TINGKATAN CINTA


Terdapat dua jenis cinta menurut Formm, cinta penyatuan simbiosis dan cinta yang dewasa. Penjelasannya yaitu :

1. Penyatuan Simbiosis, yaitu memiliki pola hubungan antara pasif dan aktif dimana keduanya tidak dapat hidup tanpa yang lain. 

Bentuk pasif dari penyatuan simbiosis disebut sebagai ketertundukan (submission), dalam istilah klinis disebut sebagai Masokhisme. Pribadi yang  Masokhisme keluar dari perasaan isolasi dan keterpisahan yang tak tertahankan dengan menjadikan dirinya bagian dan bingkisan pribadi lain yang mengatur, menuntun dan melindungi dirinya. Bentuk aktif dari penyatuan simbiosis disebut sebagai dominasi (domination), dalam klinis disebut sebagai sadisme. Pribadi yang sadistis ingin keluar dari kesendiriannya dengan membuat pribadi lain menjadi bagian dan bingkisan dirinya.

2. Cinta yang dewasa, adalah penyatuan didalam kondisi tetap memelihara integritas seseorang, individualitas seseorang.

Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan yang meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia dari sesamanya, yang menyatukan dirinya dengan yang lain.

Dalam mengatasi keterpisahan pada manusia, hanya cinta yang dewasa yang dapat dijadikan jawaban terbaik. Karakter aktif dari cinta yang dewasa ditunjukkan dengan hasrat untuk memberi daripada  menerima.

Arti kata memberi disini yaitu perwujudan paling nyata dari potensi diri. Dalam setiap tindakan memberi, individu akan merasakan kekuatan, kekayaan, dan kekuasaan atas dirinya sehingga memberi akan lebih membahagiakan daripada menerima. Sehingga manusia tidak akan memberi untuk menerima. Tetapi dalam batasan memberi yang sesungguhnya.

Memberi yang sesungguhnya akan membuat orang lain menjadi pemberi. Dalam kaitannya dengan cinta, penjelasan makna memberi ini berarti: cinta adalah kekuatan yang melahirkan cinta. Pemikiran ini diungkapkan oleh Marx anggaplah manusia sebagai manusia, dan hubungannya dengan dunia sebagai hubungan manusia, dan anda dapat bertukar cinta hanya dengan cinta, kepercayaan dengan kepercayaan, dan seterusnya.

Selain tindakan memberi, karakter aktif dari cinta terlihat jelas dalam kenyataan bahwa  cinta  selalu  mengimplikasikan unsur-unsur dasar  tertentu.  Unsur-unsur dasar dari cinta yaitu: Perhatian (Care), Tanggungjawab (Responsibility), Rasa Hormat (Respect) dan Pengetahuan (Knowledge). Fromm menjabarkannya sebagai berikut :

1.  Perhatian (Care)

Cinta adalah perhatian aktif pada kehidupan dan pertumbuhan dari apa yang kita cintai. Implikasi dari cinta yang berupa perhatian terlihat jelas dari perhatian tulus seorang ibu kepada anaknya. 

2.  Tanggungjawab (Responsibility)

Tanggungjawab dalam arti sesungguhnya adalah suatu tindakan yang sepenuhnya bersifat sukarela. Bertanggungjawab berarti mampu dan siap menganggapi. 

3.  Rasa Hormat (Respect)

Rasa hormat bukan merupakan perasaan takut dan terpesona. Bila menelusuri dari akar kata (Respicere = melihat), rasa hormat merupakan kemampuan untuk melihat seseorang sebagaimana adanya, menyadari individualitasnya yang unik. Rasa hormat berarti  kepedulian  bahwa seseorang perlu tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya. Dalam lagu Prancis kuno dikatakan “l’amour est l’enfant de la liberte“ atau cinta adalah anak kebebasan, sama sekali bukan dominasi. 

4.  Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan yang menjadi satu aspek dari cinta adalah pengetahuan yang tidak bersifat eksternal, tetapi menembus hingga ke intinya. 

Perhatian, tanggungjawab, rasa hormat dan pengetahuan mempunyai keterkaitan satu sama lain. Semuanya merupakan sindrom sikap yang terdapat dalam pribadi yang dewasa, yaitu dalam pribadi yang mengembangkan potensi  dirinya secara produktif. 

Berbeda dengan Fromm yang menekankan mengenai sebab,  akibat  dan aspek-aspek yang menimbulkan cinta dalam penjelasan teori cintanya, Sternberg lebih menekankan pada penjelasan mengenai  komponen pembentuk cinta dan beragam jenis cinta yang dihasilkan dari kombinasi tiap komponen. 

Teori mengenai komponen cinta disebut pula sebagai teori segitiga cinta. Segitiga cinta mengandung 3 komponen sebagai berikut:

a) Keint1man (Intimacy)

Keint1man adalah elemen emosi, yang didalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan (trust) dan keinginan untuk membina hubungan. 

b) Ga1rah (Passion)

Gairah adalah elemen motivasional yang disadari oleh dorongan  dari  dalam diri yang bersifat seksual. 

c) Komitmen 

Komitmen adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama.

Kombinasi dari ketiga komponen cinta ini dapat membentuk 8 pola hubungan cinta sebagai berikut:

a) Liking (Suka)

Seseorang yang hanya mengalami komponen keintiman saja, tanpa adanya gairah dan komitmen.
 
b) Infatuated (tergila-gila)

Cinta ini muncul karena adanya hasrat/ga1rah tanpa disertai keintiman dan komitmen. 

c) Empty Love 

Cinta ini berasal dari adanya komitmen pada individu tanpa adanya hasrat dan keintiman. 

d) Romantic Love

Cinta ini muncul dari kombinasi antara keintiman dan hasrat tapi tanpa disertai oleh komitmen. 

e) Companionate Love

Cinta ini muncul dari kombinasi antara keintiman dan komitmen. Biasanya cinta ini muncul dalam persahabatan yang mana tidak melibatkan hasrat. 

f) Fatuous Love  

Cinta ini muncul dari kombinasi hasrat dan komitmen tanpa adanya keintiman. 

g) Non Love 

Ketiga komponen cinta tidak ada pada pola cinta ini. Pola ini biasanya muncul dalam hubungan dengan sekitar yang tidak menetap. 

h) Consummate Love 

Cinta ini muncul dari kombinasi ketiga komponen cinta (keint1man, hasrat dan komitmen). Cinta ini disebut juga sebagai cinta yang utuh.

Penjelasan mengenai definisi dan teori-teori cinta di atas dapat memberi sumbangan penting dalam memahami cinta sebagai suatu kekuatan positif dalam diri setiap individu.

Secara klinis, cinta dapat berperan baik dalam preverensi maupun intervensi suatu penyakit mental. Sesuai penjelasan Erich Fromm, cinta yang dewasa dapat menjadi jawaban atas eksistensi menusia yang berupa keterpisahan. Dengan cinta, keterpisahan dan kesendirian akan teratasi sehingga menjadi suatu pencegahan (preverensi) dari munculnya suatu kegelisahan bahkan gangguan kejiwaan. 

Sesuai dengan penjelasan Abraham Maslow mengenai teori motivasi, cinta merupakan salah satu tingkatan dari hierarki kebutuhan pada manusia. Kebutuhan cinta merupakan fase sementara dalam pertumbuhan manusia dan merupakan penggerak ke fase-fase selanjutnya.

Berbagai  penelitian  dilakukan  dalam  usaha mencari  keterkaitan  antara perasaan cinta dengan kesehatan pada fisik dan psikis seseorang. Jurnal Neuroendrocrinology Letters Vol. 26 tahun 2005 (WordPress, 2008) menerbitkan tulisan ilmiah yang tegas menyatakan bahwa cinta baik untuk kesehatan fisik dan mental. Keterlekatan sosial yang ditimbulkan oleh perasaan cinta dapat mengobati dan mencegah penyakit depresi bahkan autisme. Lebih jauh, dalam jurnal itu  disebutkan bahwa Cinta membantu individu dalam menghadapi  kesulitan hidup dan membantu sistem kekebalan tubuh untuk memperbaiki dan menjaga kesehatan tubuh. 

Penelitian di Yale University terhadap 119 pria dan 40 wanita yang menjalani pemeriksaan pembuluh darah koroner juga membuktikan akan adanya pengaruh positif cinta terhadap kesehatan individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang merasa paling dicintai dan didukung oleh pasangannya memiliki lebih sedikit penyumbatan di arteri jantung daripada kelompok lainnya.

Namun menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di  samping  itu, tidak  ada  satu  tingkatan  pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau  pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud,  dan  lain-lain.[1] Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi.  Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.[2]

Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut.

Tuhan  memberitahukan  tentang  cinta-Nya  kepada  sang hamba.  Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya,  sang  hamba  pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.[3]

Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta.

Pertama, cinta orang-orang awam. Cinta seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.[4]

Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).[5]

Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini  timbul  dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an cinta  Tuhan tanpa sebab (illat) apapun.

Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya ialah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini  adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.[6]                                                




[1] Al-Ghazali, Ihya., op. cit.., juz 4, hal. 294
[2] Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz 3, hal. 465
[3] Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), hal. 143.
[4] Ath-Thusi, al-Luma’, op. cit., hal. 86
[5] Ibid., hal. 87
[6] Ibid., hal. 88.

No comments:

Post a Comment