MEMBINA RUMAH TANGGA YANG TENANG


Menurut Akbar, syarat-syarat utama untuk mencapai rumah tangga yang tenang yaitu:

(1) calon suami istri sehat jasmani, sehat rohani, matang;

(2) telah memahami pokok-pokok yang akan menjamin sampai kepada rumah tangga sakinah, sebagai yang diajarkan Islam; dan

(3) si laki-laki telah mempunyai suatu kedudukan sosial-ekonomi yang dapat menjamin kebutuhan rumah tangga.[1]

Menurut Akbar, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kerukunan rumah tangga sehingga sukar dalam merawat cinta kasih, di antaranya:   

a. Tidak mengetahui dan mempelajari Agama Islam.

Dalam hal ini tentu akan timbul kekacauan rumah tangga, si suami tidak tahu fungsinya dan si istri pun tidak mengetahui kewajibannya. Umpamanya si istri tidak mau salat subuh sewaktu dibangunkan oleh suami. 

b. Kecewa, karena yang diharapkan sebelum kawin tidak tercapai.

Sebelum kawin si istri mengharapkan suaminya akan memanjakannya, bila ini tidak terjadi si istri akan kecewa dan mudah melalaikan kewajibannya dalam melayani suami. Dapat pula terjadi bahwa si suami mengharapkan istrinya orang taat beragama, ternyata ia adalah perempuan yang pemalas, suka hanya bersolek saja, dan waktu si suami menegur, si istri memberontak. 

c. Belum masak, matang untuk berfungsi baik sebagai suami maupun sebagai istri, rumah tangga jadi berantakan. 

d. Masalah ekonomi, yang banyak sekali merupakan faktor yang utama dalam perceraian di Indonesia.

Umpama si suami memegang seluruh keuangan dan memberikan kepada istri hanya seperlunya, padahal si suami mempunyai uang yang cukup banyak, sehingga si istri tidak bebas membangun rumah tangganya.

e. Soal seks dapat merupakan faktor pengganggu kerukunan rumah tangga, mungkin si istri dingin atau tidak selalu bersedia, bila si suami menghendakinya, atau sebaliknya si istri tidak mendapat kepuasan seks sebagaimana yang diingininya.

f. Kepribadian yang psikopatis atau egoistis, baik salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sehingga tidak mencapai harmonisasi, keserasian dalam rumah tangga. 

g. Perkawinan yang terpaksa.

h. Kedudukan sosial yang berbeda dan suami istri tidak bisa menyesuaikan diri. Suami kawin dengan seorang gadis kaya, sehingga si suami selalu berasa bahwa dia tidak dapat memuaskan istrinya dalam soal materi.

i. Suami yang mudah terayu oleh perempuan lain, sehingga si istri menjadi cemburu. 

j. Agama yang berbeda, walaupun si istri yang bermula sudah masuk Islam atau si suami yang sebelumnya non Islam sewaktu kawin masuk Islam, sedangkan mereka tidak mempelajari Islam dan mengamalkannya dengan baik. 

k. Hubungan dengan mertua yang tidak serasi, terutama bila mertua tinggal bersama dengan anak laki-lakinya, yang banyak ialah menantu perempuan tidak cocok dengan ibu mertua yang ingin ikut mengatur rumah tangga anak menantunya.[2]





[1] Akbar, H. Ali, 1982, Seksualitas Ditinjau Dari Hukum Islam, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 74
[2] Ibdi, hlm. 74-75

No comments:

Post a Comment