HUKUM TAJDIDUN NIKAH


1.  Hukum tajdidun nikah menurut Fuqaha.

Menurut Sayyid Abdurrahman dalam kitabnya yang berjudul Bughyah al-Mustarsyidin, memberikan pemaknaan tentang hukum tajdidun nikah sebagai berikut:

Telah menikahkan sebagian wali terhadap keluarganya dengan tidak adanya kesepadanan dengan kerelaan orang-orang yang ada ditingkatannya, kemudian suami mencela istrinya dan istrinya menghendaki tajdid dari suaminya, maka harus ada kerelaan dari semuanya. Menurut pendapat yang kuat dan tidak cukup dengan kerelaan sebelumnya dan yang menyamainya yaitu qadhi (hakim) ketika tidak adanya wali, meskipun diperbaharui dengan orang yang rela pada wali yang pertama tetapi tajdid itu lebih utama dicegah dari sebagian wali-wali.[1] 

Dari keterangan di atas bisa difahami bahwa hukum dari tajdidun nikah itu boleh dilaksanakan, tetapi untuk lebih baiknya tidak melaksanakan tajdidun nikah. Pelaksanaan tajdidun nikah diperbolehkan dengan syarat harus adanya kerelaan antara si suami dan istri.

Menurut Ibnu Munir, beliau memberikan suatu hukum dari tajdidun nikah adalah boleh, karena mengulangi lafal akad nikah di dalam nikah yang kedua tidak merusak pada akad yang pertama. Kemudian dikuatkan oleh argumen Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, menyatakan bahwa menurut jumhur ulama tajdidun nikah tidak merusak akad yang pertama.[2]

Menurut A. Masduki Machfudh adalah boleh (jawaz) dan tidak merusak pada akad yang telah terjadi, karena memperbaharui akad itu hanya sekedar keindahan (al-tajammul) atau berhati-hati (al-ihtiyath).[3]

Hal ini juga diungkapkan oleh A. Qusyairi Ismail, bahwa hukum asal memperbaharui akad nikah itu boleh karena bertujuan hati-hati (ihtiyath), agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan atau bertujuan tajammul (upaya menaikkan prestise/menjaga gengsi). Hukum ini bisa berubah menjadi wajib bila ada peraturan pemerintah yang mengharuskan akad nikahnya tercatat di kantor pencatatan sipil.[4]

Menurut Abdul Aziz, bahwa hukum dari tajdidun nikah adalah boleh dan tidak mengurangi bilangan-bilangannya talak.[5] Hal ini sejalan dengan imam Shihab yang memberikan suatu pernyataan bahwa berhentinya seorang suami pada gambaran akad yang kedua, umpamanya tidak adanya pengetahuan dengan berhentinya akad yang pertama dan tidak kinayah (sindiran) kepadanya itu tampak jelas, karena dalam menyembunyikan tajdid menuntut diri seorang suami untuk memperbaiki ataupun berhati-hati dalam berangan-angan.[6]

Dari beberapa argumen tentang hukum tajdidun nikah menurut para fuqaha di atas bisa ditarik suatu kesimpulan, bahwa hukum dari tajdidun nikah adalah boleh dan bisa menjadi wajib ketika ada peraturan pemerintah yang mengharuskan akad nikah dicatatkan di kantor pencatatan sipil.     
     
2.  Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 merupakan pokok peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan bagi yang beragama Islam. dalam menyikapi adanya tajdidun nikah, maka Undang-Undang No.1 Tahun 1974 memberikan sesuatu aturan yang terdapat dalam pasal 26 ayat 2 yang berbunyi; hak untuk membatalkan yang dilakukan oleh suami atau istri berdasarkan alasan pada ayat 1 pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.[7]

Dalam pasal 26 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang telah disebutkan di atas memberikan suatu pemahaman bahwa pernikahan yang harus diperbaharui supaya sah, yaitu pernikahan yang dilangsugkan oleh laki-laki dan perempuan kemudian mereka setelah hidup bersama dengan ketentuan sebagai berikut; yaitu pernikahannya bisa dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pejabat Pencatat Nikah yang tidak berwenang.

Dari dua perspektif di atas, yaitu pendapat fuqaha dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan hukum pada tajdidun nikah adalah mubah dan wajib (harus).




[1] Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Hasan bin Umar, Bughyah Al-Mustarsyidin, Indonesia: Darul Khaya’, t.th, hlm. 209.
[2] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari (Syarah Shahih Bukhari),  juz 13, Darul Fikri, t,th., hlm. 199.
[3] Masduki Machfudh, Bahstul Masa’il Diniyah, Malang: PPSNH, 2000.
[4] A. Qusyairi Ismail, Tajdidun Nikah, Dalam Informatika, 19 Maret 2007.
[5] Abdul  Aziz, dkk.,  Samratus Raudhatus Shaahid, Kediri: Pon-pes Lirboyo, 1990, hlm. 145.
[6] Ibid, hlm. 145.
[7] Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Op. cit.

1 comment: