menurut kemampuan tetapi kemampuan di sini
mempunyai ukuran minimal. Sedangkan untuk orang yang terbatas rezekinya, yaitu
orang yang terhitung tidak mampu atau kemampuannya terbatas, maka suami
tersebut wajib juga memberikan nafkah menurut keterbatasannya. Tidaklah Allah
memaksa seseorang melainkan sekedar apa yang diberikanNya.[2]
Imam
asy-Syafi'i berkata; "Berapa nafkah rumahtangga yang harus dikeluarkan?
Yang bersangkutan sendirilah yang menentukan tetapi dengan berpegang pada
ukuran minimal. Ketentuan dan batas maksimal hanyalah keadaan si suami baik
kelapangan atau kesusahannya. Ketentuan belanja si isteri suamilah yang
menentukan tetapi tidak kurang dari ukuran minimal.[3]
Selanjutnya
Hamka menceritakan bahwa ketika perempuan-perempuan berkumpul di hadapan
Rasulullah akan mengadakan bai'at
kesetiaan beragama, maka banyak nasihat yang diberikan Rasulullah Saw kepada mereka
agar jangan mempersekutukan Allah dengan yang lain, jangan mencuri, berzina,
membunuh anak, mengarang perkataan dusta dan jangan mendurhaka pada yang
ma'ruf.
Bersamaan dengan itu, Hindun isteri Abu Sufyan yang dengan takluknya
Makkah telah masuk Islam mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah, pertanyaannya
ialah, bagaimana dengan perbuatanku kerapkali mengambil uang dari simpanan
suamiku Abu Sufyan, karena Abu Sufyan itu kadang-kadang terlalu kikir?
Rasulullah menjawab Sebelum Rasulullah menjawab Abu Sufyan yang turut hadir
telah menjawab lebih dahulu; "Telah aku ridhakannya, ya Rasulullah,
خذي
ما يكفيك و ولدك بالمعروف
"Ambillah
secukupnya untuk engkau dan anak engkau dengan ma'ruf."
Tampaknya
jawaban Nabi tidak menentukan ukuran yang patut dalam memberi nafkah pada
istri. Namun sebetulnya secara tidak langsung Rasul sudah menentukan ukuran.
Dikatakan demikian, karena pada saat itu di jazirah Arab, bahwa satu mudd sudah
menjadi ukuran umum yang merupakan ukuran untuk suami yang kondisi ekonominya
sangat lemah.
Menurut
analisis penulis bahwa berdasarkan uraian di atas dapat ditarik perbandingan
pendapat para ulama dan Imam Syafi'i sebagai berikut: jumhur ulama selain Imam
Syafi'i dan pengikutnya menetapkan bahwa jumlah nafkah itu diberikan
secukupnya. Mereka tidak mengemukakan jumlah pasti dalam penentuan nafkah
tersebut, tetapi hanya menetapkan sesuai dengan kemampuan suami. Maka berbeda
dengan Imam Syafi'i dan pengikutnya yang menentukan jumlah minimal nafkah wajib
yang harus diberikan pada istri. Hal ini menurut analisis penulis bahwa pendapat
jumhur ulama kurang jelas dan tidak ada kepastian yang tegas.
Sedangkan
pendapat Imam Syafi'i lebih jelas, lebih tegas, dan memberi kepastian tentang
ukurannya. Sedangkan pendapat jumhur kurang berpihak pada kaum wanita,
dikatakan demikian karena terlalu memberi kebebasan kepada kaum pria khususnya
suami untuk memberi nafkah semaunya.
Sedangkan
Imam Syafi'i lebih berpihak kepada kaum wanita karena ia sangat memperhatikan
ukuran minimal yang harus diberikan seorang suami meskipun suami itu termasuk
orang yang tidak mampu atau golongan orang miskin. Namun demikian bahwa pada
dasarnya baik pendapat jumhur ulama maupun Imam Syafi'i menggunakan dasar yang
sama yaitu Al-Qur'an surat at-Talaq (65) ayat 6 – 7, surat al-Baqarah (2) ayat
233, dan hadis-hadis Rasulullah Saw.
Penulis
berpendapat bahwa kriteria yang digunakan Imam Syafi'i tampaknya sesuai dengan
kondisi penduduk saat itu dan sesuai pula dengan kondisi saat ini dimana ukuran
wajib nafkah itu memang harus diberi kepastian dengan cara ditentukan jumlah
minimalnya.
Sedangkan untuk dewasa ini maka ukuran jumhur atau ulama yang
berbeda dengan Imam Syafi'i tersebut bukan saja kurang jelas tetapi sudah tidak
layak dengan kondisi persamaan derajat laki-laki dengan kaum wanita. Dengan
demikian penulis menganggap bahwa pendapat Imam Syafi'i lebih jelas daripada
pendapat ulama lain sebagaimana telah disebut sebelumnya.
No comments:
Post a Comment