TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK CERAI DI LUAR PENGADILAN AGAMA


1. Tinjauan fiqih terhadap cerai di luar Pengadilan Agama

Untuk mengetahui legalitas dampak (implikasi) yang disebabkan oleh adanya praktek perceraian di sebagian masyarakat, maka perlu adanya penelaahan terlebih dahulu mengenai legalitas sebab yang menyebabkan akibat tersebut. Maksud dari legalitas sebab tersebut tidak lain adalah legalitas proses perceraian yang nantinya berdampak pada legalitas implikasi dari perceraian tersebut. Ruang lingkup tinjauan hukum Islam yang digunakan sebagai “peninjau” praktek cerai di sebagian masyarakat meliputi tinjauan dalil Qur’an maupun Hadis serta tinjauan pendapat ulama terkait dengan praktek cerai yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat.

Cerai atau talak untuk mengakhiri perkawinan merupakan suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh Allah. Meski diperbolehkan, di sisi lain Allah talak atau cerai merupakan sesuatu yang dibenci oleh Allah. Terkait dengan sisi legalitas dan kebencian Allah terhadap praktek cerai dapat terlihat dalam hadis berikut ini:

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أبغض الحلال الى الله الطلاق (رواه ابو داود و ابن ماجه)

'Dari Ibnu Umar r.a berkata telah bersabda Rasullulah Saw, perkara halal yang sangat dibenci Allah adalah talaq (H.R. Imam Abu Daud dan Ibnu Majah).[1]

Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa meskipun diperbolehkan, Islam tidak menghalalkan cerai yang dilakukan secara sembarangan tanpa adanya landasan dari ketentuan hukum Islam. Salah satunya adalah perlu adanya kehadiran hakam yang menjadi pihak untuk mengusahakan perdamaian di antara suami-isteri yang bertikai. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam salah satu firman Allah surat an-Nisa ayat 35 berikut ini:

و إن خفتم شقاقا بينهما فابعثوا حكما من أهله و حكما من أهلها إن يريدا أصلاحا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا

"Dan jika kamu mengkhawatirkan ada pengkengketaan antara kedunya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika dari kedua hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Q.S. An- Nisa : 35)[2]

Penjelasan mengenai hakam dalam sebuah pertikaian yang dialami oleh suami-isteri sebagaimana tersebut dalam ayat di atas telah menimbulkan dua pendapat di kalangan para ulama. Kedua perbedaan pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pendapat yang menyebutkan bahwa hakam adalah dari keluarga dan hanya bertugas mendamaikan dan tidak memiliki hak untuk menceraikan.

Hal didukung oleh pendapat imam Abu Hanifah, sebagian pengikut Imam Hambali, dan qoul qadim dari Imam Syafi’i, yang menyandarkan tugas hakam dari pengertian “hakam” yang berarti wakil. Sama halnya dengan wakil, maka hakam tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak isteri sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami, begitu pula hakam tidak boleh mengadakan khuluk sebelum mendapat persetujuan dari isteri.

b. Pendapat yang menyebutkan bahwa hakam disandarkan pada hakim sehingga dapat memutuskan perkara tersebut dan dapat juga berasal dari luar keluarga suami-isteri yang bertikai.

Pendapat ini di antaranya diungkapkan oleh Imam Malik, sebagian lain pengikut Imam Hambali dan qoul jadid pengikut Imam Syafi’i yang menyandakan tugas hakam pada makna “hakam” sebagai hakim. Dari penyandaran makna tersebut maka hakam boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat keduanya tentang hubungan suami-isteri yang sedang berselisih itu, apakah ia akan memberi keputusan perceraian atau ia akan memerintahkan agar suami isteri itu berdamai kembali.

Menurut pendapat kedua bahwa yang menyangkut hakam itu adalah hakim atau pemerintah, karena ayat di atas diajukan kepada seluruh muslimin. Dalam hal perselisihan suami-isteri, urusan mereka diselesaikan pemerintah mereka atau oleh hakim, yang telah diberi wewenang untuk mengadili perkara yang disampaikan.[3]

Sekilas, praktek cerai yang dilakukan oleh sebagian masyarakat tidak melibatkan hakam yang sesuai dengan prosedur dalam firman di atas. Hal ini dikuatkan dengan posisi hakam yang disematkan pada diri seorang konsultan yang bukan berasal dari keluarga suami maupun isteri. 

Selain permasalahan tersebut, jumlah hakam juga tidak sesuai dengan ketentuan dalam firman di atas, di mana jika masing-masing pihak dari suami isteri menunjuk salah satu wakil dari keluarganya sebagai hakam, maka minimal jumlah hakam adalah dua orang, sedangkan dalam prakteknya jumlah hakam dalam proses perceraian suami-isteri di sebagian hanya satu orang.

Menurut penulis, praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilaksanakan di sebagian masyarakat cenderung sama dengan pendapat pertama dari para ulama mazhab, yakni menyandarkan tugas hakam pada pemaknaan hakam sebagai wakil. Indikator tersebut dapat dilihat dari tugas dan wewenang seorang konsultan dalam proses perceraian.

Terkait dengan jumlah hakam, jika dikaji dalam lingkup pendapat kedua dari pendapat para ulama mazhab di atas, keberadaan jumlah hakam yang hanya satu orang tidak menjadi masalah. Hal ini seperti dijelaskan di atas yang menyebutkan bahwasanya hakam dapat berasal dari keluarga suami-isteri maupun dari pihak lain yang disepakati oleh suami-isteri tersebut. Sedangkan mengenai kebolehan penerapan mazhab tersebut dalam proses perceraian di sebagian dapat disandarkan pada legalitas ijtihad dalam hukum Islam.

Sedangkan mengenai tempat pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan Agama, dalam sumber dasar perceraian Q.S. an-Nisa ayat 35 tidak disebutkan secara detail. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa permasalahan tempat tidak begitu penting dan yang paling penting adalah proses dari perceraian tersebut. 

Apabila disandarkan pada dalil dasar tersebut, maka proses perceraian yang dilaksanakan di sebagian masyarakat memiliki kesesuaian dengan substansi dalil tersebut. Namun jika dikaitkan dengan keberadaan lembaga yang telah disediakan oleh pemerintah, maka praktek tersebut kurang relevan karena telah adanya pengadilan yang disediakan oleh pemerintah sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan proses perceraian suami-isteri.

Menurut hukum Islam, suatu hukum dapat dilaksanakan dengan berdasarkan tata urut keabsahan sumber hukum Islam. Dalam hukum Islam sendiri, tata urut keabsahan sumber hukum Islam bersumber pada al-Qur’an, Hadis, dan Ijma-Qiyas. 

Penjelasan mengenai tata urut sumber hukum tersebut adalah apabila suatu hukum yang berhubungan dengan perkembangan kehidupan umat manusia tidak diketemukan atau kurang jelas mengenai penjelasannya dalam al-Qur’an, maka diperbolehkan menggunakan sumber hukum Hadis yang berkenaan dengan hukum tersebut. Jika di dalam Hadis juga tidak ditemukan hukum yang jelas maupun kurang jelas dalam menjelaskannya, maka umat Islam diperbolehkan membangun hukum tentang sesuatu hal tersebut melalui metode ijtihad dalam bentuk ijma’ maupun qiyas.[4]

Dengan demikian, maka praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat memiliki kesesuaian dengan fiqih Islam sehingga dapat dilegalkan dalam konteks fiqih Islam. Konsekuensi dari adanya status legal dalam konteks fiqih Islam – sebagaimana dijelaskan di atas – adalah adanya status legal yang melekat pada perbuatan maupun hasil perbuatan.

2. Tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap cerai di luar Pengadilan Agama

Apabila mengacu pada ketentuan yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai perceraian, maka dalam praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat terdapat perbedaan dengan ketentuan dalam KHI. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Masalah proses perdamaian dalam proses perceraian

Proses perdamaian merupakan suatu anjuran yang sangat penting dalam menangani masalah atau perkara suami-isteri yang akan bercerai. Jika melihat praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, sekilas sudah ada kesesuaian dengan ketentuan upaya pendamaian yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam. 

Kesesuaian tersebut adalah adanya upaya pendamaian yang dilakukan seorang konsultan sebagai penengah. Namun jika dikaji dalam lingkup lama waktu yang digunakan dalam upaya pendamaian tersebut, maka akan ditemukan kekurang-sesuaian tersebut. Mengenai ketentuan pendamaian kedua belah pihak (suami-isteri) diatur dalam Pasal 142 sebagai berikut:

(1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak
(2)  Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwa proses perceraian tidak langsung diputuskan dalam waktu yang singkat. Hal ini ditujukan untuk memberikan peluang damai bagi kedua belah pihak. Hal inilah yang kurang dipenuhi pada proses perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan di sebagian masyarakat karena proses perceraian hanya dilaksanakan dalam satu kali pertemuan yang langsung diputuskan cerai. Dari proses “perceraian kilat” tersebut otomatis tidak ada waktu yang panjang untuk mendamaikan kedua belah pihak.

Selain karena kurangnya waktu untuk mendamaikan kedua belah pihak, perceraian yang diproses dalam waktu singkat juga berpeluang kurangnya eksplorasi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh kedua belah pihak. Padahal eksplorasi terhadap akar masalah yang terjadi pada kedua belah pihak sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan seorang konsultan sebagai penengah dalam menentukan langkah yang terbaik bagi kedua belah pihak terkait dengan perkawinan mereka. Hal inilah yang menurut penulis menjadi penyebab tidak adanya upaya pendamaian yang maksimal pada praktek perceraian yang dilakukan oleh sebagian masyarakat.

b. Tempat Pelaksanaan Perceraian

Praktek perceraian Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dilaksanakan di luar Pengadilan Agama. Hal ini jelas sekali tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 115 sebagai berikut:

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.[5]

Pasal di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwasanya tidak ada tempat lain yang dapat digunakan untuk memproses perceraian selain Pengadilan Agama. Hal tersebut ditegaskan dengan kata “hanya” yang menjelaskan bahwasanya tidak ada pilihan lain atau kompensasi terkait dengan tempat pemrosesan perkara perceraian. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwasanya tempat pelaksanaan perceraian yang dilakukan oleh sebagian masyarakat tidak memenuhi syarat tempat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 115 KHI di atas.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwasanya praktek perceraian yang dilakukan oleh sebagian masyarakat tidak sesuai dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 115 yakni bahwa perceraian yang dianggap sah dalam KHI adalah perceraian yang dilaksanakan di depan Pengadilan Agama sedangkan percaraian yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dilaksanakan di luar Pengadilan Agama.

Ketidak-sesuaian tersebut dapat melahirkan hukum yang tidak sah yang mengena pada perbuatan hukum yang melanggar ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, praktek perceraian yang dilakukan oleh oleh sebagian masyarakat yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dapat dinyatakan tidak sah menurut perundang-undangan yang berlaku karena tidak berdasar dan tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KHI.

Adanya status tidak sah (ilegal) tersebut mengindikasikan bahwasanya perkawinan tersebut yang proses cerainya dilakukan di luar Pengadilan Agama masih sah. Adanya keabsahan terhadap perkawinan terdahulu yang dicerai di luar Pengadilan Agama dalam konteks KHI secara tidak langsung mengindikasikan adanya larangan untuk melakukan perkawinan yang baru dengan pasangan yang berbeda.

Bagi pihak suami, peluang untuk melaksanakan perkawinan yang baru karena masih adanya status sah pada perkawinan terdahulu mereka terbuka karena adanya ketentuan tentang kebolehan poligami. Namun tentu saja perkawinan yang baru tersebut (poligami) harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KHI, baik dalam syarat maupun prosesnya.

Mengenai syarat yang diperbolehkan untuk berpoligami meliputi syarat jumlah, syarat kemampuan adil dan ekonomi pihak suami, syarat ijin dari isteri, serta syarat isteri yang dapat menyebabkan Pengadilan Agama membolehkan poligami yang dijelaskan dalam Pasal 55 – Pasal 58.[6]

Apabila proses poligami dilakukan tanpa didasarkan pada ketentuan di atas, maka poligami tersebut tidak dapat disebut sah. Hal inilah yang menurut penulis dapat menjadi dasar untuk menentukan status perkawinan baru yang dilakukan oleh pihak suami pasca perceraian ilegal menurut KHI.

Menurut penulis, status perkawinan baru yang dilakukan oleh pihak suami pasca perceraian ilegal dapat dinyatakan tidak sah (ilegal) menurut KHI karena tidak terpenuhinya syarat dan prosedur poligami yang telah ditentukan dalam KHI. Selain itu, melihat kondisi hubungan antara pihak suami dengan pihak isteri yang lama, perkawinan baru yang dilakukan pihak suami pasca perceraian ilegal tidak dapat disebut poligami karena pihak suami telah memutuskan hubungan – baik lahir maupun batin – dengan isteri yang lama (yang diceraikan secara ilegal menurut KHI).

Status tidak sah bagi perkawinan baru yang dilakukan pasca perceraian ilegal juga berlaku bagi pihak isteri yang melakukan perkawinan baru pasca perceraian secara ilegal menurut KHI. Status tidak sah tersebut tidak lain karena pihak isteri secara tidak langsung telah melangsungkan model perkawinan poliandri (satu isteri dengan suami lebih dari satu orang) karena masih adanya ikatan perkawinan yang sah dengan suaminya terdahulu dalam konteks KHI. Poliandri sendiri merupakan bentuk perkawinan yang dilarang dalam ajaran Islam.[7]

Dengan demikian, perkawinan baru yang dilakukan setelah proses perceraian yang ilegal menurut KHI memiliki status tidak sah dalam konteks KHI. Oleh sebab itu, dari adanya status tidak sahnya perkawinan baru pasca perceraian ilegal tersebut, status anak hasil perkawinan yang baru juga akan terkena dampaknya, yakni menjadi anak yang tidak sah menurut KHI. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 99 yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat dari perkawinan yang sah. Sehingga karena perkawinan baru pasca perceraian yang ilegal adalah tidak sah menurut KHI, maka status anak yang dihasilkannya juga menjadi tidak sah menurut KHI.

3. Tinjauan Hukum Islam terhadap Implikasi Praktek Perceraian di Luar Pengadilan Agama

Dasar hukum yang paling mendasar yang dapat digunakan untuk “menilai” penggunaan hukum yang dilakukan oleh sebagian masyarakat adalah surat an-Nisa ayat 59:

يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيئ فردّوه الى الله و الرسول إن كنتم تؤمنون بالله و اليوم الآخر ذلك خير و أحسن تأويلا

Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dalam firman tersebut sangat jelas bahwa ada tiga tingkatan ketaatan hukum yang harus ditaati oleh umat Islam, yakni:

1. Ketaatan kepada Allah.

2. Ketaatan kepada rasul-rasul Allah.

3. Ketaatan kepada ulil amri (pemerintahan).

Berdasar pada penjelasan tersebut, umat Islam harus menaati ulil amri sebagai wujud dari ketaatan kepada Allah. Maksud dari ulil amri adalah suatu pemerintahan yang telah dipilih dan diberikan amanat oleh umat manusia.

Salah satu bentuk ketaatan kepada ulil amri adalah dengan mematuhi dan menjalankan produk hukum yang ditetapkan oleh ulil amri selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan membawa kemaslahatan bagi umat manusia.

Implikasi dari firman tersebut pada kasus yang menjadi obyek masalah pada makalah ini adalah pelaksanaan dasar hukum perceraian yang menjadi dasar perceraian di Indonesia di kalangan umat Islam. Jika menelaah proses terbentuknya hukum acuan perceraian yang dilakukan oleh para ulama Indonesia (MUI), maka hasil hukum tersebut dapat disebut sebagai hasil ijtihad. Ijtihad sendiri dalam konteks hukum Islam dapat menjadi bahan sumber hukum setelah al-Qur’an dan al-Hadis.[8] Jadi secara tidak langsung firman di atas juga memiliki indikasi tentang tata urut sumber hukum yang dapat digunakan oleh umat Islam.

Pada praktek cerai di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dasar hukum pelaksanaan cerai di luar Pengadilan Agama yang digunakan oleh sebagian masyarakat adalah dasar perceraian yang dijelaskan dalam hukum Islam, yakni dapat dilakukan di depan orang yang memiliki kompetensi di bidang hukum perkawinan Islam.

Menurut penulis, dasar hukum al-Qur’an memang menjadi dasar dari segala hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia (umat Islam), termasuk dalam hal proses perceraian. Namun jika merujuk pada kedudukan hukum perceraian yang ada di Indonesia dan didasarkan pada firman  Q.S. an-Nisa ayat 59 di atas, maka menurut penulis hukum yang telah terbentuk dalam suatu negara –selama dalam pembentukan dan pembangunan hukumnya tidak menyalahi tata aturan dalam Islam– dapat dijadikan sebagai landasan dalam perbuatan hukum umat manusia. Dengan demikian, proses perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dalam konteks hukum Islam dapat dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam karena adanya unsur pertentangan dengan nash al-Qur’an yang lainnya.

Selain karena adanya pertentangan dengan nash al-Qur’an yang lain, kekurang-sesuaian praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dengan hukum Islam karena lebih cenderung menimbulkan madlarat daripada menghasilkan manfaat. Menurut penulis, unsur madlarat yang terkandung dalam praktek perceraian di luar Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:

a. Tidak jelasnya status suami-isteri

Adanya perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh sebagian masyarakat berdampak pada tidak adanya status yang jelas bagi pasangan yang bercerai. Maksudnya adalah bahwa tidak adanya surat cerai yang sah dari pemerintah kepada pasangan yang bercerai akan menjadikan pasangan tersebut tidak memiliki kejelasan terkait dengan hubungan keduanya.

Dampak tersebut akan menimbulkan permasalahan yang tidak kecil bagi pasangan yang telah bercerai serta keluarga dari masing-masing pasangan. Misal saja manakala salah satu dari pasangan yang bercerai tersebut terlibat dalam hutang yang “resmi” yang mana pada saat hutang tersebut masih berstatus sebagai pasangan dari suami atau isteri seseorang. Apabila tidak ada kejelasan status, terlebih lagi tidak adanya legalitas hukum perceraian, maka akan mempersulit proses penyelesaian masalah hutang piutang tersebut.

Begitu pula sebaliknya, hal yang sama akan terjadi manakala salah satu pasangan memiliki piutang kepada orang lain, apalagi jika saat proses hutang tersebut dilakukan oleh pihak penghutang atas nama keluarga saat belum bercerai. Dengan adanya perceraian di luar Pengadilan Agama, maka akan timbul kebingungan dalam pembayaran hutang dari orang yang berhutang kepada pasangan yang bercerai kaitannya kepada siapa dia harus melunasinya. Hal ini dapat terjadi karena pada dasarnya perceraian yang dilaksanakan di luar Pengadilan Agama tidak ditunjang dengan penjelasan mengenai pihak-pihak yang berhak melunasi hutang atau menerima pembayaran hutang.

b. Mempersulit administrasi kependudukan negara

Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama tentu tidak terdata dalam administrasi Pengadilan Agama. Hal ini karena proses perceraian tersebut tidak didaftarkan di Pengadilan Agama. Dampak dari hal tersebut tentu akan menyulitkan negara dalam proses pendataan kependudukan. 

Padahal di sisi lain, masalah kependudukan terkait dengan pelaporan kegiatan kependudukan atau peristiwa penting yang dialami oleh anggota masyarakat kepada pejabat administrasi negara. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 3 yang berbunyi:

Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Mengenai peristiwa penting yang dialami oleh anggota masyarakat dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 17 dalam UU yang sama sebagai berikut:

Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.

Berdasarkan dua pasal dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan  di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak adanya pendataan terhadap perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat termasuk salah satu tindakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.[9]

c. Perlindungan anak pasca perceraian

Dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di jelaskan tentang perlindungan anak pada pasal 13 ayat (1) dan (2) yaitu:

Ayat (1)
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: 
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual
c. Penelantaran
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan
e. Ketidakadilan
f. Perlakuan salah lainnya
Ayat (2)
Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Mengenai kewajiban orang tua telah diatur pada pasal 26 yaitu:

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; 
b. Menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan 
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. 
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[10]

Dengan demikian, selain karena adanya pertentangan nash, praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat lebih cenderung menyebabkan timbulnya tindakan pelanggaran hukum yang berakibat pada kerugian bagi negara. Oleh sebab itu, akan lebih baik lagi jika masyarakat lebih menggunakan dasar legalitas perceraian yang disahkan oleh negara dalam KHI dan meninggalkan praktek perceraian di luar Pengadilan Agama. Hal ini didasarkan pada kaidah hukum Islam yang menjelaskan perlunya penerapan hukum tidak menimbulkan madlarat dan bahkan sebaliknya penerapan hukum harus dapat membuang madlarat sebagaimana kaidah hukum Islam yang berbunyi:
الضرر يزال
Madlarat itu harus dihilangkan

Wallohu a’lam bisshowab.




[1] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Beirut : Dar al-Fikr, t.th., hlm. 178.
[2] Depertemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya”, op, cit., hlm. 123
[3] Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: PT Karya Unipress, 1974, hlm. 189-190.
[4] Mengenai tata urut kedudukan hukum dapat dilihat dalam M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 109-110.
[5] Undang-Undang Perkawinan Indonesia Tahun 2007 Dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam, t.kp: Wipress,2007, hlm. 205.
[6] Mengenai syarat jumlah dibatasi empat orang (Pasal 55); syarat kemampuan adil dan ekonomi suami (Pasal 55 dan Pasal 58); syarat persetujuan isteri dilakukan secara tertulis maupun lisan (Pasal 58); sedangkan syarat kebolehan poligami didasarkan pada keadaan isteri yang tidak dapat memberikan keturunan, isteri tidak dapat menjalankan kewajiban, dan isteri menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan (Pasal 57)
[7] Mengenai sebab larangan poliandri dalam Islam dapat dilihat secara lebih jelas dalam beberapa literer yakni: Rachmat Ramadhana  al-Banjary dan Anas al-Djohan Yahya,  Hikmahnya Poligami: Mengapa AA Gym Menikah Lagi? Menangkap Hikmah di Balik Tabir Poligami, Yogyakarta: Pustaka al-Furqan, 2007, hlm. 4-11; Titik Triwulan Tutik,  Poligami Perspektif Perikatan Nikah Telaah Kontekstual Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2007, hlm. 55-57.
[8] Mengenai tata urut kedudukan hukum dapat dilihat dalam M. Idris Ramilyo, loc. cit.
[9] Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
[10] Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

No comments:

Post a Comment