Agama
Islam telah mengajarkan kebersihan dengan bersandarkan kepada contoh dari Nabi
Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Malik al-Hadis
bin Assim al-Asy’ari sebagai berikut:
عن ابن مالك الأشعري
قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الطهر سطر الإيمان
“Dari Ibnu
Malik al-Asy’ari berkata: Rasulullah saw. bersabda kebersihan adalah sebagian
dari iman.” (HR. Muslim)[1]
Dalam
al-Qur'an juga telah disebutkan,
إن الله يحب
التوّابين و يحب المتطهّرين
"Sesungguhnya
Allah Swt. menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang yang
mensucikan diri” (QS. al-Baqarah: 222)[2]
Sesungguhnya
bukan hanya badan saja yang perlu dibersihkan akan tetapi pakaian, makanan dan
tempat juga harus dijaga kebersihannya dari kotoran dan najis. Oleh karena itu
khitan pada hakekatnya mengandung arti kesucian serta kebersihan dari
kotoran-kotoran dan penyakit yang mungkin melekat pada kemaluan yang belum
dikhitan. Khitan merupakan salah satu daripada pendidikan kesehatan (healt
of education) yang sangat penting artinya dalam ajaran Islam.
Dalam
Majmu’ Fatawa dijelaskan bahwa maksud dilaksanakannya khitan laki-laki
adalah untuk mensucikannya dari hal-hal najis didalam qulfah. Sedangkan tujuan
dari khitan wanita adalah untuk mengontrol dorongan sahwatnya. Sebab apabila
wanita masih mempunyai clitoris, maka dorongan nafsu akan memuncak. Maka bisa
dikatakan wanita yang masih memiliki clitoris lebih banyak melirik kaum
laki-laki. Maka sering kali terjadi perbuatan mesum di kalangan bangsa Tartar
dan Afrika.[3]
Di
Indonesia khitan perempuan oleh masyarakat etnis Banten diyakini bahwa khitan
perempuan dilakukan dengan beberapa tujuan diantaranya adalah agar anak
perempuan yang dikhitan kelak akan menjadi anak yang plinger (bercahaya),
cantik, menarik dan kelak akan menjadi istri yang sempurna. Dan juga untuk
menjaga perilaku anak perempuan agar tidak menjadi perempuan yang genit dan
binal.[4]
Lain
halnya dengan masyarakat Banjar mereka berkeyakinan bahwa khitan baik laki-laki
maupun perempuan adalah merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan sebab
apabila tidak maka dianggap belum sempurna ke-Islamannya. Itulah sebabnya
seseorang yang masuk Islam harus disunat terlebih dahulu, apabila dia belum
disunat.[5]
Dalam
ilmu kedokteran atau ilmu medis khitan memiliki beberapa manfaat. Menurut dr
Shabri al-Qobani.[6]
Khitan adalah suatu aturan medis yang besar karena dapat menjaga dari berbagai
macam penyakit, menurut beliau khitan dipandang dari segi medis mengandung
beberapa manfaat diantaranya :
1. Dengan memotong qulfah seorang bisa
terlepas dari pengeluaran minyak dan lemak yang bisa memancing rasa mual dan
mencegah pembusukan.
2. Dengan memotong qulfah seseorang
bisa terlepas dari infeksi pada penis saat terjadi ereksi.
3. Khitan dapat mengurangi terjadinya
penyakit kanker.
4. Dengan khitan memungkinkan kita
untuk mengurangi atau mencegah terjadinya ompol yang biasa terjadi pada
kebanyakan anak kecil (balita).
5. Secara tidak langsung khitan dapat
memperkuat hubungan seksual.
Dari
beberapa penelitian dapat diketahui orang yang dapat berhubungan seksual
relatif lebih lama dari pada orang tidak berkhitan. Sehingga orang yang
berkhitan lebih bisa merasakan kenikmatan dan memberikan kepuasan pada
istrinya.
Dari
beberapa sumber yang kami peroleh ada beberapa manfaat yang terkandung di dalam
khitan, menurut Majdi as-Sayid Ibrahim.[7] Khitan juga mengandung
manfaat diantaranya adalah bahwa dengan memotong quluf (kulit yang menutup
kepala penis) akan mempermudah dalam membersihkan kepala penis setelah buang
air kecil. Karena apabila quluf tidak dipotong maka akan tersisa air kencing di
dalam quluf tersebut, sehingga akan menimbulkan bakteri yang akan menyebabkan
penyakit kelamin.
Sementara
Dr. Ali Akbar berpendapat bahwa wanita yang tidak dikhitan dapat menimbulkan
penyakit bagi suaminya atau pasangannya karena klentitatau klitorisnya
mengeluarkan smegma yang berbau busuk dan dapat merangsan timbulnya kanker pada
dzakar laki-laki dan dan kanker pada leher rahim wanita, sebab di dalamnya
hidup hama atau virus dan bakteri yang menyebabkan kanker tersebut.[8]
Menurut
Dr. Ahmad Syauqi al-Fanjari mengatakan bahwa dengan berkhitan akan mencegah
kotoran pada dzakar, karena kotoran akan tersimpan dalam qulup yang akan
menjadi pusat berkembangbiaknya bakteri dan akan menimbulkan bau yang tidak
sedap, disamping itu khitan bagi kaum laki-laki akan memperpanjang permainan
senggama dengan pasangannya. Sebab daerah yang paling peka pada dzakar terletak
pada kepala kepaluan (Khasyafah) yang merupakan pusat sel-sel dan syaraf
seks, sehingga dzakar yang sudah dikhitan
sangat peka terhadap segala gesekan, sedangkan ujung dzakar yang masih
tertutup akan terhalang dari sentuhan.[9]
Menurut
dr. Fehlengri seperti yang dikutip oleh Majdi as-Syayid Ibrahim menyebutkan
bahwas dengan berkhitan akan memperlama masa terjadinya kontak seksual, sebab
ujung penis orang yang dikhitan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dari pada orang yang tidak dikhitan,
agar dia bisa mencapai puncak emosinya.[10]
Dari sumber lain yang kami temukan khitan bagi
wanita memiliki pengaruh yang cukup Positif dalam hubungan seksual yaitu karena
klitoris sudah dibuka maka menjadi bersih, sehingga menjadi lebih sensitif dan
akan mudah mencapai orgasme dalam berhubungan intim dengan pasangannya, disamping
itu khitan bagi wanita juga bisa mengurangi resiko terjadinya infeksi pada
saluran kencing dan keputihan.[11]
Dari
uraian di atas kita dapat mengambil berapa hikmah yang terkandung dari
pelaksanaan khitan, diantaranya adalah:
1. Khitan merupakan fitrah, syi’ar
Islam dan merupakan Syari’at.
2. Khitan merupakan salah satu masalah
yang membawa kesempurnaan agama yang disyari’atkan Allah swt. Melalui Nabi Ibrahim
as. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat an-Nahl ayat 12.
3. Khitan merupakan pernyataan
ubudiyyah terhadap Allah Swt. dan ketaatan melaksanakan perintah.
4. Khitan itu membawa kebersihan serta
keindahan dan meluruskan sahwat.
5. Khitan merupakan cara yang sehat
dalam memelihara seseorang dari penyakit
[1] Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Shaheh
Muslim, Juz I, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 203
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Tejemahnya, Jakarta: PT. Bumi Restu,
1978, hlm. 54
[3] Ibnu Taimiyah, Majmu’
al-Fatawa, Jilid 21, Bairut: Darul Fikr, hlm.114
[4] Ristiani Musyarofah, Khitan
Perempuan Antara Tradisi dan Ajaran Agama, Yogyakarta : Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan UGM kerjasama dengan Fourd Foundation, 2003, hlm.
38.
[5] Daut Al Fany, Deskripsi dan
Analisa Kebudayaan Masyarakat Banjar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
1997, Cet. I, hlm. 252
[6] Ibrahim Majdi as-Sayid, Lima
Puluh Wasiat Rosullullah Bagi Wanita (Terj.
Katur Suhardi), Jakarta : Pustaka al-Kautsar 1995 , hlm. 116-117
[7] Ibrahim Majdi as Sayid, Lima
Puluh Wasiat Rasullullah Bagi Wanita, (Terj. Katur Suhardi), Jakarta: Pustaka
Al Kautsar, 1995, hlm. 115
[8] Muhammad Ali Hasan, Masail
Fiqhiyah Al Hadisah : Masalah –masalah
kontemporer Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet III. hlm.
183.
[9] Ahmad Syauqi al-Fanjari, Nilai
Kesehatan Dalam Syari’at Islam, Jakarta: Bumi Aksara 1996,hlm.174.
[10] Ibrahim Majdi as-Sayid, op,
cit , hlm. 118
[11] Fatimah Nur Hayani Lubis,
Majalah Wanita Mingguan Femina, “Para
Ibu Bicara,” XXXI, No. 46, 13- 19 November, 2003, hlm 60-61.
No comments:
Post a Comment