FATWA LARANGAN PERNIKAHAN WANITA SYARIFAH DENGAN NON SAYYID

  
Di dalam pernikahan, di samping ada syarat dan rukun yang mempengaruhi sah tidaknya sebuah pernikahan, terdapat pula konsep kafaah, yakni kesepadanan antara calon mempelai pria dan wanita dalam berbagai hal termasuk agama, keturunan dan keilmuannya. Dari konsep kafa’ah inilah kemudian melahirkan fatwa pelarangan pernikahan antara wanita syarifah dan laki-laki non sayyid karena dianggap tidak kufu dan merusak nasab agung nabi s.a.w. 

Kafaah merupakan masalah yang diperhitungkan dalam pernikahan sebagai antisipasi adanya cacat dan bukan untuk sahnya pernikahan. Jika tidak demikian, maka masalah kafa’ah ini akan gugur dan digugurkan, seperti sebagian syarat-syarat pernikahan yang lain.  Bahkan ketika seorang wanita itu rela dengan putusnya kepala kelamin sang suami atau impotensi. Demikian pula keridlaan wali terdekat tentang selain dua hal tersebut.  

Adanya larangan pernikahan wanita syarifah dengan laki-laki non Sayyid merupakan konsep kafaah dalam pernikahan dilihat dari segi nasab. Sebagaimana diketahui bahwa nasab merupakan salah satu hal pokok dalam konsep kafaah. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam konsep fiqih bernasab Arab merupakan satu kebanggaan karena termasuk sebuah kehormatan, sehingga orang ‘Ajam tidaklah seimbang dengan orang Arab.

Demikian juga orang Arab bukan dari suku Quraiys tidaklah sekufu dengan yang bukan suku Quraiys, karena keutamaan suku Qurays dibanding dengan suku-suku yang lainnya. Tidak sekufu pula orang-orang seketurunan dengan bani Hasyim dan Muthalib dengan orang-orang selainnya sekalipun dari keturunan Abdi Syam dan Naufal. Jika seseorang dari keturunan dari Hasyim atau Muthalib menikahi seorang budak perempuan dengan beberapa syarat, dan kemudian budak itu melahirkan untuknya seorang anak perempuan, maka anak perempuan tersebut menjadi miliknya. Sedangkan menurut qaul yang rajih, diperbolehkan baginya untuk menikahi anak perempuan itu  dari  segi tipis dan rendah nasabnya. 

Dari deskripsi di atas, maka dapat diketahui bahwa orang Arab dengan non Arab saja tidak dianggap sepadan, apalagi putri dari keturunan baginda Nabi s.a.w. tentu sangat tidak sepadan apabila dinikahi oleh laki-laki non sayyid. Inilah yang kemudian mendasari mengapa wanita syarifah dilarang dinikahi oleh laki-laki non sayyid. 

Di samping itu, larangan pernikahan wanita syarifah dengan laki-laki non sayyid adalah untuk menjaga dan memelihara kemuliaan nasab Nabi  s.a.w. agar tidak tercampur dengan nasab lain. Dengan  demikian dalam konsep kafaah yang bertalian dengan nasab terutama sekali  nasab Nabi merupakan hal yang sangat penting menginngat tujuan pemeliharaan kemuliaan nasab nabi. Dengan tujuan yang mulia inilah para ulama mengeluarkan fatwa bahwa tidak diperbolehkan wanita keturunan Nabi dengan laki-laki di luar keturunan beliau. 

Dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, karya Syekh Abdurrahman al-Ba’lawi telah dijelaskan bahwa perkawinan antara seorang  perempuan Syarifah dengan laki-laki non sayyid itu, beliau melarang  keras, baik dilihat dari harta kekayaan dan lain sebagainya. Apalagi dilihat dari segi nasab, karena dari segi nasab tersebut menurut beliau akan merusak sebuah keturunan, artinya keturunan dari seorang Nabi  akan menjadi putus jika seorang perempuan syarifah kawin dengan laki-laki yang non sayyid.

Dalam hal ini, maka menarik untuk dikaji lebih lanjut bahwa keluarnya fatwa ini tidak hanya lahir dari pemahaman fiqih. Dalam hal ini penulis menemukan indikasi bahwa fatwa ini keluar dari adanya pengaruh dari dunia tasawuf sebagaimana diketahui bahwa hampir semua ulama abad klasik adalah pengikut dan sekaligus penyebar ajaran tasawuf. Sehingga penulisan kitab-kitab fiqih tidak lepas dari pengaruh ajaran tasawuf. 

Dalam tradisi tasawuf, penghormatan kepada keluarga nabi sangatlah besar dan sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar serta mengandung unsur magnetik yang luar biasa. Hal ini merupakan cerminan mahabbah ila al-nabi (cinta kepada Nabi) yang sangat ditekankan dalam dunia tasawuf. Dengan demikian, dari rasa mahabbah yang sangat dalam ini sampai kepada penghormatan dan pemuliaan yang begitu dasyatnya, sampai mengalir kepada orang-orang yang diyakini sebagai keturunan nabi yakni para habaib dan anak-anaknya.

Dari sinilah kemudian para habaib dan anak-anaknya mendapat tempat yang mulia dan sangat dihormati, sehingga menghina mereka sama dengan menghina Nabi, melecehkan mereka sama dengan melecehkan nabi, mencemarkan mereka sama dengan mencemarkan nabi. Termasuk mencemarkan nabi adalah menikahkan keturunan nabi dengan yang bukan keturunan nabi. Inilah yang melandasi keluarnya larangan pernikahan wanita syarifah dengan laki-laki non sayyid dalam kitab-kitab fiqih pada bab kafaah. Sehingga sampai saat ini alasan ikraman wa ta’dziman (memuliakan dan mengagungkan) nabi wa zurriyatihi masih berimplikasi pada pelarangan tersebut.

Selanjutnya, keluarnya fatwa ini juga sangat wajar mengingat pengarang kitab Bughyah al-Murtasyidin merupakan salah satu dari  ahlul bait Nabi dan beliau banyak bergaul dan dekat dengan para  ulama dari kalangan habaib. Para ulama ini tentu mempunyai pengaruh besar terhadap keluarnya fatwa syeikh al-Ba’lawi dalam melarang perkawinan wabitan syarifah dengan non sayyid. Kelima ulama dimaksud adalah Imam Abdillah Bafaqih, Imam Abdullah bin Yahya, Imam Alawy bin Tsaqaf bin Muhammad al-Ja’fari, Imam Muhammad bin Abi Bakar al-Asykhari al-Yamani dan Imam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madany.

Adapun landasan normatifnya adalah al-Qur’an Surat as-Syura: 23:

“….Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah atas seruanku kecuali kasih sayang kepada qurba”. (QS: as-Syuura: 23)

Dan ayat 33 surat al-Ahzab:

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa  dari  kamu. Hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih–bersihnya”.

Dengan landasan normatif ini, maka mensucikan dan mencintai ahlul bait, termasuk wanita syarifah adalah wajib. Dengan demikian, mafhum mukhalafahnya adalah diharamkan mencemarkan kesucian ahlul bait apalagi membencinya. 

Dalam pandangan syeikh Abdurrahman Ba’lawi, menikahkan wanita syarifah dengan non sayyid merupakan salah satu bentuk pencemaran ahlul bait Nabi, karena tidak sebanding (tidak kufu) dengan mencampur-adukkan nasab ahlul bait dengan yang bukan ahlul bait.

Namun demikian, apabila ditilik dari konsep kafa’ah sendiri bahwa kafa’ah yang dimaksud menurut jumhur ulama adalah bahwa kufu (kafaah) yang menjadi ukurannya adalah segi agama dan akhlaknya, bukan nasab, usaha, kekayaan ataupun sesuatu yang lain. Dengan demikian, pendapat Abdurrahman Ba’lawi ini sangat debateable. Dalam hal ini, maka pendapat yang rajih (jumhur) yang harus dipakai dengan pertimbangan menghilangkan diskriminasi manusia.

Jadi dalam hal ini laki-laki sekalipun bukan dari keturunan orang yang terpandang, ia berhak atas kebolehan untuk nikah dengan seorang perempuan dari manapun. Manusia pada asalnya dan nilai kemanusiaannya adalah sama, dan bahwa tidak ada seorang manusia pun yang lebih mulia di sisi Allah SWT dari pada yang lainnya, selain dengan ketaqwaannya kepada-Nya dengan menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT dan kewajibannya kepada sesama manusia.

Oleh karena itu prinsip dalam memilih jodoh yang dikehendaki Islam merupakan ketentuan dalam beragama dan berakhlak yang luhur, dan bahwa kemegahan, harta, nasab, dan lain-lain. Itu semua tidak diakui oleh Islam dan tidak dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh suatu kebahagiaan yang hakiki baik di dunia atau di akhirat. Karena dalam Islam semua manusia sama, tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, si putih dan si hitam, si kuat dan si lemah. Itu semua merupakan dari segi lahiriyah saja.

Dalam banyak hal, tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam pengamalan ajaran agama dan imbalan yang diterimanya dari Allah SWT atas amalnya. Sebagaimana yang sudah disebutkan dan dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa semua manusia hidup di dunia ini hakekatnya sama, yang membedakannya hanyalah kadar ketaqwaan, keimanan serta amal shaleh mereka perbuat.

Kemahabesaran Allah SWT yang telah menciptakan makhluk-Nya berbeda-beda, baik suku dan bangsa, dan semua itu menunjukkan bahwa agama Islam sangat memperhatikan dan peduli terhadap perso’alan manusia, termasuk salah satunya hubungan sosial antar manusia, baik suku, bangsa dan ataupun masyarakat dunia. Dengan demikian, maka Islam mempunyai responsibilitas yang tinggi terhadap hak azasi manusia. Di satu pihak manusia juga harus menghargai dirinya sendiri, sedangkan di pihak lain manusia juga harus menghargai orang lain.

Kitab suci al-Qur’an banyak menjelaskan masalah kafa’ah (keselarasan/kesetaraan) antar hak manusia. Oleh sebab itu umat Islam hendaknya tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an, akan tetapi seharusnya ayat-ayat al-Qur’an tersebut direalisasikannya dalam kehidupan yang nyata, dan seharusnya pula umat Islam membuang jauh-jauh tentang masalah perbedaan hak dan derajat manusia.

Jadi jika umat Islam konsisten terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, maka tidak akan ada lagi kasus-kasus seperti orang tua memaksakan anaknya dalam hal pemilihan jodoh berdasarkan keturunan, kekayaan atau kedudukan calon menantu. Para orang tua tentu akan mengikuti aturan Islam, karena Islam punya konsep tersendiri tentang pernikahan, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqih. Konsep pernikahan dalam Islam tidak mengenal syarat harus sama-sama dari keturunan yang terpandang. Syarat yang ada dalam Islam itu hanyalah keseimbangan dalam beragama, fisik maupun mental dan juga persetujuan dari kedua belah pihak. 

                                             

No comments:

Post a Comment