Nikah
tanpa saksi masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih. Perbedaan
tersebut terletak pada sudut pandang masing-masing ulama yang memperselisihkan
apakah saksi sebagai syarat sah akad nikah atau syarat penyempurnaan saja
ketika bersetubuh (dukhul). Selain itu dasar hukum yang digunakan
masing-masing ulama juga berbeda-beda.
Jumhur
ulama berpendapat saksi sebagai syarat sah akad nikah, artinya akad nikah harus
dihadiri oleh para saksi, apabila tidak, maka pernikahannya tidak sah. Inilah
pendapat Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Menurut
Ulama Malikiyyah, saksi merupakan syarat sempurnanya pernikahan, bukan syarat
sah pernikahan, maka akad nikah menurut mereka sah tanpa saksi, tetapi tidak
sempurna kecuali dengan saksi. Mereka mengatakan bahwa saksi hukumnya sunnah
ketika akad nikah karena untuk meredam perselisihan. Pendapat ini juga dipilih
oleh Abdullah ibn Umar, Urwah ibn Zubair, Abdullah ibn Zubair, Hasan ibn Ali
dan dari kelompok Ahli hadits (muhadditsin) seperti Abdurrahman ibn Mahdi dan
Yazid bin Harun.[1]
Mereka beralasan bahwa jual beli yang di
dalamnya disebutkan soal mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli
sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an bukan merupakan bagian dari syarat-syarat
yang wajib dipenuhi. Allah tidak menyebutkan di dalam Al-Qur’an tentang adanya
syarat mempersaksikan dalam suatu pernikahan. Karena itu, tentu lebih baik jika
masalah mempersaksikan tidak termasuk salah satu syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan
dan disiarkan saja guna memperjelas keturunan.
Mempersaksikan
ini boleh dilakukan setelah ijab kabul untuk menghindari perselisihan antara
kedua mempelai. Jika waktu ijab kabul tidak dihadiri oleh para saksi tetapi
sebelum mereka bercampur kemudian mempersaksikan maka pernikahannya tidak
batal, tetapi kalau sudah bercampur belum dipersaksikan maka nikahnya batal.[2]
Kalangan
ulama Syi’ah seperti Abdurrahman bin Mahdi, Zaid bin Harun dan Ibnu Zubair
berpendapat bahwa saksi bukan merupakan syarat sah suatu pernikahan. Begitu
juga Abdullah bin Idris, Ubaidullah bin Hasan dan Abu Tsaur berpendapat sama.
Karena menurut mereka hadist-hadist tentang saksi itu tidak ada yang kuat atau
shahih hal serupa juga dikemukakan oleh Madzhab Ja’fariyah dan Dhahiriyah.
Ada
juga pendapat ulama yang berpendapat nikah tanpa saksi boleh kemudian
diumumkan. Pendapat ini dianut oleh Al-Zuhri, Imam Malik dan penduduk Madinah.
Perselisihan
mereka terletak pada apakah memberitahukan akad atau menyaksikan akad nikah
merupakan syarat sah akad nikah atau tidak. Mengenai masalah ini terdapat dua
kelompok yang berselisih pendapat.
Pertama,
memandang bahwa menyaksikan (saksi) merupakan syarat sah akad nikah. Demikian
menurut Jumhur Sahabat dan Jumhur ulama.
Kedua,
memandang bahwa saksi dalam akad nikah tidak menjadi syarat sah akad nikah.
Demikian menurut Abu Tsaur, Imam Ahmad menurut satu riwayat, Adzzahiriyah,
Imamiyah, Ibnu Abi Laila, Usman Al-Batty, (dari kalangan Hanafi); dari kalangan
Sahabat: Ibnu Umar, Hasan ibn Ali dan Ibnu Zubair; dan dari kalangan Tabi’in:
Salim dan Zuhri.
Dalil-dalil
yang dipegang oleh golongan kedua tersebut adalah firman Allah.
“Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa:3)[3]
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian.” (QS An Nur:32)[4]
Dari
beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa saksi dalam akad nikah
masih diperselisihkan. Ada yang berpendapat saksi itu wajib dalam akad nikah,
ada juga yang berpendapat saksi itu tidak wajib dalam akad nikah.
nice info bro, bagus artikelnya
ReplyDeleteSouvenir Wedding Kediri