Berbicara
mengenai novel berarti berbicara mengenai sebuah karya sastra. Dalam dunia
Islam dikenal juga istilah sastra
sufistik, yaitu karya sastra yang didalamnya dijabarkan paham-paham, keyakinan,
dan sifat-sifat yang diambil dari dunia tasawuf.[1]
Dalam
sastra sufistik ditemukan suatu ajaran, ungkapkan pengalaman, simbolisasi,
parable, dan kiasan paham sufistik. Para sufi sering menggunakan cerita-cerita
yang khas dalam memberikan pelajaran dan dakwah Islam. Isi ceritanya beragam
dan sering pula merupakan kompilasi dari berbagai cerita yang ada. Sumber
cerita berasal dari al-Qur'an, hadits, dan kisah ulama. Namun, cerita tersebut
kadang-kadang sudah mengalami amplifikasi dengan berbagai sumber cerita yang
tidak jelas asal-usulnya, atau mungkin dari legenda-legenda setempat yang sudah
diberi warna Islam.
Bagi
para sufi sumber cerita memang bukan merupakan hal yang penting. Mereka memberi
pelajaran agar murid mendapatkan hikmah sebagai salah satu aspek yang
ditekankan dalam tasawuf.[2]
Cerita
yang sering mengalami seleksi dan kompilasi yang disesuaikan dengan pokok-pokok
ajaran sufi adalah cerita tentang Nabi Muhammad. Judul teks yang bertemakan
Nabi Muhammad diantaranya adalah Hikayat
Nabi Mengajar Ali. Cerita ini berisi
pelajaran Nabi Muhammad kepada anak angkatnya yang bernama Ali Bin Abi Thalib. Nabi
mengajarkan Ali untuk sabar ketika marah dan merendahkan diri kepada sesama
manusia.[3] Inti ajaran dari hikayat
ini adalah tentang etika dan akhlak islami.
Sebuah
karya sastra memiliki hubungan yang khas dengan kenyataan.[4] Oleh karena itu melalui
karya sastra dapat diperlihatkan dunia-dunia lain dengan norma-norma yang
dianutnya. Pembaca secara interpretative dapat menggali norma-norma dan ajaran
yang terkandung di dalam sebuah karya sastra.
Dengan
begitu ada konsepsi bahwa sastra dapat digunakan sebagai media pendidikan,
termasuk pendidikan Islam. Nilai-nilai pendidikan Islam tersebut dapat
ditransformasikan melalui media sastra (novel). Karena salah satu metode
pengajaran agama Islam adalah dengan menggunakan metode cerita, maka melalui
media sastra (novel) ajaran-ajaran Islam dapat disampaikan kepada siswa dengan
lebih kreatif.
Metode
cerita merupakan metode pengisahan peristiwa sejarah hidup manusia masa lampau
yang menyangkut ketaatannya atau kemungkarannya dalam hidup terhadap perintah
Allah yang dibawa oleh Nabi atau Rasul yang hadir di tengah mereka.[5]
Dalam
pendidikan Islam, metode kisah (cerita) mempunyai fungsi edukatif yang tidak
dapat diganti dengan bentuk penyampaian lain selain bahasa. Hal ini disebabkan
kisah memiliki beberapa keistimewaan yang membuatnya mempunyai dampak dan
implikasi psikologis dan edukatif.
Di
samping itu kisah dapat melahirkan kehangatan perasaan dan vitalitas serta
aktivitas di dalam jiwa, yang selanjutnya memotivasi manusia untuk mengubah
perilakunya dan memperbaharui tekadnya sesuai dengan tuntunan, pengarahan, dan
akhir kisah itu, serta pengambilan pelajaran (‘ibrah). Terlebih kisah yang ada
dalam al-Qur’an dan hadits Nabawi.
Menurut
Abdurahman an-Nahlawi, kisah Qur’ani dan Nabawi mempunyai beberapa
keistimewaan, yaitu diantaranya:
a. Kisahnya memikat, menarik perhatian
pembaca dan tanpa memakan waktu yang lama
b. Kisah Qur’ani dan Nabawi menyentuh
dan mengetuk hati nurani manusia
c. Kisah Qur’ani dan Nabawi
menumbuhkan rasa ilahiyyat, seperti rasa khauf, ridha, ikhlas, cinta, tunduk
dan sebagainya.[6]
Kisah-kisah
Qur’ani dan Nabawi ini dapat diadopsi ke dalam bentuk lain seperti karya sastra
berbentuk novel, ataupun dengan mengambil dalil al-Qur'an dan hadits sebagai
landasan ceritanya. Dengan begitu nilai-nilai pendidikan Islam yang berdasarkan
al-Qur'an dan hadits dapat ditransfer kepada pembaca dengan lebih estetis.
Pernyataan
narasi bagi umat Islam oleh penulis harus berubah dari sebagai tujuan dasar
menjadi sebuah media yang penting untuk merealisasikan tujuan Islam yang murni
yang tidak hanya semata-mata memuaskan cita rasa seni saja, melainkan dapat
digunakan sebagai sarana untuk berpikir tentang isi pesan yang disampaikan,
lalu mencari pelajaran tentang keimanan, akhlak, syariat ataupun ajaran Islam
lainnya.
Metode
kisah tersebut dapat disampaikan melalui media buku atau bahan bacaan lainnya,
termasuk di antaranya adalah novel. Karena salah satu media pengajaran agama
Islam adalah melalui bahan bacaan atau bahan cetak.[7]
Melalui
buku-buku yang berorientasi pada pendidikan agama Islam, siswa dapat menyerap
nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di dalamnya. Dengan membaca
buku-buku atau novel-novel yang bernilai edukatif siswa dapat memperoleh
pengalaman dan belajar melalui simbol-simbol dan pengertian-pengertian dengan
menggunakan indra penglihatan.
Menurut
Zaid Akhtar, sudah sewajarnya jika seorang penulis muslim mengangkat Islam
lewat karya kreatif seperti cerpen atau novel, meskipun penulis Muslim
mempunyai latar belakang pendidikan dan sosial budaya yang berbeda, Zaid Akhtar
tetap yakin bahwa mereka tetap memiliki tanggungjawab sosial mendidik pembaca.
Penulis
bertanggungjawab dalam pembentukan kepribadian dan pembangunan rohani pembaca
serta tidak hanya menghasilkan karya yang bertujuan memberi hiburan semata.
Penulis perlu mempertimbangkan apakah karya kreatif yang mereka hasilkan berisi
tentang konsep menyeru ke arah kebaikan dan mencegah kemungkaran.[8] Oleh karena itu karya
kreatif dalam bentuk novel yang berisi tentang ajaran Islam tersebut bisa juga digunakan
sebagai media dalam pendidikan.
Faisal
Tehrani mengatakan bahwa betapa pentingnya pendidikan anak-anak yang didasari
dengan sastra dan ajaran Islam. Cerita dan puisi yang baik berdasarkan Islam
dapat menumbuhkan kebaikan kepada anak-anak. Adanya aspek negatif tayangan-tayangan di media
massa, media elektronik dan internet menyebabkan anak-anak lebih mudah
terpengaruh. Media sastra harus dapat menjadi benteng yang sempurna untuk menangkal
aspek negatif dari perkembangan teknologi.[9]
Untuk
menjadi benteng tersebut sastra harus dekat dengan aspek pendidikan. Sastra
menurut pendekatan Islam tersebut memiliki tanggungjawab dan berperanan untuk
menunaikan tujuh aspek pendidikan yaitu:[10]
a. Pendidikan iman
Asas
paling penting dalam pendidikan Islam ialah untuk menanamkan pada diri anak
falsafah tauhid yang terkandung dalam dua kalimah syahadah. Kepercayaan
kepada Allah mestilah disuguhkan dalam sastra secara bijaksana. Persoalan ini misalnya
dapat ditampilkan bahwa perwujudan alam yang indah ini karana ada dan wujudnya
Tuhan yang satu. Oleh karena itu karya sastra berbentuk cerpen, novel atau
puisi yang mengesakan Allah haruslah diperbanyak. Pendidikan keimanan ini dapat
disampaikan dalam karya sastra dengan cara yang kreatif dan halus.
b. Pendidikan akhlak
Persoalan
akhlak juga merupakan persoalan terpenting setelah penekanan aspek tauhid.
Untuk tujuan itu model paling sempurna dalam pembinaan akhlak dan pribadi tentu
saja baginda agung Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu perlu kiranya diperbanyak
karya sastra dalam bentuk novel atau prosa yang berisi tentang sejarah Nabi SAW,
sehingga pembaca dapat meneladani akhlak Nabi dengan baik.
Disamping
itu perlu adanya pendidikan akhlak dengan memberikan pengawasan dan menanamkan
prinsip muraqabah, bahwa Allah Maha Besar dan sedang memperhatikan segala amal
baik atau buruk yang manusia lakukan. Setiap amalan sekecil apapun pasti dinilai
oleh Allah. Konsep muraqabah ini yang akan ditekankan dalam karya sastra
(novel) untuk mengajarkan bahwa manusia tidak terlepas dari pandangan Allah.
Justru orang-orang yang berbuat kejahatan akan dihukum di hari akhirat
nanti.
c. Pendidikan fisikal
Dalam
memberi pendidikan fisikal anak-anak dibiasakan supaya mencintai kesehatan dan
melakukan aktivitas yang menyehatkan, serta terbiasa dengan kesederhanaan.
Pendidikan ini jika disalurkan dalam karya sastra akan mempermudah orang tua mengawasi
anak-anak terhadap pelbagai hal baru seperti mainan, teknologi dan lain-lain.
Pemahaman
terhadap dasar ini jika diterapkan dengan baik dalam karya sastra bisa
menjadikan anak-anak sadar akan pentingnya kesehatan dan dapat menjaga dirinya
dari perbuatan tercela serta termotivasi untuk melakukan perbuatan terpuji.
d. Pendidikan intelektual
Aspek
pendidikan yang paling dekat dengan dunia sastra ialah tanggungjawab pendidikan
intelektual. Pengarang memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan
intelektual lewat karya sastra. Dengan menampilkan suatu penemuan baru dan
memberikan deskripsi tentang suatu masalah, pengarang dapat membangun
pengetahuan pembaca, sehingga muncul ide-ide baru yang bisa mengembangkan intelektualitas
pembaca. Sehingga perlu kiranya novel-novel pembangun intelektualitas, yang
menyajikan narasi berdasarkan fakta-fakta di lapangan.
e. Pendidikan psikologi
Salah
satu aspek terpenting dalam dunia pendidikan adalah menanamkan dasar-dasar
psikologi. Karya sastra bisa menjadi medium untuk menanamkan pendidikan
psikologi, sehingga pembaca memiliki gambaran untuk dapat mengontrol emosi dan
menata diri dengan cara menghindari sifat penakut, sifat merendahkan diri
sendiri, sifat hasad dan sifat pemarah.
f. Pendidikan sosial
Salah
satu ajaran Islam yang sama sekali tidak boleh diabaikan adalah amar makruf
nahi mungkar. Konsep ini merupakan tugas sosial yang tidak terlepas dari siapa
pun. Dengan menampilkan cerita-cerita yang mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar, pengarang telah menanamkan
pendidikan sosial. Karena konsep amar ma’ruf nahi munkar berkaitan dengan
akhlak seseorang terhadap lingkungannya di masyarakat.
g. Pendidikan seksual
Islam
sangat menjaga pergaulan antara lelaki dan wanita. Di antara aspek yang sering
ditekankan dalam ajaran Islam ialah adab memandang muhrim dan bukan muhrim.
Aspek kedua yang harus dituangkan dalam sastra ialah aspek penjagaan aurat.
Batas-batas aurat lelaki dan perempuan harus diajari sejak awal, supaya apabila
tiba usia baligh mudah untuk melenturkan pemahaman anak. Aspek seterusnya dalam
pendidikan seksual ialah percampuran lelaki dan perempuan.
Persoalan
seksual bisa ditampilkan secara bijak dalam karya sastra dengan pertimbangan
al-Quran sendiri mengungkapkan dengan halus persoalan-persoalan seks. Al-Quran
sebagai firman Allah yang bijaksana diturunkan untuk semua orang dan semua
golongan. Hukum dan pemahaman terhadapnya berlaku bagi siapa saja. Meskipun
begitu seorang pengarang haruslah bijaksana dalam menggambarkan persoalan ini.
Pengajaran dasar-dasar hubungan seks misalnya tentulah tidak etis untuk
dituangkan dalam karya sastra secara vulgar.
Dari
ketujuh aspek pendidikan Islam dalam karya sastra yang dikemukakan oleh Faisal
Tehrani, dapat di ringkas lagi menjadi tiga kategori pendidikan Islam yaitu
pendidikan keimanan, pendidikan akhlak dan pendidikan syariah. Karena ketiga
aspek tersebut sesuai dengan jangkauan wawasan Islam yang telah disampaikan
oleh Rasulullah saw, yaitu bahwa dalam pendidikan Islam terdapat cabang-cabang,
yang dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu aqidah, syariat dan akhlak.[11]
Bertolak
dari pendapat Faisal Tehrani tersebut, maka karya sastra Islam dapat dijadikan
sebagai media dalam pendidikan Islam. Karena menurut A.A Navis sastra Islam
bertendensi untuk melukiskan kebenaran, kesempurnaan dan keindahan yang
mengandung kaedah menurut syariat, yang ditulis oleh sastrawan Islam yang saleh
dan memahami teologi Islam dan berfaedah untuk manusia.[12] Sehingga nilai-nilai yang
terkandung dalam sastra Islam didasarkan pada syariat Islam dengan al-Quran dan
hadits sebagai dasar hukumnya.
[1] Bani Sudardi, Sastra Sufistik;
Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai
, 2003), hlm. 2.
[2] Ibid, hlm. 29.
[3] Jumsari Jusuf, dkk., Sastra
Indonesia Lama Pengaruh Islam, (Jakarta:
Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahada Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,
1984), hlm. 48.
[4] Jan van Luxemburg, dkk., Pengantar
Ilmu Sastra, Terj. Dick Hartoko,
(Jakarta : Gramedia, 1986), Cet.II, hlm. 85.
[5] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam;
Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet.V, hlm. 70.
[6] Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul
al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bayi wa al-Madrasah wa al-Mu’tama’,
terj. Hery Noer Aly, (Bandung: Diponegoro, 1992), Cet. II, hlm. 404.
[7] Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang, Metodologi Pengajaran Agama, (Semarang: Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 133.
[8] Zaid Akhtar, “Karya Kreatif
Medan Penulis Dakwah”, http://www.blogger.com/post-create.g?blogID
[9] Faisal Tehrani, “Sastra
Kanak-Kanak Pendekatan Islam”, http://www.blogger.com
[10] Ibid
[11] Abu Su’ud, Islamologi Sejarah
Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003,
hlm. 141.
[12] A.A. Navis, Yang Berjalan
Sepanjang Jalan, (Jakarta: PT. Grasindo, 1999), hlm. 356-357.
No comments:
Post a Comment