Pernikahan
yang dilakukan secara sembunyi (tanpa saksi) akan mengundang prasangka buruk.
Di antaranya adalah timbul fitnah dan tuhmah. Dalam bahasa sehari-hari timbul
bermacam-macam gosip yang merugikan pasangan pengantin (terutama) dan semua
keluarganya.
Saksi
adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram. Perbuatan halal
biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, karena tidak ada
keraguan, sedangkan perbuatan haram biasnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya
memang demikian sebab suatu pernikahan yang dilandasi oleh cinta kasih dan
disetujui oleh kedua belah pihak (calon besan), tidak perlu disembunyikan. Bila
tidak ada saksi pada saat akad nikah maka
kesan yang ada nikah itu dalam keadaan terpaksa atau ada sebab- sebab
lain yang dipandang oleh orang lain negatif. Karena itu disunahkan mengadakan
resepsi perkawinan (walimatu’ ursy).[1]
Akad
nikah merupakan tali hubungan kekeluargaan yang semestinya menjadi perhatian
sepenuhnya dari Agama. Untuk menjaga kesucian akad tersebut wajarlah
disyaratkan adanya saksi ketika berlangsung akad nikah itu.
Dengan
demikian terhindarlah kemungkinan adanya tuduhan-tuduhan berlaku seorang
terhadap orang yang sudah menjadi suami istri, atau adanya keingkaran tentang
terjadinya suatu akad nikah yang mana akan merugikan terhadap diri anak yang dilahirkan
dari akad nikah tersebut atau menyulitkan dalam soal kewarisan.[2]
Pada
bagian keempat dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya mengenai saksi dapat kita
lihat pada pasal-pasal berikut.
Pasal
24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan
rukun pelaksanaan akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan
oleh dua orang saksi.
Pasal
25
Yang
dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim,
adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu.
Pasal
26
Saksi
harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani
akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.[3]
No comments:
Post a Comment