FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERUKUNAN RUMAH TANGGA




Menurut Akbar, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kerukunan rumah tangga sehingga sukar dalam merawat cinta kasih, di antaranya:[1]  
   
1.  Tidak mengetahui dan mempelajari agama Islam  

Faktor pertama yang dikemukakan Akbar bila dihubungkan dengan teori maka menurut Faqih dalam bukunya Bimbingan dan Konseling Islam, rumah tangga Islam adalah rumah tangga yang seluruh anggotanya memiliki kecenderungan yang besar untuk senantiasa mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam. Tanpa bekal agama yang memadai, sendi-sendi kehidupan rumah tangga akan runtuh.[2]
 
Sejalan dengan itu untuk membangun rumah tangga yang bahagia, maka suami isteri harus membekali diri dengan agama, dalam hal ini caranya adalah dengan mendalami semua ajaran Islam baik dalam bentuk firman Allah yang terkumpul dalam al-Qur'an maupun penjelasan dan keterangan hadis.

Moh. Sholeh dan Imam Musbikin menyatakan bahwa setidaknya ada empat fungsi agama dalam kehidupan, yaitu (a). Agama memberi bimbingan dan petunjuk dalam hidup. (b). Agama adalah penolong dalam kesukaran. (c). Agama menentramkan batin. Dan (d). Agama mengendalikan moral.[3]
 
Manusia membutuhkan bimbingan dan petunjuk yang benar yang bernilai mutlak untuk kebahagiaan di dunia dan di alam sesudah mati. Suatu yang mutlak sudah barang tentu harus berasal daripada yang mutlak pula, yaitu Allah Swt., Tuhan seru sekalian alam. 

Berdasarkan uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa agama sangat penting dalam merawat dan memperkuat cinta kasih suami isteri. Dengan agama maka suami isteri diharapkan memahami hak dan kewajibannya. Dengan mengamalkan agama maka suami istri dapat memahami norma-norma kehidupan suami isteri. 

Menurut penulis bila manusia tanpa agama, khususnya suami isteri maka ia terombang-ambing dalam memecahkan problem rumah tangga, ia tidak mempunyai pandangan dan pegangan hidup yang kuat. Masalah ini akan meluas pada persoalan anak yang tidak didik dengan agama. Anak yang dibesarkan tanpa agama maka ia menjadi liar dan sulit dikendalikan. Sedangkan kebahagiaan dan cinta kasih suami isteri mermpunyai hubungan tak terpisahkan dengan anak karena anak adalah bagian dari keluarga.  

2.  Masalah Ekonomi

Menurut Akbar, masalah ekonomi merupakan faktor yang utama dalam perceraian di Indonesia. Pendapat Akbar bila dihubungkan dengan teori bahwa menurut Rasyid masalah pengaturan ekonomi dan belanja rumah tangga tidak dapat dipandang sepele dalam kaitannya dengan upaya demi kelestarian cinta dan kasih sayang antara suami isteri. Tidak sedikit keadaan rumah tangga terjadi konflik akibat dari masalah ekonomi dan pengaturan belanja rumah tangga yang tidak sesuai dengan kebutuhan bersama antara suami isteri.[4]
 
Menurut Musa, syariat Islam telah menetapkan bahwa seorang suami wajib memberikan jaminan dari segi material kepada wanita yang telah ia pilih menjadi istrinya. Islam pun telah mengkategorikan nafkah sebagai salah satu hak istrinya, baik sang istri itu orang kaya maupun orang miskin. Hal ini didasarkan pada beberapa nas Al-Qur'an al-karim dan sunnah Nabi Saw, yang menjadi dasar pendapat berbagai mazhab fikih. Di antara nas yang menjadi dasar hukum persoalan ini ialah firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233:[5]  

Kewajiban ayah untuk memberikan belanja dan pakaian untuk istrinya. Seseorang tidak dibebani kecuali semampunya, seorang ibu tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya, dan seorang ayah tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya. (Q.S. al-Baqarah: 233).

Di antara ayat yang mewajibkan perumahan (papan) adalah surat al-Thalaq (65) ayat 6:

Beri kediamanlah mereka (istri-istri) di mana kamu bertempat tinggal sesuai dengan kemampuanmu. (Q.S. al-Thalaq: 6).

عن جابر رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم في حديث الحج بطوله قال في ذكر النساء و لهن عليكم رزقهن و كسوتهن بالمعروف (رواه مسلم)

Dari Jabir, ra. Dari Nabi Saw. Dalam hadis tentang haji selengkapnya, beliau bersabda dalam peringatannya tentang wanita, mereka berhak mendapatkan dari kamu sekalian, makanannya, dan pakaiannya dengan cara yang baik. (H.R. Muslim). (Al-San'any, Juz 3, 1950: 221) 

Dengan demikian, hubungan perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami untuk isteri dan anak-anaknya. Dalam hubungan ini menurut Basyir, bahwa Q.S. Al-Baqarah: 233 mengajarkan bahwa suami yang telah menjadi ayah menurut berkewajiban memberi nafkah kepada ibu anak-anak (istri yang telah menjadi ibu) dengan cara ma’ruf. Itulah sebabnya Yunus menandaskan bahwa suami wajib memberi nafkah untuk istrinya dan anak-anaknya, baik istrinya itu kaya atau miskin, maupun muslim atau Nasrani/Yahudi.[6] Bahkan menurut Mughniyah, kaum muslimin sepakat bahwa perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah, seperti halnya dengan kekerabatan.[7] 

Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu faktor dominan yang pengaruhnya cukup besar dalam merawat cinta kasih. Tanpa ditunjang ekonomi, perkawinan akan rapuh dan kekuatan cinta menjadi tidak penting tanpa diiringi oleh ekonomi.   

3.  Soal Seks 

Menurut Akbar, seks dapat merupakan faktor pengganggu kerukunan rumah tangga, mungkin si istri dingin atau tidak selalu bersedia, bila si suami menghendakinya, atau sebaliknya si istri tidak mendapat kepuasan seks sebagaimana yang diingininya. 

Pendapat Akbar dapat dibandingkan dengan teori sebagai berikut: menurut Master dan Johnson manusia dibentuk sebagai makhluk sosial sejak masih berupa janin (prenatal priod). Pada periode ini perkembangan manusia sebagai makhluk seksual semata-mata masih ditentukan oleh faktor biologis, yaitu gen dari ayah dan ibu yang bersangkutan. Kombinasi dari gen inilah yang bakal menentukan jenis kelamin prosesnya disebut sexual differentiation. Inilah priode paling awal dari proses karakterisasi seks yang bakal terus berlanjut sepanjang hidup manusia seperti dikatakan oleh Master dan Johnson:  

From the first day of infancy and perhaps even before birth we are all sexual being. In the first year of life, many babies seem to get pleasure from fondling their genitals....[8]

Sejak hari pertama dimasa kanak-kanak, dan mungkin bahkan sebelum kelahiran kita semua adalah makhluk seksual. Di tahun pertama, banyak bayi terlihat sudah mencoba mendapatkan kesenangan dari alat kelamin mereka... 

Dalam proses seksual differentiation, perbedaan-perbedaan antara lelaki dan perempuan ditentukan oleh kromosom seks, kemudian hormon seks, anatomi seks dan akhirnya karakteristik seks yang kesemuanya itu merupakan faktor biologis dari keseluruhan proses perkembangan seksualitas manusia. 

Dalam karakterisasi seks, khususnya dalam pembahasan tentang aspek eksistensialnya, peran orang tua memang sangat sentral seperti disinyalir Sigmund Freud dalam teorinya tentang perkembangan seksualitas dengan mengenalkan istilah Oedipus Complex (nama-nama yang diambil dari cerita legenda Yunani. Oedipus adalah seseorang yang membunuh ayahnya dan kemudian mengawini ibunya tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang tuanya. Electra adalah seorang putri yang membantu membunuh ibunya sendiri).

Lengkapnya Sigmund Freud membagi perkembangan seksualitas manusia menjadi lima tahap yaitu:  

Tahap pertama disebut oral stage yang berlangsung pada tahun pertama setelah kelahiran. Di tahap ini, mulut menjadi fokus utama dari hasrat seksual, ini diperlihatkan Sigmund Freud dengan menujukkan perilaku bayi yang senang memasukkan segala sesuatu ke mulutnya. 

Tahap kedua, disebut anal stage berlangsung dari usia satu sampai tiga tahun. Pada masa ini pusat kesenangan seksual berpindah ke daerah anus yaitu dimulai ketika seorang anak menyadari kesempatan pertamanyauntuk lepas dari pengawasan orang tuanya di saat ia mulai belajar buang air sendiri di toilet. 

Tahap ketiga, disebut phallic stage, berlangsung kurang lebih mulai umur 3-5 tahun dimana ketertarikan erotis mulai berpindah ke alat kelamin. Pada tahap ini seorang anak mulai mengenal masturbasi yang kemudian mengembangkan fantasi seks.  

Tahap keempat, pada usia 6 tahun anak mulai memasuki masa latencay stage. Pada tahap keempat ini problem psikologis Oedipus Complex dan Electra Complex sudah berlalu karena perhatian anak mulai beralih pada hal-hal non seksual seperti kegiatan intelektual atau sosial. Tahapan ini berlangsung sampai pada masa puber atau usia remaja.  

Tahap kelima adalah genital stage. Di sini secara biologis seorang anak sudah mulai dianggap dewasa dan mulai belajar memusatkan ketertarikan seksualnya pada lawan jenis atau hetroseksual relations. Dengan kata lain seorang anak mulai punya hasrat untuk bersetubuh.[9]
 
Demikian secara singkat teori Sigmund Freud tentang perkembangan seksualita dan dari sini kiranya cukup jelas bagaimana proses karakterisasi seks berlangsung dilihat dari aspek eksistensialnya. Dari sini pula menjadi indikasi bahwa perkembangan hidup seks suami isteri mempunyai effek yang penting dalam merawat cinta kasih. 

Menurut penulis, meskipun kehidupan suami isteri cukup dalam ekonomi namun bila isteri tidak mampu memuaskan suami kemungkinan besar rumah tangga sulit mencapai bahagia. Seringkali masalah seks menjadi pemicu pertengkaran suami isteri. Seorang isteri yang bersifat acuh tak acuh dalam masalah seks maka sang suami akan mengalami penderitaan secara psikologis. Karena seks merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar. 

4.  Suami yang mudah terayu oleh perempuan lain, sehingga si istri menjadi cemburu 

 Menurut Baldwin banyak kasus seputar suami yang menyeleweng berpindah pada wanita lain mulai dari masalah yang sepele sampai pada aspek yang fundamental dan bernuansa fsikologis. Di antara sekian banyak kasus penyelewengan adalah karena ketidak puasan dalam seks, mertua yang selalu intervensi dalam rumah tangga; pergaulan suami yang salah dan tersesat, isteri yang terlalu pencemburu, kesulitan adavtasi suami terhadap usianya yang terus bertambah sehingga tidak mampu menerima realita hidup, suami yang melakukan beberapa jenis kebohongan dan penipuan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan kriminal.[10]  

Seiring dengan keterangan tersebut, menurut Bonger sebuah kesalahan suami yang sukar dimaafkan isteri dan dalam beberapa tradisi dianggap tercela bahkan berakibat perceraian adalah kasus penyelewengan seorang suami terhadap wanita lain yang menjadi tempat pelarian.[11]
 
Dari kedua teori itu, penulis berpendapat bahwa pergaulan suami dengan sesamanya sangat besar pengaruhnya karena secara tidak disadari ia telah dibentuk oleh lingkungan pergaulan ke arah penyelewengan. 

Seorang suami yang banyak bergaul dengan laki-laki yang suka nyeleweng maka lambat laun ia belajar dari kawannya itu untuk berbuat yang sama. Kongkritnya akan terjadi proses coba-coba dan meniru. Hal itu ini tidak berbeda dengan teori dan konsep belajar. Dalam belajar ini sangat mudah terjadi proses peniruan. Hal ini sebagaimana dikatakan bahwa interaksi dan pergaulan mengandung proses belajar dan belajar boleh dikatakan juga sebagai suatu proses interaksi antara diri manusia (id –  ego –  super ego) dengan lingkungannya yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori. 

Pendapat tersebut menandakan bahwa pergaulan suami isteri dapat mengembangkan pola tingkah laku yang di dalam teori belajar ada istilah modeling yaitu suatu bentuk belajar yang tak dapat disamakan dengan classical conditioning maupun operant conditioning. Dalam modelling, seseorang yang belajar mengikuti kelakuan orang lain sebagai model. Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui  modelling atau imitasi daripada melalui pengajaran langsung.   

Modelling dapat terjadi baik dengan direct reinforcement maupun dengan vicarious reinforcement. Bandura dalam penelitiannya terhadap tingkah laku kelompok-kelompok anak dengan sebuah boneka plastik mengamati, bahwa dalam situasi permainan, model rewarded group bereaksi lebih agresif daripada model punished group.[12]  

Bandura membagi tingkah laku imitatif menjadi tiga macam:

1. Inhibitory-disinhibitory effect; kuat lemahnya tingkah laku oleh karena pengalaman tak menyenangkan atau oleh Vicorious Reinforcement

2. Eleciting effect; ditunjangnya suatu respons yang pernah terjadi dalam diri, sehingga timbul respons serupa.  

3. Modelling effect; pengembangan respons-respons baru melalui observasi terhadap suatu model tingkah laku. Modelling dapat dipakai untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan akademis dan motorik. 

Sejalan dengan pendapat di atas, Gerungan menegaskan bahwa di lapangan pendidikan dan perkembangan kepribadian individu, imitasi itu mempunyai peranannya, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik. Selanjutnya, apabila seorang telah dididik dalam suatu tradisi tertentu yang melingkupi segala situasi sosial, maka orang itu memiliki suatu "kerangka cara-cara tingkah laku dan sikap-sikap moral" yang dapat menjadi pokok pangkal untuk memperluas perkembangannya dengan positif, dan dalam didikan ke dalam suatu "tradisi" modern maupun kuno itu, imitasi memegang peranan penting.[13]
 
Dalam hubungannya dengan belajar, menurut teori behavioristik bahwa manusia pada waktu dilahirkan sama. Menurut behaviorisme pendidikan adalah maha kuasa, manusia hanya makhluk yang berkembang karena kebiasaan-kebiasaan, dan pendidikan dapat mempengaruhi refleks sekehendak hatinya.

Menurut teori humanistik, bahwa manusia atau individu harus dipelajari sebagai keseluruhan integral, khas, dan terorganisasi. Ia tidak bisa dipelajari secara parsial (sebagian-sebagian). Manusia pada dasarnya memiliki karakter jahat apabila tidak dikendalikan.[14]
 
Dari teori-teori di atas jika dihubungkan dengan proses belajar suami dengan kawannya dapat diambil kesimpulan bahwa pergaulan suami menjadi penting bagi pembentukan pribadi dan perilakunya. 

Berpijak pada keterangan di atas maka bergaulnya suami dengan orang shaleh akan memperoleh manfaat yang besar, hal ini sebagaimana diungkapkan Yasin sesungguhnya pergaulan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan dan jati diri manusia. Hati semakin berkarat kalau terus menerus berteman dengan sekutu syetan; dari orang jahat, ahli maksiat, fasiq, kafir, musyrik.[15] Dalam al-Qur’an dijelaskan:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat, jika kamu memahaminya. 

Pergaulan sangat mempengaruhi prilaku dan karakter seseorang, dengan pergaulan bisa menjadi baik tapi juga bisa menjadi buruk, masalahnya tergantung bergaul dengan siapa. Teman yang hanya berorientasi pada kesenangan eksoteris (zahiri/lahiriah) akan menelurkan bibit penyakit jauh dari Tuhan, sebaliknya sahabat yang lebih cenderung mengejar aspek esoteris (batini) maka akan menggiring cinta pada Tuhan. 

Menurut Hamka bahwa budi pekerti jahat adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati. Penyakit ini lebih lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Orang yang ditimpa penyakit jiwa, akan kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup yang abadi. Ia lebih berbahaya dari penyakit badan. Dokter mengobati penyakit jasmani, menuruti syarat-syarat kesehatan. Sakit itu hanya kehilangan hidup yang fana. Oleh sebab itu hendaklah diutamakan menjaga penyakit yang akan menimpa jiwa, penyakit yang akan menghilangkan hidup yang kekal itu.[16]

Ilmu kedokteran yang telah maju harus dipelajari oleh tiap-tiap orang yang berfikir karena tidak ada hati yang sunyi dari penyakit yang berbahaya itu. Kalau dibiarkan saja dia akan tambah menular, tertimpa penyakit atas penyakit. Penting sekali bagi seorang hamba mempelajari sebab-sebab penyakit itu dan mengusahakan sembuhnya serta memperbaiki jalanya kembali. Itulah yang dimaksud sabda Tuhan.[17]  

Pergaulan mempengaruhi didikan otak. Pergaulan membentuk kepercayaan dan keyakinan. Oleh karena itu maka, untuk kebersihan jiwa, hendaklah bergaul dengan orang-orang yang berbudi, orang yang dapat kita kutip manfa'at daripadanya. Jangan bergaul dengan orang yang durjana, yang banyak omong-kosong, yang banyak gurau tak berfaedah, yang selalu membanggakan kejahatan.  Melainkan jika pada satu ketika terpaksa bercampur dengan golongan itu, hendaklah membuat isyarat yang bisa difahamkan mereka, bahwa kita tidak setuju dengan perbuatan dan kelakuan mereka. Karena biasanya, kotoran budi mereka yang kita saksikan itu bisa melekat kepada kita, amat susah buat membasuhnya sekaligus. Bahkan kadang-kadang orang yang utama bisa tertarik oleh orang yang tidak utama, apalagi kalau keutamaan baru saduran, belum lekat sampai ke sanubari.[18]  

Menurut penulis bahwa bergaul dengan seseorang memiliki pengaruh yang besar. Bergaul dengan orang yang rapuh mentalnya maka niscaya kerapuhannya akan menular pada kawannya, demikian pula sebaliknya pergaulan dengan orang baik maka kecenderungan untuk menjadi baik merupakan sebuah kemungkinan yang sangat besar. 

Menurut penulis bahwa masalah pergaulan ini tampaknya sederhana sehingga tanpa disadari banyak orang yang mulanya baik tapi kemudian ia terperosok ke lembah nista adalah karena pergaulan dengan orang yang rusak moralnya atau sakit jiwanya. Kadang memang sulit untuk memilah-milah mana kawan yang budiman dan mana yang akan menebarkan racun. Sebuah adagium yang sudah populer bahwa bergaul dengan tukang minyak wangi akan terkena wanginya.  

Di era modern ini sangat sulit untuk mendeteksi kawan yang budiman. Tidak sedikit orang mendekat menjadi collega karena ada kepentingan dan pada adanya kepentingan inilah batasannya kawan abadi. Berbagai faktor sangat menunjang terbinanya persahabatan, tapi faktor kepentingan jualah yang paling dominan. Karena itu untuk memilahnya adalah dengan memilih kawan yang masih bersih pandangan dan pikirannya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bergaul dengan orang shaleh membawa pengaruh yang besar terhadap karakter, emosi dan kepribadian seseorang. 





[1] Akbar, H. Ali, 1982, Seksualitas Ditinjau Dari Hukum Islam, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 74-75
[2] Faqh, Aunur Rahim, 2001, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, UII Press, hlm. 76
[3] Sholeh, Moh, Musbikin, 2004, Agama Sebagai Terapi, Telaah Menuju Ilmu Kedokteran Holistik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 90
[4] Rasyid, Ibnu M., 1989, Mahligai Perkawinan,  Batang Pekalongan: CV.Bahagia, hlm. 78
[5] Musa, Kamil, 2000, Hikmah Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm. 28
[6] Yunus, Mahmud, 1990,  Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT Hidayah Karya Agung, hlm. 101
[7] Mughniyah, Muhammad Jawad, 2001, al-Fiqh ‘Ala al- Mazahib al-Khamsah, terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff,  Fiqih Lima Madzhab, Cet. 7, Jakarta: Lentera, hlm. 400
[8] Master, William H., 1982, Virginia E. Johnson, Robert C. Kolodny,  Human Sexuality, Toronto: Little Brown & Co, hlm. 152
[9] Freud, Sigmund, 1943,  a General Intrucdution to Psycoanalisis, New York: Garden City Publishing, hlm. 80
[10] Baldwin, Robert, 1980, All Man A Born Equal, New York: Cichago Univercity, hlm. 40
[11] Bonger, WA., 1976, Pengantar Tentang Kriminologi, New York: Prentice-Hall, hlm. 64
[12] Bandura, John, 1999, Child Psychology, New York: Prentice-Hall, hlm. 65
[13] Gerungan, W.A., 1978, Psikologi Sosial, Bandung: PT.al-Maarif, hlm. 59
[14] Koswara, E., 1991, Teori-Teori Kepribadian, Bandung: PT Eresco, hlm. 115-117
[15] Yasin, Abu, 2006, Mengobati Penyakit Hati, Bandung: PT al-Ma’arif, hlm. 75
[16] Hamka, 1990, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 1
[17] Ibid.
[18] Ibid.

No comments:

Post a Comment