Pada
awal mula segala sastra adalah religius.[1] Yang dimaksud religius
disini bukan hanya agama, tetapi lebih menitikberatkan pada aspek yang di dalam
lubuk hati, getaran hati nurani, sikap
personal yang merupakan misteri bagi orang lain. Religiusitas tidak hanya
dihubungkan dengan ketaatan ritual tetapi lebih mendasar lagi dalam pribadi
manusia. Sebelum penulis membahas lebih dalam, perlu kiranya di jabarkan terlebih
dahulu mengenai definisi novel religius.
Kata
novel berasal dari bahasa Itali
novella atau dalam bahasa
Jerman novelle. Menurut Abrams seperti yang dikutip oleh
Burhan Nurgiyantoro, secara harfiah
novella berarti sebuah barang baru yang kecil, tapi lebih lanjut
diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Kemudian dalam
perkembangannya istilah novella dan
novelle mengandung pengertian
yang sama dengan istilah Indonesia
novelet yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan,
tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.[2]
Dalam Kamus Kesusastraan disebutkan bahwa
novel adalah prosa baru yang melukiskan puncak kehidupan tokoh cerita dan
ditandai dengan perubahan nasib tokoh itu.[3]
Sedangkan
kata religius berasal dari bahasa latin relego yang berarti memeriksa lagi,
menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati nurani. Atau ada juga yang
berpendapat bahwa religio berasal dari kata re-ligo yang berarti menambatkan
kembali.[4]
Religi
diartikan lebih luas dari pada agama. Kata religi menurut asal kata berarti
ikatan atau pengikatan diri. Dari sini pengertiannya lebih pada masalah
personalitas, hal yang pribadi. Oleh karena itu, ia lebih dinamis karena lebih
menonjolkan eksistensinya sebagai manusia.
Subijantoro
Atmosuwito menambahkan bahwa kata religi berarti menyerahkan diri, tunduk,
taat.[5] Dalam hal ini berserah
diri, tunduk dan taat kepada Tuhan.
Jadi
novel religius dapat dipahami sebagai sebuah karya sastra berbentuk prosa yang
didalamnya menggambarkan perasaan batin seseorang yang berhubungan dengan
Tuhan. Dan pada pembahasan selanjutnya penulis akan memfokuskan pada kajian
novel religius yang berisi tentang ajaran Islam.
Istilah
novel religius juga dapat dipahami dari ungkapan Subijanto Atmosuwito bahwa
munculnya sastrawan-sastrawan yang mengusung tema keagamaan dalam karya sastra
telah mendatangkan genre baru dalam dunia sastra, yaitu:[6]
a. Sastra religius
Dalam
sastra religius, pengarang tidak membuat kehidupan beragama sebagai latar
belakang, namun sebaliknya lebih menitik-beratkan kehidupan beragama untuk
pemecahan masalah. Agama menurut sastra religius, adalah bukan sesuatu kekuasaan,
melainkan sebagai alat pendemokrasian.
b. Sastra Falsafi
Yang
pokok dalam sastra falsafi adalah supaya pengarang mencerna masalah kehidupan
dengan filsafat. Jika pengarang telah mencerna permasalahan yang timbul secara
filosofis maka karya sastra yang dihasilkan akan berbobot.
Baik
sastra religius maupun sastra falsafi sebenarnya saling menunjang. Bahkan jika
diamati lebih lanjut, baik sastra religius maupun sastra falsafi mengarah ke
apa yang dinamakan sastra transendental. Sastra transendental membebaskan diri
dari aktualitas dan peralatan indrawi manusia. Yang dimaksud dalam sastra yang
membebaskan diri dari aktualitas dan peralatan indrawi manusia adalah: pertama,
bahwa angan tidak dibatasi ruang, waktu dan peristiwa keseharian. Kedua, ada hubungannya dengan makna, yang
abstrak, yang spiritual, dan mendalam.[7]
Berdasarkan
uraian di atas dapat diambil sebuah catatan bahwa novel religius merupakan
bagian dari sastra religius, karena
salah satu bentuk karya sastra adalah novel, dan secara subtansinya, sama-sama memiliki
muatan keagamaan.
[1] Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan
Religiusitas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 11.
[2] Burhan Nurgiyantoro, Teori
Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998, hlm. 9.
[3] Muhammad Ngafenan, Kamus
Kesusastraan, (Semarang: Dahara Prize, 1990), hlm. 113.
[4] W.J.S. Poerwadarminta dkk.,
Kamus Latin – Indonesia, (Jakarta: Kanisius, 1969), hlm. 272.
[5] Subijanto Atmosuwito, Perihal
Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1989), hlm.123.
[6] Subijanto Atmosuwito, Perihal
Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, hlm. 126-128.
[7] Ibid, hlm. 128.
No comments:
Post a Comment