Dalam
merawat cinta kasih suami istri banyak faktor yang menunjang ke arah itu, namun
dalam tulisan ini hanya dikemukakan dua hal yaitu pertama, dalam memilih
pasangan harus memperhatikan prinsip sekufu (sepadan), kedua, sesudah
melangsungkan pernikahan maka kedua belah pihak mengetahui hak dan kewajiban
serta melaksanakannya.
Pertama, sekufu.
Kafa'ah yang berasal dari bahasa Arab dari kata (كفئ), berarti sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang
terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur'an dengan arti
"sama" atau setara. Contoh dalam Al-Qur'an adalah dalam surat
al-Ikhlas Ayat 4:
“Tidak
suatu pun yang sama dengan-Nya.” (Q.S. al-Ikhlas: 4).
Kata
kufu atau kafa'ah dalam perkawinan
mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa'ah
mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat
tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya.[1]
Pertanyaan
tentang kesepadanan dalam perkawinan memang merupakan problema utama dalam
proses memilih calon jodoh. Pola pikiran bahwa cinta itu buta, sama sekali tidak
bersifat universal. Malahan cenderung mengarah kepada konsepsi yang keliru.
Keyakinan bahwa cinta dan perkawinan itu berjalan seiring seperti kuda dengan
keretanya berdasar pada logika Barat. Logika semacam itu tentu saja tidak
didukung oleh dasar sejarah.
Cinta dan perkawinan adalah dua buah model pengalaman
manusia. Tapi bukan berarti satu sama lain serupa atau sesuatu yang normal.
Soalnya, pemilihan jodoh menurut Islam haruslah dilakukan dengan melewati suatu
aturan dan berbagai pertimbangan. Pertimbangan cinta bukanlah sesuatu yang
harus diprioritaskan.[2] Oleh sebab itu maka
setelah mendapatkan penilaian dan cocok dari segi fisik, mental, material dan
spiritual, calon pasangan harus memperhatikan asas keselarasan dan
keseimbangan. Ini dimaksudkan supaya tidak ada timbangan yang berat sebelah,
tidak timpang posisinya.
Keserasian
yang paling utama terletak pada kesalehan. Tidak adanya keseimbangan akan
berakibat buruk di kemudian hari. Antara calon suami dan calon istri harus ada
keseimbangan, yang mencakup banyak aspek, di antaranya:
1.
Seimbang dalam agamanya
Laki-laki
mukmin menikah dengan wanita mukminah. Jangan karena kecantikan atau karena
kekayaan, agama ditanggalkan dan rela mengikuti agama pasangannya. Atau
agamanya masih tetap dipegang, lalu melakukan pernikahan di catatan sipil.
Padahal Allah dengan tegas melarang sebagaimana firman-Nya:
“Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari
orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (Q.S. Al-Baqarah: 221).
Wanita
terhormat menikah dengan laki-laki terhormat. Wanita yang berzina menikah
dengan laki-laki yang berzina. Allah berfirman:
“Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang yang mu'min.” (Q.S. An-Nur: 3).
Akibat
apa yang didapat ketika keseimbangan agama ini tidak ditaati? Yang pasti jalan
ruhani berlainan arah. Apa enaknya kalau jalan ruhani berseberangan, walau
secara fisik bisa bersatu. Padahal
hakekat keindahan hanya dirasakan oleh ruhani. Mungkin perbedaan agama ini tidak
terasa pengaruhnya di saat hidup masih sehat dan segar bugar.
Tetapi
nanti ketika usia sudah lanjut, jatuh sakit dan mendekati ajal, kepada siapa
dia meminta tolong untuk menyelamatkan akidahnya. Keluarga akan saling bingung,
dan tidak mustahil akan berebut untuk memasukkan keimanan.[3]
2.
Seimbang dalam usianya
Sebenarnya
dalam agama tidak ada pembatasan keseimbangan usia. Bahkan para salafus
shalihin, ulama-ulama besar zaman dulu banyak yang beristri dari wanita yang
usianya jauh lebih muda.
Rasulullah
sendiri dengan istri-istrinya sangat jauh perbedaan usianya. Ketika menikahi
Khadijah usia beliau 25 tahun, sedangkan Khadijah berusia 40 tahun, bahkan
dengan Aisyah sangat jauh lebih muda daripada Rasulullah. Itu terjadi karena
keimanan wanita-wanita yang dinikahi sangat luar biasa. Berbeda dengan zaman
kita sekarang ini. Kalau misalnya ada seorang wanita yang masih muda belia dan
cantik mau dinikahi laki-laki yang sudah berusia tua, maka perlu disangsikan motivasinya.
Adakah karena keimanan, atau karena kekayaan atau motif lain.
Keseimbangan
di sini menyangkut masalah psikologis. Ada ketidak-percayaan diri ketika harus
bersosialisasi dengan masyarakat. Ini terjadi karena erosi iman. Seorang pemuda
merasa malu mengajak istrinya keluar rumah bertemu dengan kawan-kawan kalau
ternyata istrinya lebih tua dari dirinya. Seorang istri akan sangat malu
berjalan berdampingan dengan suami yang sudah kakek-kakek.
Zaman
dulu keimanan wanita yang dinikahi oleh Rasulullah sangat luar biasa, sehingga
tidak terbersit malu, bahkan merasa bangga. Berbeda dengan kondisi saat ini.
Sekarang kondisinya sudah berbeda, dan Rasulullah telah memakluminya. Maka
beliau menganjurkan agar ada keserasian.[4]
3.
Seimbang dalam pendidikannya
Sebenarnya
tidak ada keharusan seimbang dalam pendidikan. Tetapi sangat mungkin, perbedaan
pendidikan yang jauh akan mempengaruhi hubungan komunikasi. Paling tidak ada
kendala bahasa.
Orang
yang berpendidikan dalam memecahkan masalah lebih banyak menggunakan rasio,
sedangkan orang yang tidak berpendidikan lebih menggunakan perasaan. Akal dan
perasaan belum tentu bisa ketemu. Akibatnya adalah salah paham. Padahal
komunikasi yang lancar adalah kunci keharmonisan rumah tangga.
Perbedaan
pendidikan yang jauh akan terasa manakala salah satu pasangan bergabung dengan
komunitas yang berpendidikan. Misalnya ketika ada pertemuan dengan pejabat,
atau dengan sesama almamater.
Suami
atau istri yang rendah pendidikannya akan memilih tinggal di rumah daripada ikut
dalam pertemuan. Pasangan yang rendah pendidikannya punya beban psikis pada
saat ketika pasangannya mendapat promosi jabatan atau ditanya oleh
teman-temannya.
Lain halnya kalau punya kepercayaan diri. Dan sedikit sekali
orang yang mempunyai kepercayaan diri, kecuali orang yang kuat agamanya. Orang yang
tidak berpendidikan tetapi beragama lebih mudah diyakinkan dan dimotivasi
menjadi orang yang berani dan percaya diri daripada orang yang berpendidikan
tetapi tidak beragama. Orang yang beragama justru banyak diminta tampil oleh
masyarakat di saat ada pertemuan warga. Maka kembali lagi bahwa orang yang
beragama sangat cocok menjadi pasangan hidup).[5]
4.
Seimbang dalam penghasilan dan kekayaan.
Seiring
dengan tuntutan hidup dan perubahan sosial, kaum wanita kini banyak menempati
posisi pekerjaan yang sangat strategis. Banyak pekerjaan yang lebih cocok
dikelola oleh kaum wanita. Kecenderungan di bursa kerja, wanita lebih mudah
mendapat pekerjaan daripada laki-laki.
Bagi seorang suami, istri yang mendapat
penghasilan sendiri akan menjadi masalah dalam mengatur rumah tangga. Akan
menjadi masalah besar, kalau ternyata penghasilan istri lebih besar daripada
penghasilan suami. Akan berbahaya, kalau suami tidak mempunyai pekerjaan, sedangkan
istri menjadi tulang punggung menghidupi keluarga. Dalam kondisi seperti itu,
suami akan hilang kewibawaannya, hilang fungsi utamanya sebagai penanggung jawab.
Istri yang kaya dan berpenghasilan akan mempunyai kecenderungan sedikit berani
dan melampaui batas kesantunan kepada suami. Kecuali kalau dari awal sudah
punya komitmen bersama, menjunjung dan mengamalkan ajaran agama. Istri yang
beragama tidak akan pernah meremehkan suami, walau dia mempunyai kekayaan yang
banyak dan penghasilan yang tinggi. Dia akan tetap melayani suami dan
menyiapkan keperluan suami. Di luar rumah istri boleh menjadi direktur, tetapi
di dalam rumah istri adalah teman tidur.[6]
Kedua,
memahami dan melaksanakan hak serta kewajiban sebagai suami dan istri. Dalam
rumah tangga Islam, seseorang suami mempunyai hak dan kewajiban terhadap
isterinya, demikian pula sebaliknya. Masing-masing pasangan hendaknya senantiasa
memperhatikan dan memenuhi setiap kewajibannya terhadap pasangannya sebelum ia
mengharapkan haknya secara utuh dari pasangannya. Laksanakanlah kewajiban
dengan baik dan penuh tanggung jawab dan akan terasalah manisnya kehidupan dalam
keluarga serta akan mendapatkan haknya sebagaimana mestinya.
Adapun
yang menjadi dasar dari pembicaraan ini ialah firman Allah SWT dalam Al-Qur'an
Surat Al-Baqarah ayat 228:
“Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkat daripada isterinya.”
(Q.S. Al-Baqarah: 228).
Seorang
wanita atau isteri yang utama telah diterangkan Allah SWT dalam kitab suci
Al-Qur'an, misalnya:
“Sebab
itu maka wanita yang shalehah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri di balik pembelakangan suaminya.” (Q.S. An-Nisa: 34)
Jelaslah
bahwa wanita yang salehah senantiasa mentaati kebijakan dan keputusan yang
diambil oleh suaminya, bertaqwa kepada Allah SWT menjaga rahasia suaminya
demikian pula rumah tangganya, serta menjaga diri dan kehormatan serta harta
benda suaminya bila suaminya tidak ada di rumah.
Seorang
isteri yang baik juga sangatlah perlu melakukan kewajibannya sehari-hari dalam
kehidupan keluarganya, seperti berbelanja, memasak, mendidik dan mengajari ilmu
dan akhlak yang baik bagi anak-anaknya, serta dengan ikhlas melayani kebutuhan
suaminya. Rumah tangganya dirawat dengan baik, kamar tidur suaminya tidak diizinkan
orang lain yang tidak disukai suaminya menidurinya demikian pula tidak
diizinkannya seorang pria masuk ke dalam rumahnya di saat suaminya tidak ada di
rumah. Tidak terpuji bila seorang isteri meninggalkan rumahnya tanpa
sepengetahuan dan seizin suaminya.[7]
Bila
seorang isteri telah memenuhi kewajiban maka dia akan berhak mendapatkan
hak-haknya yang diterangkan agama Islam dan suaminya, misalnya: mendapatkan
perlakuan yang lemah lembut penuh kasih sayang, pendidikan dan tuntunan dari
suami, pakaian dan makanan yang sesuai dengan kemampuan dan keadaan ekonomi
suami, perlindungan, dipergauli dengan baik oleh suami, mendapatkan perkataan dan
sikap yang baik/terpuji dari suaminya.[8]
Seorang
suami dalam rumah tangga Islami mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakannya
dengan sebaik-baiknya, misalnya: memberikan nafkah kepada isteri dan
anak-anaknya, mendidik dan menuntun isteri dan anak-anaknya agar selalu
beriman, beribadah dan bertaqwa kepada Allah SWT melindungi keluarganya dari bahaya/ancaman
dan kesukaran serta keamanan yang akan mengurangi taraf kesejahteraan dan
ketentramannya (keluarganya), demikian pula seorang suami tetap bertahan untuk
tidak membuka rahasia isteri atau keluarganya kepada orang lain yang tidak
bertanggung jawab atau tidak diperlukan.
Seorang suami yang baik hendaknya
selalu menggauli isterinya dengan cara yang pantas dan memberinya makanan serta
pakaian untuk penutup auratnya, serta jangan sekali-kali memukul wajahnya dan menghinanya.
Di samping itu seorang suami berkewajiban pula untuk berbuat dan bertindak yang
adil dan selalu berusaha guna mewujudkan kepemimpinannya dalam rumah tangga
agar dapat berlangsung dengan baik dan teratur.[9]
Bila
seorang suami telah melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka wajarlah bila
ia mendapatkan haknya dengan sebaik-baiknya dari isteri dan keluarganya,
seperti: sikap hormat dan taat serta patuh dari isteri dan anak-anaknya,
mendapatkan pelayanan atas kebutuhan fisik dan psikisnya; mendapatkan pemeliharaan
isteri atas harta dan nama baik serta kehormatannya dari isterinya; mendapatkan
sedekah dari sebagian harta isterinya bila keadaan sulit dihadapinya atau
bersabar dalam menghadapi tekanan hidup jika selagi tidak mempunyai sesuatu
(harta). Di samping itu perlu pula diingatkan oleh setiap isteri bahwa suaminya
berhak atas harta bendanya dan tidak boleh diberikannya kepada orang lain tanpa
seizin suaminya.
Di
dalam Islam kewajiban timbal balik antara suami dan isteri pun telah diberikan
tuntunan yang sebaik-baiknya, contoh: suami-isteri berkewajiban mendidik
anak-anak mereka secara Islam; mereka perlu selalu menjaga kehormatan keluarga;
mempercantik dan melindungi isteri dan senantiasa pula mengupayakan sesuatu
yang terbaik bagi keluarga.
Agar
pelaksanaan kewajiban timbal balik tersebut dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya maka kerukunan, kedamaian, saling maaf-memaafkan, bantu-membantu
dalam kebaikan dan ketaqwaan, lapang dada dan penuh pengertian tentang
kewajiban hidup berumah tangga, barangkali telah merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan oleh mereka berdua.[10]
[1] Syarifuddin, Amir, 2006, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta:
Prenada Media, hlm. 140
[2] Al'ati, Hamudah Abd., 1984,
Keluarga Muslim (The Family Structure In Islam), Surabaya: PT Bina Ilmu, hlm.
105
[3] Damawi, Saifuddin Aman,
2006, Nikmatnya Berumah Tangga,
Al-Mawardi Prima, hlm. 26-28
[4] Ibid, hlm. 30
[5] Ibid, hlm. 31
[6] Ibid, hlm. 32
[7] Basri, Hasan, 2004, Keluarga
Sakinah Tinjauan Psikologi Dan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 29
[8] Ibid, hlm. 30
[9] Ibid, hlm. 30
[10] Ibid, hlm. 31
No comments:
Post a Comment