1. Tinjauan fiqih terhadap cerai di
luar Pengadilan Agama
Untuk
mengetahui legalitas dampak (implikasi) yang disebabkan oleh adanya praktek
perceraian di sebagian masyarakat, maka perlu adanya penelaahan terlebih dahulu
mengenai legalitas sebab yang menyebabkan akibat tersebut. Maksud dari
legalitas sebab tersebut tidak lain adalah legalitas proses perceraian yang
nantinya berdampak pada legalitas implikasi dari perceraian tersebut. Ruang
lingkup tinjauan hukum Islam yang digunakan sebagai “peninjau” praktek cerai di
sebagian masyarakat meliputi tinjauan dalil Qur’an maupun Hadis serta tinjauan
pendapat ulama terkait dengan praktek cerai yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat.
Cerai
atau talak untuk mengakhiri perkawinan merupakan suatu perbuatan yang
diperbolehkan oleh Allah. Meski diperbolehkan, di sisi lain Allah talak atau
cerai merupakan sesuatu yang dibenci oleh Allah. Terkait dengan sisi legalitas
dan kebencian Allah terhadap praktek cerai dapat terlihat dalam hadis berikut
ini:
عن
ابن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أبغض الحلال الى
الله الطلاق (رواه ابو داود و ابن ماجه)
'Dari Ibnu Umar
r.a berkata telah bersabda Rasullulah Saw, perkara halal yang sangat dibenci
Allah adalah talaq (H.R. Imam Abu Daud dan Ibnu Majah).[1]
Dari
hadis di atas dapat diketahui bahwa meskipun diperbolehkan, Islam tidak
menghalalkan cerai yang dilakukan secara sembarangan tanpa adanya landasan dari
ketentuan hukum Islam. Salah satunya adalah perlu adanya kehadiran hakam yang
menjadi pihak untuk mengusahakan perdamaian di antara suami-isteri yang
bertikai. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam salah satu firman Allah surat
an-Nisa ayat 35 berikut ini:
و
إن خفتم شقاقا بينهما فابعثوا حكما من أهله و حكما من أهلها إن يريدا أصلاحا يوفق
الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا
"Dan
jika kamu mengkhawatirkan ada pengkengketaan antara kedunya, maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika dari kedua hakam bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu, sesungguhnya
Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Q.S. An- Nisa : 35)[2]
Penjelasan
mengenai hakam dalam sebuah pertikaian yang dialami oleh suami-isteri
sebagaimana tersebut dalam ayat di atas telah menimbulkan dua pendapat di
kalangan para ulama. Kedua perbedaan pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pendapat yang menyebutkan bahwa hakam
adalah dari keluarga dan hanya bertugas mendamaikan dan tidak memiliki hak
untuk menceraikan.
Hal
didukung oleh pendapat imam Abu Hanifah, sebagian pengikut Imam Hambali, dan
qoul qadim dari Imam Syafi’i, yang menyandarkan tugas hakam dari
pengertian “hakam” yang berarti wakil. Sama halnya dengan wakil, maka hakam
tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak isteri sebelum mendapat persetujuan dari
pihak suami, begitu pula hakam tidak boleh mengadakan khuluk sebelum mendapat
persetujuan dari isteri.
b. Pendapat yang menyebutkan bahwa hakam
disandarkan pada hakim sehingga dapat memutuskan perkara tersebut dan dapat
juga berasal dari luar keluarga suami-isteri yang bertikai.
Pendapat
ini di antaranya diungkapkan oleh Imam Malik, sebagian lain pengikut Imam
Hambali dan qoul jadid pengikut Imam Syafi’i yang menyandakan tugas hakam
pada makna “hakam” sebagai hakim. Dari penyandaran makna tersebut maka hakam
boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat keduanya tentang hubungan
suami-isteri yang sedang berselisih itu, apakah ia akan memberi keputusan
perceraian atau ia akan memerintahkan agar suami isteri itu berdamai kembali.
Menurut
pendapat kedua bahwa yang menyangkut hakam itu adalah hakim atau pemerintah,
karena ayat di atas diajukan kepada seluruh muslimin. Dalam hal perselisihan
suami-isteri, urusan mereka diselesaikan pemerintah mereka atau oleh hakim,
yang telah diberi wewenang untuk mengadili perkara yang disampaikan.[3]
Sekilas,
praktek cerai yang dilakukan oleh sebagian masyarakat tidak melibatkan hakam
yang sesuai dengan prosedur dalam firman di atas. Hal ini dikuatkan dengan
posisi hakam yang disematkan pada diri seorang konsultan yang bukan
berasal dari keluarga suami maupun isteri.
Selain permasalahan tersebut, jumlah
hakam juga tidak sesuai dengan ketentuan dalam firman di atas, di mana
jika masing-masing pihak dari suami isteri menunjuk salah satu wakil dari
keluarganya sebagai hakam, maka minimal jumlah hakam adalah dua
orang, sedangkan dalam prakteknya jumlah hakam dalam proses perceraian
suami-isteri di sebagian hanya satu orang.
Menurut
penulis, praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilaksanakan di sebagian masyarakat cenderung
sama dengan pendapat pertama dari para ulama mazhab, yakni menyandarkan tugas hakam
pada pemaknaan hakam sebagai wakil. Indikator tersebut dapat dilihat
dari tugas dan wewenang seorang konsultan dalam proses perceraian.
Terkait
dengan jumlah hakam, jika dikaji dalam lingkup pendapat kedua dari
pendapat para ulama mazhab di atas, keberadaan jumlah hakam yang hanya
satu orang tidak menjadi masalah. Hal ini seperti dijelaskan di atas yang
menyebutkan bahwasanya hakam dapat berasal dari keluarga suami-isteri
maupun dari pihak lain yang disepakati oleh suami-isteri tersebut. Sedangkan
mengenai kebolehan penerapan mazhab tersebut dalam proses perceraian di sebagian
dapat disandarkan pada legalitas ijtihad dalam hukum Islam.
Sedangkan
mengenai tempat pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan Agama, dalam sumber dasar perceraian Q.S.
an-Nisa ayat 35 tidak disebutkan secara detail. Hal ini secara tidak langsung
mengindikasikan bahwa permasalahan tempat tidak begitu penting dan yang paling
penting adalah proses dari perceraian tersebut.
Apabila disandarkan pada dalil
dasar tersebut, maka proses perceraian yang dilaksanakan di sebagian masyarakat
memiliki kesesuaian dengan substansi dalil tersebut. Namun jika dikaitkan
dengan keberadaan lembaga yang telah disediakan oleh pemerintah, maka praktek
tersebut kurang relevan karena telah adanya pengadilan yang disediakan oleh
pemerintah sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan
dengan proses perceraian suami-isteri.
Menurut
hukum Islam, suatu hukum dapat dilaksanakan dengan berdasarkan tata urut
keabsahan sumber hukum Islam. Dalam hukum Islam sendiri, tata urut keabsahan
sumber hukum Islam bersumber pada al-Qur’an, Hadis, dan Ijma-Qiyas.
Penjelasan
mengenai tata urut sumber hukum tersebut adalah apabila suatu hukum yang berhubungan
dengan perkembangan kehidupan umat manusia tidak diketemukan atau kurang jelas
mengenai penjelasannya dalam al-Qur’an, maka diperbolehkan menggunakan sumber
hukum Hadis yang berkenaan dengan hukum tersebut. Jika di dalam Hadis juga
tidak ditemukan hukum yang jelas maupun kurang jelas dalam menjelaskannya, maka
umat Islam diperbolehkan membangun hukum tentang sesuatu hal tersebut melalui metode
ijtihad dalam bentuk ijma’ maupun qiyas.[4]
Dengan
demikian, maka praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat memiliki
kesesuaian dengan fiqih Islam sehingga dapat dilegalkan dalam konteks fiqih
Islam. Konsekuensi dari adanya status legal dalam konteks fiqih Islam –
sebagaimana dijelaskan di atas – adalah adanya status legal yang melekat pada
perbuatan maupun hasil perbuatan.
2. Tinjauan Kompilasi Hukum Islam
terhadap cerai di luar Pengadilan Agama
Apabila
mengacu pada ketentuan yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
mengenai perceraian, maka dalam praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat terdapat perbedaan dengan ketentuan dalam KHI. Perbedaan tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Masalah proses perdamaian dalam
proses perceraian
Proses
perdamaian merupakan suatu anjuran yang sangat penting dalam menangani masalah
atau perkara suami-isteri yang akan bercerai. Jika melihat praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, sekilas sudah ada kesesuaian dengan ketentuan
upaya pendamaian yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam.
Kesesuaian
tersebut adalah adanya upaya pendamaian yang dilakukan seorang konsultan sebagai penengah. Namun
jika dikaji dalam lingkup lama waktu yang digunakan dalam upaya pendamaian tersebut,
maka akan ditemukan kekurang-sesuaian tersebut. Mengenai ketentuan pendamaian
kedua belah pihak (suami-isteri) diatur dalam Pasal 142 sebagai berikut:
(1) Dalam pemeriksaan gugatan
perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak
(2)
Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada
setiap sidang pemeriksaan.
Pasal
di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwa proses perceraian tidak langsung
diputuskan dalam waktu yang singkat. Hal ini ditujukan untuk memberikan peluang
damai bagi kedua belah pihak. Hal inilah yang kurang dipenuhi pada proses
perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan di sebagian masyarakat karena proses perceraian hanya dilaksanakan
dalam satu kali pertemuan yang langsung diputuskan cerai. Dari proses
“perceraian kilat” tersebut otomatis tidak ada waktu yang panjang untuk mendamaikan
kedua belah pihak.
Selain
karena kurangnya waktu untuk mendamaikan kedua belah pihak, perceraian yang
diproses dalam waktu singkat juga berpeluang kurangnya eksplorasi terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh kedua belah pihak. Padahal eksplorasi terhadap
akar masalah yang terjadi pada kedua belah pihak sangat diperlukan sebagai
bahan pertimbangan seorang konsultan sebagai penengah dalam menentukan langkah yang terbaik bagi
kedua belah pihak terkait dengan perkawinan mereka. Hal inilah yang menurut
penulis menjadi penyebab tidak adanya upaya pendamaian yang maksimal pada
praktek perceraian yang dilakukan oleh sebagian masyarakat.
b. Tempat Pelaksanaan Perceraian
Praktek
perceraian Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dilaksanakan di luar
Pengadilan Agama. Hal ini jelas sekali tidak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 115
sebagai berikut:
Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.[5]
Pasal
di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwasanya tidak ada tempat lain yang
dapat digunakan untuk memproses perceraian selain Pengadilan Agama. Hal
tersebut ditegaskan dengan kata “hanya” yang menjelaskan bahwasanya tidak ada
pilihan lain atau kompensasi terkait dengan tempat pemrosesan perkara
perceraian. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwasanya tempat pelaksanaan perceraian
yang dilakukan oleh sebagian masyarakat tidak memenuhi syarat tempat sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 115 KHI di atas.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat diketahui bahwasanya praktek perceraian yang
dilakukan oleh sebagian masyarakat tidak sesuai dengan ketentuan dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 115 yakni bahwa perceraian yang dianggap sah dalam
KHI adalah perceraian yang dilaksanakan di depan Pengadilan Agama sedangkan
percaraian yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dilaksanakan di luar
Pengadilan Agama.
Ketidak-sesuaian
tersebut dapat melahirkan hukum yang tidak sah yang mengena pada perbuatan hukum
yang melanggar ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, praktek perceraian yang
dilakukan oleh oleh sebagian masyarakat yang dilakukan di luar Pengadilan Agama
dapat dinyatakan tidak sah menurut perundang-undangan yang berlaku karena tidak
berdasar dan tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KHI.
Adanya
status tidak sah (ilegal) tersebut mengindikasikan bahwasanya perkawinan tersebut
yang proses cerainya dilakukan di luar Pengadilan Agama masih sah. Adanya keabsahan terhadap
perkawinan terdahulu yang dicerai di luar Pengadilan Agama dalam konteks KHI
secara tidak langsung mengindikasikan adanya larangan untuk melakukan perkawinan
yang baru dengan pasangan yang berbeda.
Bagi
pihak suami, peluang untuk melaksanakan perkawinan yang baru karena masih
adanya status sah pada perkawinan terdahulu mereka terbuka karena adanya
ketentuan tentang kebolehan poligami. Namun tentu saja perkawinan yang baru
tersebut (poligami) harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam KHI, baik dalam syarat maupun prosesnya.
Mengenai
syarat yang diperbolehkan untuk berpoligami meliputi syarat jumlah, syarat
kemampuan adil dan ekonomi pihak suami, syarat ijin dari isteri, serta syarat
isteri yang dapat menyebabkan Pengadilan Agama membolehkan poligami yang dijelaskan
dalam Pasal 55 – Pasal 58.[6]
Apabila
proses poligami dilakukan tanpa didasarkan pada ketentuan di atas, maka
poligami tersebut tidak dapat disebut sah. Hal inilah yang menurut penulis
dapat menjadi dasar untuk menentukan status perkawinan baru yang dilakukan oleh
pihak suami pasca perceraian ilegal menurut KHI.
Menurut
penulis, status perkawinan baru yang dilakukan oleh pihak suami pasca
perceraian ilegal dapat dinyatakan tidak sah (ilegal) menurut KHI karena tidak
terpenuhinya syarat dan prosedur poligami yang telah ditentukan dalam KHI.
Selain itu, melihat kondisi hubungan antara pihak suami dengan pihak isteri yang
lama, perkawinan baru yang dilakukan pihak suami pasca perceraian ilegal tidak
dapat disebut poligami karena pihak suami telah memutuskan hubungan – baik
lahir maupun batin – dengan isteri yang lama (yang diceraikan secara ilegal
menurut KHI).
Status
tidak sah bagi perkawinan baru yang dilakukan pasca perceraian ilegal juga
berlaku bagi pihak isteri yang melakukan perkawinan baru pasca perceraian secara
ilegal menurut KHI. Status tidak sah tersebut tidak lain karena pihak isteri
secara tidak langsung telah melangsungkan model perkawinan poliandri (satu
isteri dengan suami lebih dari satu orang) karena masih adanya ikatan
perkawinan yang sah dengan suaminya terdahulu dalam konteks KHI. Poliandri sendiri
merupakan bentuk perkawinan yang dilarang dalam ajaran Islam.[7]
Dengan
demikian, perkawinan baru yang dilakukan setelah proses perceraian yang ilegal
menurut KHI memiliki status tidak sah dalam konteks KHI. Oleh sebab itu, dari
adanya status tidak sahnya perkawinan baru pasca perceraian ilegal tersebut,
status anak hasil perkawinan yang baru juga akan terkena dampaknya, yakni
menjadi anak yang tidak sah menurut KHI. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal
99 yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat
dari perkawinan yang sah. Sehingga karena perkawinan baru pasca perceraian yang
ilegal adalah tidak sah menurut KHI, maka status anak yang dihasilkannya juga
menjadi tidak sah menurut KHI.
3. Tinjauan Hukum Islam terhadap
Implikasi Praktek Perceraian di Luar Pengadilan Agama
Dasar
hukum yang paling mendasar yang dapat digunakan untuk “menilai” penggunaan
hukum yang dilakukan oleh sebagian masyarakat adalah surat an-Nisa ayat 59:
يا
أيها الذين آمنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولي الأمر منكم فإن تنازعتم في
شيئ فردّوه الى الله و الرسول إن كنتم تؤمنون بالله و اليوم الآخر ذلك خير و أحسن
تأويلا
Hai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul(Nya) dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam
firman tersebut sangat jelas bahwa ada tiga tingkatan ketaatan hukum yang harus
ditaati oleh umat Islam, yakni:
1. Ketaatan kepada Allah.
2. Ketaatan kepada rasul-rasul Allah.
3. Ketaatan kepada ulil amri
(pemerintahan).
Berdasar
pada penjelasan tersebut, umat Islam harus menaati ulil amri sebagai wujud dari
ketaatan kepada Allah. Maksud dari ulil amri adalah suatu pemerintahan
yang telah dipilih dan diberikan amanat oleh umat manusia.
Salah
satu bentuk ketaatan kepada ulil amri adalah dengan mematuhi dan menjalankan
produk hukum yang ditetapkan oleh ulil amri selama tidak bertentangan
dengan ajaran Islam dan membawa kemaslahatan bagi umat manusia.
Implikasi
dari firman tersebut pada kasus yang menjadi obyek masalah pada makalah ini
adalah pelaksanaan dasar hukum perceraian yang menjadi dasar perceraian di
Indonesia di kalangan umat Islam. Jika menelaah proses terbentuknya hukum acuan
perceraian yang dilakukan oleh para ulama Indonesia (MUI), maka hasil hukum
tersebut dapat disebut sebagai hasil ijtihad. Ijtihad sendiri dalam konteks
hukum Islam dapat menjadi bahan sumber hukum setelah al-Qur’an dan al-Hadis.[8] Jadi secara tidak langsung
firman di atas juga memiliki indikasi tentang tata urut sumber hukum yang dapat
digunakan oleh umat Islam.
Pada
praktek cerai di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dasar
hukum pelaksanaan cerai di luar Pengadilan Agama yang digunakan oleh sebagian masyarakat
adalah dasar perceraian yang dijelaskan dalam hukum Islam, yakni dapat
dilakukan di depan orang yang memiliki kompetensi di bidang hukum perkawinan
Islam.
Menurut
penulis, dasar hukum al-Qur’an memang menjadi dasar dari segala hukum yang
berkaitan dengan perbuatan manusia (umat Islam), termasuk dalam hal proses
perceraian. Namun jika merujuk pada kedudukan hukum perceraian yang ada di Indonesia
dan didasarkan pada firman Q.S. an-Nisa
ayat 59 di atas, maka menurut penulis hukum yang telah terbentuk dalam suatu
negara –selama dalam pembentukan dan pembangunan hukumnya tidak menyalahi tata
aturan dalam Islam– dapat dijadikan sebagai landasan dalam perbuatan hukum umat
manusia. Dengan demikian, proses perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat
dalam konteks hukum Islam dapat dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum
Islam karena adanya unsur pertentangan dengan nash al-Qur’an yang lainnya.
Selain
karena adanya pertentangan dengan nash al-Qur’an yang lain, kekurang-sesuaian
praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dengan hukum Islam
karena lebih cenderung menimbulkan madlarat daripada menghasilkan manfaat.
Menurut penulis, unsur madlarat yang terkandung dalam praktek perceraian di
luar Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
a. Tidak jelasnya status suami-isteri
Adanya
perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat berdampak
pada tidak adanya status yang jelas bagi pasangan yang bercerai. Maksudnya
adalah bahwa tidak adanya surat cerai yang sah dari pemerintah kepada pasangan
yang bercerai akan menjadikan pasangan tersebut tidak memiliki kejelasan
terkait dengan hubungan keduanya.
Dampak
tersebut akan menimbulkan permasalahan yang tidak kecil bagi pasangan yang
telah bercerai serta keluarga dari masing-masing pasangan. Misal saja manakala
salah satu dari pasangan yang bercerai tersebut terlibat dalam hutang yang “resmi”
yang mana pada saat hutang tersebut masih berstatus sebagai pasangan dari suami
atau isteri seseorang. Apabila tidak ada kejelasan status, terlebih lagi tidak
adanya legalitas hukum perceraian, maka akan mempersulit proses penyelesaian masalah
hutang piutang tersebut.
Begitu
pula sebaliknya, hal yang sama akan terjadi manakala salah satu pasangan
memiliki piutang kepada orang lain, apalagi jika saat proses hutang tersebut
dilakukan oleh pihak penghutang atas nama keluarga saat belum bercerai. Dengan
adanya perceraian di luar Pengadilan Agama, maka akan timbul kebingungan dalam
pembayaran hutang dari orang yang berhutang kepada pasangan yang bercerai
kaitannya kepada siapa dia harus melunasinya. Hal ini dapat terjadi karena pada
dasarnya perceraian yang dilaksanakan di luar Pengadilan Agama tidak ditunjang
dengan penjelasan mengenai pihak-pihak yang berhak melunasi hutang atau menerima
pembayaran hutang.
b. Mempersulit administrasi
kependudukan negara
Perceraian
yang dilakukan di luar Pengadilan Agama tentu tidak terdata dalam administrasi
Pengadilan Agama. Hal ini karena proses perceraian tersebut tidak didaftarkan
di Pengadilan Agama. Dampak dari hal tersebut tentu akan menyulitkan negara
dalam proses pendataan kependudukan.
Padahal di sisi lain, masalah kependudukan
terkait dengan pelaporan kegiatan kependudukan atau peristiwa penting yang
dialami oleh anggota masyarakat kepada pejabat administrasi negara. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 3
yang berbunyi:
Setiap
Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang
dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang
diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Mengenai
peristiwa penting yang dialami oleh anggota masyarakat dijelaskan dalam Pasal 1
ayat 17 dalam UU yang sama sebagai berikut:
Peristiwa
Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian,
lahir, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan
anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.
Berdasarkan
dua pasal dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak adanya
pendataan terhadap perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilaksanakan oleh sebagian
masyarakat termasuk salah satu tindakan pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.[9]
c. Perlindungan anak pasca perceraian
Dalam
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di jelaskan tentang perlindungan
anak pada pasal 13 ayat (1) dan (2) yaitu:
Ayat
(1)
Setiap
anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a.
Diskriminasi
b.
Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual
c.
Penelantaran
d.
Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan
e.
Ketidakadilan
f.
Perlakuan salah lainnya
Ayat
(2)
Dalam
hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Mengenai
kewajiban orang tua telah diatur pada pasal 26 yaitu:
(1) Orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk :
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi anak;
b. Menumbuh-kembangkan anak sesuai
dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada
usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada,
atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[10]
Dengan
demikian, selain karena adanya pertentangan nash, praktek perceraian di luar
Pengadilan Agama yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat lebih cenderung
menyebabkan timbulnya tindakan pelanggaran hukum yang berakibat pada kerugian
bagi negara. Oleh sebab itu, akan lebih baik lagi jika masyarakat lebih
menggunakan dasar legalitas perceraian yang disahkan oleh negara dalam KHI dan
meninggalkan praktek perceraian di luar Pengadilan Agama. Hal ini didasarkan
pada kaidah hukum Islam yang menjelaskan perlunya penerapan hukum tidak menimbulkan
madlarat dan bahkan sebaliknya penerapan hukum harus dapat membuang madlarat
sebagaimana kaidah hukum Islam yang berbunyi:
الضرر يزال
“Madlarat itu harus dihilangkan”
Wallohu
a’lam bisshowab.
[1] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud,
Beirut : Dar al-Fikr, t.th., hlm. 178.
[2] Depertemen Agama RI,
“Al-Qur’an dan Terjemahannya”, op, cit., hlm. 123
[3] Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum
Islam, Jakarta: PT Karya Unipress, 1974, hlm. 189-190.
[4] Mengenai tata urut kedudukan
hukum dapat dilihat dalam M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah
Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 109-110.
[5] Undang-Undang Perkawinan
Indonesia Tahun 2007 Dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam, t.kp:
Wipress,2007, hlm. 205.
[6] Mengenai syarat jumlah
dibatasi empat orang (Pasal 55); syarat kemampuan adil dan ekonomi suami (Pasal
55 dan Pasal 58); syarat persetujuan isteri dilakukan secara tertulis maupun lisan
(Pasal 58); sedangkan syarat kebolehan poligami didasarkan pada keadaan isteri
yang tidak dapat memberikan keturunan, isteri tidak dapat menjalankan
kewajiban, dan isteri menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan (Pasal
57)
[7] Mengenai sebab larangan
poliandri dalam Islam dapat dilihat secara lebih jelas dalam beberapa literer
yakni: Rachmat Ramadhana al-Banjary dan
Anas al-Djohan Yahya, Hikmahnya Poligami:
Mengapa AA Gym Menikah Lagi? Menangkap Hikmah di Balik Tabir Poligami, Yogyakarta:
Pustaka al-Furqan, 2007, hlm. 4-11; Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah Telaah
Kontekstual Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2007, hlm. 55-57.
[8] Mengenai tata urut kedudukan
hukum dapat dilihat dalam M. Idris Ramilyo, loc. cit.
[9] Undang-undang No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan
[10] Undang-undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
No comments:
Post a Comment