NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM NOVEL RELIGIUS


Secara universal nilai-nilai pendidikan Islam dapat ditransformasikan dalam bentuk apapun, termasuk dalam sebuah karya sastra. Banyak karya sastra yang memiliki visi ketarbiyahan. Karena unsur estetika dalam karya sastra menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca. 

Di Indonesia khususnya di Jawa, dalam tradisi sastranya sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam. Karya-karya sastra tersebut mengarah pada sastra didaktis, sastra yang berpretensi pada masalah pengemban misi pendidikan, tuntunan dan ajaran. Hal itu bisa dimaklumi, karena dalam tradisi sastra klasik, sastra memang sebagai alat pendidikan. 

Dalam karya sastra yang lebih modern seperti novel, juga ditemukan kandungan nilai pendidikan Islam sebagai pokok pikirannya. Novel-novel religius ini tidak hanya karya fiktif belaka, tetapi juga diperkuat dengan dalil-dalil dari al-Qur'an maupun hadits. Sehingga cerita yang dipaparkan tidak hanya sebatas imaginer, tetapi juga memiliki misi edukatif.

Ada beberapa karakteristik yang menonjol dari novel-novel religius ini dibanding dengan karya ilmiah lainnya. Menurut Andy Wasis, seorang pengarang novel sejarah, sebuah karya sastra memiliki tutur bahasa yang indah, alur cerita yang mengalir, bentukan konflik yang tajam namun tetap realistis dan faktual berpegang pada fakta sejarah, sehingga enak dibaca,mudah dicerna dan tidak menjemukan.[1]

Konversi dari fakta sejarah menjadi bentuk novel sejarah (Islam) ini diambil untuk memikat pembaca yang kurang interest dengan buku-buku yang sifatnya ilmiah, monoton dan tidak variatif, sehingga muncul niat dalam diri pembaca untuk belajar dan mendalami ajaran Islam.

Salah satu novel religius yang mengandung nilai-nilai pendidikan Islam adalah novel “Ayat-ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy. Secara global novel ini berisi tentang manifestasi cinta yang secara lahiriah memang antara manusia dengan manusia, tapi sebenarnya bermuara pada kecintaan terhadap Sang Khaliq.  

Novel “Ayat-ayat Cinta” ini tidak hanya berbicara tentang cinta, melainkan juga berisi juga tentang ajaran keimanan, diantaranya keimanan kepada hari akhir.  Adanya keimanan terhadap hari akhir ini akan berimplikasi terhadap kontrol hidup manusia di dunia, untuk selalu berbuat baik, menjalani kehidupan dengan jalan kebenaran, memberikan motivasi untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dengan tujuan mendapatkan kebaikan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat Al-Qamar ayat 8:

Dengan patuh mereka segera datang kepada Penyeru itu. Orang-orang kafir itu berkata, “Inilah hari yang sulit itu”. (QS. Al-Qamar: 8)

Nilai pendidikan Islam dalam novel “Ayat-ayat Cinta”, dalam hal ini nilai pendidikan keimanan terlihat dari dialog tokoh Fahri. Keyakinan akan datangnya hari kiamat menjadikan Fahri lebih bersemangat menuntut ilmu, menunaikan amanat, dan menggunakan waktu luang untuk selalu beribadah kepada Allah SWT, melakukan sesuatu atas dasar keridhaan Allah SWT.

Ah, kalau tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dari hari ini dan lebih gawat dari hari ini. Hari ketika manusia digiring di padang Mahsyar dengan mata hari hanya satu jengkal di atas ubun-ubun kepala. Kalau tidak ingat, bahwa keberadaanku di kota Seribu Menara ini adalah amanat, dan amanat akan dipertanggung-jawabkan dengan pasti. Kalau tidak ingat, bahwa masa muda yang sedang aku jalani ini akan dipertanggungjawabkan kelak. Kalau tidak ingat, bahwa tidak semua orang diberi nikmat belajar di bumi para Nabi….”[2]

Pengarang mencoba memberikan interpretasi mengenai ciri-ciri keadaan hari kiamat dan hari pembalasan kelak. Dimana saat itu panas matahari akan melebihi panas di dunia karena Matahari hanya berjarak satu jengkal di atas kepala manusia. Kemudian Manusia akan dikumpulkan di padang Mahsyar, dan dimintai pertanggungjawabannya atas segala tindakan yang telah dilakukan di dunia. 

Sikap pengarang terhadap pendidikan keimanan (iman pada hari akhir) itu terbaca dalam ucapan Fahri, tokoh yang diciptakan untuk membimbing pembaca. Fahri berusaha menjelaskan tentang keadaan hari kiamat dan mengajarkan untuk selalu ingat terhadap hari akhir dan hari pembalasan kelak, dengan menjalankan perintah Allah SWT. Salah satu aplikasi keimanan ini adalah melaksanakan amanat Allah dengan sebaik-baiknya karena akan dimintakan pertanggung-jawabannya kelak di hari kiamat.[3]

Nilai-nilai pendidikan Islam juga terkandung dalam beberapa novel sejarah, yang berisi tentang riwayat Nabi Muhammad SAW yang membawa risalah Islam, salah satunya berjudul “Sesungguhnya Dialah Muhammad” karya Idrus Shahab. Al-Quran sendiri menganjurkan kita untuk mencontoh perilaku Nabi yang mulia. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah surat al-Ahzab ayat 21;

Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)

Pesan yang ingin disampaikan dalam novel ini adalah tentang kesabaran dan ketabahan hati Rasulullah SAW. Melalui dialog antara Syaikh (guru), Syaiful (murid) dan pengarang yang ikut melibatkan diri dalam cerita dan menyebut dirinya sebagai “saya”, digambarkan tentang relasi antara guru dan murid. Melalui interaksi edukatif dengan menggunakan metode tanya jawab, pengarang memberikan narasi yang melukiskan tentang relasi guru dan murid dalam pendidikan, khususnya pendidikan di pondok pesantren. 

Interaksi edukatif antara guru dan murid ini ditandai dengan pertanyaan tokoh “saya” tentang kesabaran dan ketabahan hati Rasulullah SAW kepada gurunya.

Dapatkah Tuan sedikit menjelaskan kepada saya akan maksud dari judul tersebut (Kesabaran dan Ketabahan Hati Rasulullah SAW)?” Pinta saya.  
Kemudian Syaikh menjawab: “Begini anakku, tulisan ini menceritakan sedikit tentang kesabaran dan ketabahan hati Rasulullah SAW. Di dalam perjuangannya menegakkan kalimat Allah. Sebenarnya, ya …, tak akan cukup kalimat-kalimat untuk menceritakan kesabarannya, keteguhannya, keuletannya, ketabahannya, dalam segala hal dan peristiwa wahai anakku, tak ada manusia satu pun yang dapat dijadikan bandingan dengan Nabi besar ini, salawat dan salam Allah terlimpah atasnya. Ia berjuang menegakkan kalimat Allah di tengah masyarakat yang waktu itu sebagian besar berjiwa gersang dan tandus, dengan harus menghadapi bermacam-macam kesukaran yang memerlukan ketabahan yang luar biasa…”[4]

Pengarang ingin memberikan contoh proses pendidikan Islam melalui sebuah karangan narasi kepada pembaca. Disamping ceritanya yang mengambil setting pesantren, penokohan dan plot atau alur cerita juga mengidentifikasikan adanya proses edukatif dalam lingkungan pondok pesantren, dengan indikasi adanya tanya jawab antara murid dan guru, penjelasan guru tentang suatu masalah, tugas paper bagi santri, dan diskusi-diskusi ilmiah. 




[1] Andy Wasis,  Rasul (Sebuah Novel Sejarah),  (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.iv
[2] Habiburrahman El Shirzy, Ayat-ayat Cinta, (Semarang: Asy-Syifa, 2007), hlm. 6.
[3] Kasmijan, Skripsi Manifestasi Cinta dalam Perspektif Pendidikan Akhlak (Studi Analisis terhadap Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirzy), (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2006), hlm. 75-76.
[4] Idrus Sahab, Sesungguhnya Dialah Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 52.

No comments:

Post a Comment