CINTA DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGIS DAN TASAWUF


Cinta, satu kata yang memiliki ribuan makna. Manusia memiliki ketertarikan sendiri dalam merasakan, menggambarkan dan memaknai arti kata ini. Banyak ilmuwan tertarik dan berupaya  membahas  secara  mendalam akan makna yang terkandung dibalik kata cinta dari berbagai aspek kajian keilmuwan, sosial, kesehatan, ilmu agama bahkan ilmu alam. Begitu pula dengan para psikolog dan ilmuwan psikologi. Mereka melakukan berbagai penelitian, membentuk  konsep-konsep untuk menjelaskan akan arti cinta dari sudut pandang psikologis. 

Akar makna cinta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,  diartikan  sebagai suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, atau khawatir. Sementara itu, dalam Kamus Psikologi terjemahan dari The Penguin Dictinory of Psikology, cinta merupakan perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek; cinta bernuansa emosional jika muncul dalam pikiran. Dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer sesuai dengan emosi dimana objek itu berada.[1]

Penggunaan istilah cinta dalam masyarakat Indonesia dan Malaysia lebih dipengaruhi perkataan love dalam bahasa Inggris. Love digunakan dalam semua amalan dan arti untuk eros, philia, agape dan storge. Namun demikian perkataan-perkataan yang lebih sesuai masih ditemui dalam bahasa serantau dan dijelaskan seperti berikut:

a) Cinta yang lebih cenderung kepada romantis, asmara dan hawa nafsu, eros.

b) Sayang yang lebih cenderung kepada teman-teman dan keluarga, philia.

c) Kasih yang lebih cenderung kepada keluarga dan Tuhan, agape.

d) Semangat nusa yang lebih cenderung kepada patriotisme, nasionalisme dan narsisme, storge.

Diantara banyaknya jumlah ilmuwan psikologi yang membahas mengenai cinta, penulis mencoba mengambil beberapa definisi untuk menjelaskan definisi cinta.

Ashley Montagu, seorang Psikolog Amerika memandang cinta sebagai sebuah perasaan memperhatikan, menyayangi, dan menyukai yang mendalam. Biasanya, rasa cinta disertai dengan rasa rindu dan hasrat terhadap objek yang dicintai.

Elain dan William Walsten lebih menekankan suatu keterlibatan individu yang mendalam saat mendefinisikan cinta. Keterlibatan diasosiasikan dengan timbulnya rangsangan fisiologis yang kuat dan diiringi dengan perasaan mendambakan pasangan dan keinginan untuk memuaskannya.[2]

Menurut Robert Sternberg, cinta adalah sebuah kisah yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Menurutnya, kisah tersebut telah ada pada manusia dan proses pembentukkannya terbentuk melalui pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah ini pula yang akan membentuk bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam suatu pola hubungan.

Scott Peck yang sepanjang karirnya dalam psikologi berusaha menghasilkan karya dan menjelajahi definisi cinta dan kejahatan menggambarkan cinta sebagai kombinasi dari “perhatian akan perkembangan spiritual orang lain” serta narcisisme biasa.[3]

Berbeda dengan psikolog dan ilmuwan psikologi lainnya, Erich Fromm menekankan cinta sebenarnya pada cinta yang dewasa. Cinta yang dewasa adalah penyatuan didalam kondisi tetap memelihara integritas seseorang, individualitas seseorang. Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan yang meruntuhkan  tembok yang memisahkan manusia dari sesamanya, yang menyatukan dirinya  dengan yang lain; cinta membuat dirinya mengatasi perasaan isolasi dan keterpisahan, namun tetap memungkinkan dirinya menjadi  dirinya  sendiri, mempertahankan integritasnya.[4]

Cinta adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam. Menurut Erich Fromm, ada empat syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu: Perasaan, Pengenalan, Tanggung jawab, Perhatian, Saling menghormati. 

Erich Fromm dalam buku larisnya (the art of loving) menyatakan  bahwa ke empat gejala: Care, Responsibility, Respect, Knowledge  (CRRK), muncul semua secara seimbang dalam pribadi yang mencintai. Omong kosong jika seseorang mengatakan mencintai anak tetapi tak pernah mengasuh dan tak ada tanggungjawab pada si anak. Sementara tanggungjawab dan pengasuhan tanpa rasa hormat sesungguhnya & tanpa rasa ingin mengenal lebih dalam akan menjerumuskan para orang tua, guru, rohaniwan dll pada sikap otoriter.[5]

Erich Fromm memandang manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya, mempunyai kesadaran tentang dirinya, sesama, masa lalu, kemungkinan masa depannya dan kesadaran akan eksistensinya sebagai sesuatu yang terpisah. Sadar akan keterpisahan ini merupakan faktor utama munculnya  kegelisahan, kecemasan dan dapat menjadi pintu gerbang menuju gangguan kejiwaan. Karenanya, dalam buku The Art Of Loving, Fromm menjelaskan bahwa kebutuhan manusia yang  paling dalam adalah kebutuhan untuk mengatasi keterpisahannya dan meninggalkan penjara kesendiriannya. Kegagalan untuk mengatasi keterpisahan ini yang akan menyebabkan gangguan kejiwaan.

Banyak cara dilakukan untuk mengatasi keterpisahan pada tiap individu. Fromm mengungkapkan idenya mengenai cinta sebagai jawaban dari masalah eksistensi manusia. Dalam cinta, terdapat jawaban utuh yang terletak pada pencapaian penyatuan antar pribadi dan peleburan dengan pribadi lain. Hasrat akan peleburan antar pribadi ini yang paling kuat pengaruhnya dalam diri manusia. Inilah kerinduan mendasar, kekuatan yang menjaga rasa manusia, keluarga dan masyarakat untuk selalu bersama.[6]

Pandangan yang populer memandang dosa jika kita mencintai  diri  sendiri karena bersifat egois. Walaupun demikian, jika mencintai orang lain sebagai manusia adalah kemuliaan, bagaimana mungkin mencintai diri sendiri sebagai manusia adalah bukan kemuliaan?

Fromm menyatakan bahwa mencintai diri sendiri adalah bukan alternatif. Mereka yang mampu mencintai orang lain juga akan mempunyai kemampuan mencintai diri sendiri. Pembenaran pada kehidupan seseorang, kebahagian, pertumbuhan, kebebasan tertanam pada kemampuan seseorang untuk mencintai. Contohnya kepedulian, penghargaan, dan pengetahuan.

Jika seorang individu mampu mencintai secara produktif, berarti ia mencintai dirinya sendiri juga; namun ia hanya mampu mencintai orang lain, maka ia tidak bisa mencintai sama sekali. Bagi Fromm, mencintai diri sendiri dan egoisme adalah hal yang berlawanan, bukan identik. Leo Bscaglia menunjukkan versi populer dari cinta. Ia menyatakan:

Cinta yang sempurna adalah jika seseorang memberikan segalanya dan tidak mengharapkan apa-apa. Jika seseorang mengharapkan apa-apa dan tidak meminta apa, ia akan pernah merasa dicampakkan atau dikecewakan.[7]

Sedangkan dalam dunia tasawuf kata mahabah berarti cinta kepada Allah Swt. Tasawuf mendefinisikan mahabah sebagai kepatuhan kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya; menyerahkan diri kepada seluruh Yang dikasihi; mengosongkan hari dari segala-galanya kecuali  dari diri yang dikasihi. Al-Junaid menganggap mahabah sebagai suatu kecenderungan hati, maksudnya hari seseorang cenderung kepada Allah Swt. dan kepada segala sesuatu yang datang dari-Nya tanpa usaha.

Menurut Al-Ghazali, cinta kepada Allah merupakan puncak dari segala maqam mistik. Setelah maqam cinta, tidak ada lagi maqam lain yang menandinginya. Kalaupun ada, maqam itu hanya menjadi salah satu buah cinta saja seperti kerinduan (syawq), keintiman spritual (uns), rida dan maqam lain yang sejenis. Sebelum cinta juga tidak ada maqam lain. Kalaupun ada, pasti akan menjadi salah satu pengantarnya saja, seperti tobat, sabar, zuhud, dan yang lain. Perkataan dalam konteks ini dimaksudkan sebagai hubb atau mahabah dalam bahasa Arab. Al-Qusyairi mengumpulkan beberapa pendapat tentang cinta (hub atau mahabah) itu sebagai berikut.

1. Cinta (hub atau mahabah) yang berasal dari kalimat habba-hubbab-hibbun, yang berarti waddahu, mempunyai makna kasih atau mengasihi;

2. Hubb berakar dari kata habb al-maa, adalah air bah;

3. Cinta dinamakan  mahabah sebab  ia  kepedulian  yang  paling  besar  dari  cita hati;

4. Cinta juga sering dianggap berasal dari kata habb (biji-bijian) yang merupakan jama’ dari habbat, dan habbat al-qalb adalah sesuatu yang menjadi penopangnya. Dengan demikian, cinta dinamai hubb sebab ia tersimpan di dalam kalbu;

5. Ada yang menyebut bahwa kata hubb berasal dari kata hibbah, yang berarti biji-bijian dari padang pasir. Cinta dinamai hub dimaksudkan sebagai lubuk kehidupan, sebagaimana hubb sebagai benih tumbuh-tumbuhan;

6. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa cinta berasal dari kata hibb, yakni tempat yang didalamnya ada air, dan manakala ia penuh, maka tidak ada lagi tempat bagi yang lainnya. Demikian pula dengan hati saat dilupai oleh cinta, tak ada tempat lagi dihatinya sebagai selain bagi kekasih.

Cinta (mahabah) memiliki kedudukan yang penting sebab perjalanan tasawuf dimulai  dari  menegakkan  ketauhidan  di  dalam  diri,  yakni  dengan  menjalani kehidupan asketik (zuhud). Dari zuhud inilah yang mengakibatkan tumbuhnya cinta, dan cinta inilah kehidupan tasawuf dengan ikhlas.[8] Karena cinta adalah inti,  esensi dari sufisme. Tujuannya adalah kesatuan antara sang pecinta dengan Tuhan yang Dicintai. Cinta dari Tuhan untuk  manusia dan cinta balasan  dari  manusia kepada Tuhan telah menjadi landasan dari agama. Hal ini secara terus-menerus telah ditampilkan oleh para nabi, dan secara tegas diekpresikan dalam berbagai kitab suci.[9]

Memang  sangatlah  banyak  pendapat  mengenai  cinta,  namun  pada  dasarnya cinta merupakan sesuatu hal yang bersifat rohani untuk menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perjalananya orang-orang yang menempuh jalan cinta penuh dengan berbagai pengalaman batin yang sifatnya rasa ketidak mampuan (muhasabah) serta kerinduan Pada-Nya. Maka dalam kerinduan atau kegelisahan seorang penempuh jalan cinta —para sufi— akan menuangkannya  dalam  bentuk  sajak-sajak puisi. Hal ini sejalan apa yang dialami oleh Rabi’ah al-Adawiyyah sehingga pengalaman spiritualnya dalam mengagungkan keindahan  Tuhan terangkum dalam kitabnya Nafahat al-Uns. Sumbangan terbesar  bagi ilmu tasawuf terletak dalam keberhasilannya memberi corak mistisisme sejati pada tasawuf.

Dengan gagasan-gagasannya menjadikan tasawuf tidak lagi hanya sebagai gerakan zuhud yang bersahaja. Berkat keberhasilannya tasawuf menjelma menjadi gerakan keruhanian yang memiliki prespektif sangat luas. Dengan menekankan pada pentingnya bahasa cinta dalam kehidupan ahli tasawuf Rabi’ah membuka jalan yang lebar bagi perkembangan awal  puisi  sufistik.[10]

Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah. Tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[11]

Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di  kalangan  tasawuf.  Gambaran  tentang  Tuhan  pun  tidak  lagi  begitu  menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”. 

Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih mendalam tentang  tema ini dalam karya-karya  mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali  dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain. Menurut Rumi, hanya cinta yang dapat membawa seorang pelaku sufi (saalik) berhasil dalam perjalanan mereka mencapai Diri Yang Tinggi sebab cinta merupakan cara unggul mencapai  pengetahuan  tentang  hakikat  segala  sesuatu.[12]

Hal ini berarti bahwa hanya cinta yang dapat membawa mausia menyakini relaitas terdalam dan tertinggi dari segala sesuatu. Maka dari itulah mengapa pentingnya sebuah cinta, semua hal akan menjadi mudah yang akan memperlurus jalan hidup kepada Tuhan. Dan cinta disini lebih pada asahan ruhani atau bisa dikatakan cinta ruhani ialah cinta yang mistikal. Tujuan cinta mistikal ialah mewujudkan kesatuan hakiki diantara pecinta, kekasih dan cinta. Cinta mistikal mengatasi sifat kemanusian, membimbing jiwa seseorang menghampiri Tuhan  dan menyebabkan terbitnya perasaan bersatu dengan-Nya, serta  merupakan perwujudan dari cinta ilahi. Tujuan lain dari cinta mistikal ialah mengenal hakikat cinta (makrifat). 

Hakekat cinta sama dengan Wujud Tuhan itu sendiri. Menurut Ibn ‘Arabi dasar dan sebab dari cinta ialah keindahan. kerena keindahan pula yang dapat membawa kita dekat kepada Yang Maha Indah. Yang Maha Indah disebut pula sebagai Yang Maha Sempurna (kamal). Sebagaimana manusia mencintai disebabkan keindahan-Nya, adalah manifestasi dari keindahan yang dicintai-Nya. Keindahan Tuhan adalah sumber dari semua keindahan, baik keindahan ruhani maupun intelektual. Walaupun demikian keindahan Tuhan bebas dari segala rupa dan bentuk. Oleh karena itu yang dimaksud Ibn ‘Arabi dengan Wujud bukanlah wujud yang mengambil rupa dan bentuk nyata, melainkan penampakan Tuhan melalui sifat-sifat-Nya yang kewujudannya hanya dapat diselami dengan penglihatan batin, yaitu  cinta (‘isyq).[13]

Cinta haruslah murni tanpa emebel-embel yang sudah diungkapkan oleh Fromm di depan. Sangat banyak godaan di dunia yang dapat menjauhkan seorang dari Yang Dicintai. Godaan-godaan ini harus diatasi, karena tidak ada hati yang memiliki dua cinta, hanya ada satu cinta. Pencinta sejati tidak akan beralih karena perbedaan fisik; mereka dinilai dari berdasarkan kesabaran mereka. Segalanya ingin menunggu seseorang yang ingin menunggu Tuhan. Menunggu merupakan hal yangg indah bagi pecinta.[14]




[1] Abdul Wachid B.S, Tafsir Terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri Gandrung Cinta, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008,  hal. 53
[2] Hauck, Paul. 1993. Bagaimana Mencintai dan Agar dicintai. Jakarta : Arcan
[3] Widianti, Dian. 2006. Ensiklopedi Cinta. Bandung : Mizan Media Utama (MMU)
[4] Erich Fromm, Cinta Seksulitas Matriarki Gender, Jalasutra, Yogyakarta, 2002
[5] Fromm, Erich. 2005. The Art Of Loving. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
[6] Fromm, Erich. 2005. The Art Of Loving, hal 34
[7] Lynn Wilcox, Pcyhosufi, Pustaka Cendekiamuda, Jakarta, 2007, hal. 333-334
[8] Abdul Wachid B.S, Tafsir Terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri Gandrung Cinta,..hal. 54
[9] Lynn Wilcox, Psychosufi,..hal. 339
[10] Ibid.,hlm 40
[11] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 74.
[12] Abdul Wachid B.S, Tafsir Terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri Gandrung Cinta,..hal.73
[13] Abdul Hadi WH.......hlm 58
[14] Ibid,…hal. 343

No comments:

Post a Comment