Dalam
aktivitas tradisi sumbangan walimah al-‘ursh terdapat motivasi bagi
pelaku sumbangan walimah al-’ursh yang berimplikasi pada munculnya dua
tipe bhubuwan, yang pertama, dicatat dan yang kedua tidak dicatat. Oleh
karena itu pada esensinya, tradisi ini kendatipun keberadaannya masih tetap
eksis dan dilaksanakan secara turun temurun dengan berbagai makna dan tujuan,
namun dibalik pelaksanaannya, muncul pemahaman yang berbeda antara yang respek
terhadap pencatatan dengan yang tidak respek, antara yang memutuskan bahwa
bhubuwan termasuk hutang dengan hibah.
Maka
jika dilihat dari aktifitas bhubuwan dimasyarakat secara umum, maka menurut
penulis masih berada pada koridor Islam yang dinilai baik, sebab dalam tolong
menolong atau gotong royong antar sesama telah dianjurkan dan digariskan dalam
al-Qur’an yang berbunyi:
Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.[1]
Sedangkan
dalam aktifitas bhubuwan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, secara metodologis penulis memakai
adat (‘urf) dan konsep fikih sebagai penyempurna kajian penelitian ini,
sehingga nantinya kita bisa mengetahui realitas tradisi sumbangan dalam walimah
al-’ursh yang mengakar dan berkembang dimasyarakat.
Maka
sesuai dengan refleksi tradisi yang telah difilter dipilih dan dipilah, penulis
membangun dengan tiga kategori, yang pertama dari segi objeknya, yang mencakup
‘urf lafzi dan ‘amali. Kedua dari segi cakupan, yang terdiri ‘urf
‘am dan ‘urf khas. Ketiga dari segi keabsahan ‘urf, yang terdiri ‘urf
sahih dan ‘urf fasid.
a. Kategori pertama, dilihat dari segi
obyeknya, bahwa tradisi sumbangan walimah al-’ursh di sebagian
masyarakat merupakan ‘urf ‘amali,
hal ini disebabkan perbuatan masyarakat secara umum melakukan mu’amalah atau
transaksi sumbangan diawali dengan tanpa sebuah pernyataan atau ungkapan
perkataan, artinya tidak ada pernyataan akad secara jelas dari kedua belah
pihak baik si pemberi maupun si penerima.
b. Kategori kedua, dilihat dari segi
cakupan, termasuk ‘urf ‘am, sebab pelaksanaan sumbangan dalam walimah
al-’ursh telah secara umum dilaksanakan diberbagai daerah.
c. Untuk kategori yang ketiga, dilihat
dari keabsahan adanya tradisi sumbangan dalam
walimah al-’ursh termasuk dianggap baik oleh masyarakat dan tidak
melanggar terhadap dalil syar’i serta dapat mendorong kepada kemaslahatan
sosial, maka dalam mempertimbangkan adanya tradisi sumbangan dalam walimah al-’ursh yang mengakar erat di tubuh sebagian
masyarakat termasuk ‘urf sahih. Penulis mengapresiasikan dengan landasan hadith
Nabi:[2]
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما رآه
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa
yang dipandang baik oleh umat Islam, maka baik pula di sisi Allah.”
Hadith
ini menunjukkan bahwa sesuatu yang telah berlaku dimasyarakat dan dipandang
baik serta menjadi kebiasaan orang Islam maka disisi Allah SWT. juga baik dan
bisa diamalkan.[3]
Dengan
dasar hadith tersebut, maka kasus tradisi sumbangan yang terjadi dilapangan
pada hakekatnya adalah termasuk tradisi yang perlu dipertahankan keberadaannya
dan tetap dibudidayakan, sebab melihat dari pertimbangan ‘urf dan masyarakat
sendiri secara akal sehat dianggap baik dan tidak mempermasalahkan tradisi
sumbangan yang sudah berjalan dari generasi ke generasi secara turun temurun
serta dinilai bahwa proses sumbangan yang terjadi dimasyarakat tidak merubah
sendi-sendi ajaran Islam, bahkan tradisi ini bisa terus dilanjutkan tanpa harus
diperdebatkan panjang lebar. Maka, dalam mengkaji tradisi ini, peneliti
mengutip sebagian pendapat al-Jurjani untuk memperkuat adanya alasan bahwa
tradisi ini layak dipertahankan.
Al-‘urf
adalah keadaan yang sudah tetap pada jiwa manusia, dibenarkan oleh akal dan
diterima pula oleh tabiat yang sehat.
Begitu
juga pendapat Wahbah al-Zuhayli mengenai ‘urf adalah:
Al-‘urf
adalah setiap aktivitas yang tersohor dikalangan masyarakat atau perkataan yang
mempunyai arti khusus yang tidak terlaku dalam tata bahasa dan tidak
menimbulkan kesalah fahaman.[4]
Menurut
Abdul Wahab Khallaf, definisi ‘urf adalah:
Al-‘urf
adalah apa apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan telah berjalan terus
menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. Urf disebut juga adat kebiasaan.[5]
Dengan
demikian, jika melihat pendapat ulama di atas jika diselaraskan pada tradisi
bhubuwan bisa dikatakan tidak bertentangan dengan ’urf karena tradisi itu
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam ’urf. Adapun syarat-syarat itu
adalah harus bersifat umum dan telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negeri
itu. Dan tradisi itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang
akan dilandaskan pada ’urf. Serta tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait
yang berlainan dengan kehendak daripada tradisi itu sendiri, dan syarat yang
selanjutnya adalah kebiasaan yang dilakukan dalam suatu negeri itu tidak
bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah.
Kaitannya
dengan anggapan sebagian orang mengenai hakekat bhubuwan yang bisa
dianggap hutang-piutang atau hibah adalah uang atau barang yang diberikan para
undangan kepada orang yang punya hajat, dan pada umumnya pada resepsi
pernikahan dengan maksud uang atau barang yang diberikannya dapat dikembalikan
lagi disaat dirinya mengadakan acara. Maka walaupun demikian, penulis bisa
melihat bahwa tradisi tersebut tidak terdapat larangan secara nash dan berarti
kalau tetap dilestarikan maka tidak melanggar aturan shari’ah, hal ini sesuai
dengan kaidah umum:[6]
Dengan
demikian, jika melihat pendapat ulama di atas jika diselaraskan pada tradisi
bhubuwan bisa dikatakan tidak bertentangan dengan ’urf karena tradisi itu
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam ’urf. Adapun syarat-syarat itu
adalah harus bersifat umum dan telah menjadi kebiasaan mayoritas,
العادة
محكمة
“Adat
kebiasaan bisa dijadikan penetapan hukum.”
Jadi,
dengan kaidah tersebut dapat dipahami bahwa ketika bhubuwan diperbolehkan maka
perbuatan itu sah untuk direalisasikan dengan catatan selama tidak menghadirkan
penderitaan bagi diri sendiri dan orang lain. Sebab dalam kaidah lain
dijelaskan bahwa sesuatu yang memudaratkan itu harus dihilangkan.[7]
الضرر
يزال
“Kemudharatan
itu harus dihilangkan”
Kemudian
kaidah lain yang lahir dari kaidah ini adalah,
الضرر
يدفع بقدر الأمكان
“Kemudaratan
itu harus dihilangkan sedapat mungkin”
Pada
kaidah fikih di atas jelas sekali bahwa kemudharatan sedapat mungkin itu harus
dihilangkan, artinya jika nantinya dalam proses bhubuwan terdapat hal-hal yang
memberatkan salah satu pihak atau keduanya, seperti cenderung dapat merendahkan
martabat agama maka hal itu tidak diperbolehkan, ini bisa dilihat dari fakta
yang ada dimasyarakat yang merasa terbebani dengan adanya tradisi ini, artinya
ketika terpaksa hutang untuk memberi sumbangan demi menjaga harga diri dan
kehormatan. Padahal makna bhubuwan pada dasarnya sudah termasuk bagian sarana
dalam tolong menolong antar sesama merupakan anjuran dalam agama Islam dengan
tanpa merubah sistem yang ada, artinya tidak merubah makna konsep bhubuwan yang
sebenarnya.
Perlu
penulis garis bawahi bahwa tradisi ini bukanlah termasuk aktifitas yang mutlak
menjadi keharusan menyumbang dan bukan menjadi aturan adat yang mengikat dengan
segala macam bentuk konsekuensi atau segala macam tuntutan sosial, akan tetapi
merupakan ketergantungan atau keikhlasan dari penyumbang.
Terkait
kasus ini perlu penulis jelaskan secara rinci tentang kebiasaan yang melekat
pada tradisi bhubuwan. Maka, setelah penulis menanyakan ke beberapa warga
setempat via intervieu, maka penulis menemukan beberapa alasan yang dapat
memotivasi masyarakat dalam pencatatan itu. Semisal pencatatan itu adalah
tergantung masing-masing internal individu tuan rumah dengan tamu undangan,
artinya pencatatan itu bisa dijadikan sebagai bahan rujukan untuk mengetahui
data penyumbang yang nantinya bisa jadi berdampak adanya sumbangan yang ditulis
itu ada yang memiliki persepsi seperti hutang-piutang dan ada juga yang
berpendapat hibah yang mengarah pada
hadiah atau sedekah, padahal kalau diamati fakta tersebut masih belum
bisa dijadikan sebagai keputusan final secara pasti sebelum ada penelitian
lebih lanjut dalam kajian keIslaman secara detail.
Dari
perbedaan pandangan yang berbeda, maka lebih dulu perlu penulis komparasikan
keunggulan dari sudut pandang pelaksanaan bhubuwan yang dicatat dengan yang
tidak dicatat dalam pandangan ’urf.
1. Pelaksanaan bhubuwan dengan model
pencatatan
Menurut
hemat penulis, bhubuwan yang sering dilaksanakan di Desa Peltong mayoritas
menggunakan pencatatan, oleh sebab itu walaupun pencatatan itu bukan merupakan
aturan sebuah adat setempat, paling tidak setiap orang boleh memilih antara
dicatat atau tidak. Oleh sebab itu, sebagai bentuk kepastian apakah bhubuwan
termasuk ’urf atau bukan itu tetap harus dikembalikan kepada syarat-syarat bisa
masuk kategori ’urf.
a. ’Urf itu harus berlaku secara umum.
Artinya ‘urf itu belaku dalam mayoritas
kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya itu dianut
oleh mayoritas masyarakat tersebut.
b. ’Urf itu telah memasyarakat ketika
persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan
dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan
ditetapkan hukumnya.
c. ’Urf tidak bertentangan dengan yang
diungkapkan dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua
belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan.
d. ‘Urf tidak bertentangan dengan
nash, karena kehujjahan ‘urf bisa
diterima apabila apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang
dihadapi.[8]
Kalau penulis analisis dalam kasuistis yang
ada, maka pencatatan tersebut belum bisa dijadikan sebagai ’urf, sebab dalam
syarat-syarat ’urf pada item (c) terdapat cacat untuk bisa dikatakan sebagai
’urf yaitu tentang adanya transaksi
pencatatan bhubuwan tidak dinyatakan secara jelas oleh kedua belah pihak
penyumbang dengan yang disumbang.
2. Pelaksanaan bhubuwan dengan model
tanpa pencatatan
Persoalan
lain yang muncul ditengah-tengah masyarakat adalah komitmen masyarakat yang
kurang respek dengan adanya pencatatan, jadi kalau dilihat dari aspek sebuah
pemberian adalah tidak pernah menghitung-hitung jumlah sumbangan yang ada.
Kendatipun demikian secara pribadi mereka enggan untuk mencatat dan tidak akan
pernah mempertanyakan hak-haknya untuk dicatat serta mengindikasikan pada tindakan
dengan melihat maksud agama dari sebuah pemberian baik sedekah atau
hadiah.
Seperti
yang disinggung di atas, bahwa Islam harus memiliki martabat yang baik, dari
sini bisa dilihat bahwa mereka dalam menjaga tradisi yang sesuai dengan
nilai-nilai agama memang sangat dipertahankan, sebab boleh jadi mereka
menganggap bahwa dengan pemberian yang tidak mengharapkan suatu balasan baik
tercatat atau tidak maka hal itu lebih mencerminkan bahwa budaya dalam Islam
menang dalam tataran kualitas dan kuantitas.
Sehingga sebuah tindakan atau
prilaku seseorang bisa dijadikan sebagai cara untuk mengantisispasi masalah
negatif yang akan ditimbulkan. Sebagai ukuran untuk mengarah pada nilai
keihklasan harus sekiranya tidak sampai menimbulkan kesulitan. Dengan kata lain
bahwa realitas adanya prosesi sumbangan dengan tanpa pencatatan akan lebih bisa
diterima secara logika dalam komunitas masyarakat untuk dijadikan sebagai
landasan beramal baik.
Dalam
menetapkan status hukumnya meskipun ada yang beranggapan bahwa sebagian masyarakat
mengatakan tradisi hutang yang harus dikembalikan nantinya. Namun jika melihat
fakta yang ada, ijab qabul dalam praktek dilapangan adalah termasuk transaksi
hibah.
Bagian
yang penting untuk dijadikan sebagai ukuran dalam keputusan hukum bhubuwan. Mustafa
Ahmad al-Zarqa’ salah seorang pakar fikih Jordania asal Syiria, menyatakan
bahwa tindakan (action) hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua
bentuk, yaitu:[9]
1. Tindakan (action) berupa
perbuatan.
2. Tindakan berupa perkataan.
Dengan
berdasarkan dari dua bentuk akad maka sighat al-‘aqd merupakan
rukun akad yang paling penting, karena melalui pernyataan inilah dapat
diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad. Sighat al-‘aqd ini
diwujudkan melalui ijab dan qabul. Dalam kaitannya dengan ijab dan qabul ini,
para ulama fiqih mensyaratkan:[10]
1. Tujuan yang terkandung dalam
pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki,
karena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya.
2. Antara ijab dan qabul terdapat kesesuaian.
3. Pernyataan ijab dan qabul itu
mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti dan tidak
ragu-ragu.
Sedangkan
dalam proses ijab dan qabul ini bisa dalam berbentuk perkataan, tulisan dan
isyarat. Dalam pernyataan kehendak untuk melakukan suatu akad melalui tulisan
ini para ulama membuat suatu kaidah fikih yang menyatakan bahwa:
الكتاب كالخطاب
Tulisan
itu sama dengan ungkapan lisan.
Artinya,
pernyataan yang jelas yang dituangkan dalam bentuk tulisan, kekuatan hukumnya
sama dengan ungkapan langsung melalui lisan.[11]
Selain
tulisan suatu akad juga bisa dilakukan dengan isyarat yang menunjukkan secara
jelas pihak-pihak yang melakukan akad. Misalnya isyarat yang ditunjukkan oleh
orang bisu yang tidak bisa baca tulis. Maka dalam kaitannya ini, para ulama’
fiqih juga membuat suatu kaidah, yaitu:
الإشارات المعهودة
للأخرس كالبيان باللسان
Isyarat
yang jelas dari orang bisu sama dengan penjelasan dengan lisan.
Artinya,
jika isyarat itu dikemukakan oleh orang yang sudah menjadi kebiasaan baginya
dan isyarat itu sudah menunjukkan kehendaknya untuk melakukan suatu perbuatan
akad, maka isyarat itu sama posisinya dengan penjelasan melalui lisan orang
yang berbicara secara langsung.[12]
Setelah
kita mengetahui adanya tulisan dari catatan bhubuwan merupakan bentuk akad
selain ucapan secara langsung, maka jika dikaitkan dengan tradisi bhubuwan
yang diterjadi disebagian masyarakat yang menggambarkan prosesi pemberian uang
dari pemberi bhubuwan (tamu undangan) kepada penerima bhubuwan
(tuan rumah) yang berlaku dimasyarakat adalah tersebut termasuk hibah.
Adanya ‘illat (sebab) yang sama pemberian uang dalam bhubuwan
dengan transaksi hibah yakni terletak pada tidak wajibnya untuk
mengembalikan bhubuwan. Sedangkan pengembalian hibah tersebut tidak lain
merupakan bagian dari akhlaq mulia seseorang.
Dalam
kajian fenomena sosial, anggapan sebagian masyarakat tentang keharusan
mengembalikan bhubuwan itu pada hakekatnya hanya rasa sifat rasa tidak
enak karena telah diberi sumbangan atau diberi bhubuwan. Maka, titik permasalahan dalam tradisi ini
terletak pada pemaknaan bhubuwan yang dirubah oleh sebagian masyarakat
yang dianggapnya hutang, dan padahal itu bukan, sebab kalau nanti ternyata
memberatkan pada sebagian banyak
orang, maka praktek tersebut menyalahi tujuan shari’at.
Terlebih lagi
diakhirat kelak, persoalan beban hutang menjadi tanggungan yang sangat
diperhatikan oleh agama. Setelah ditelusuri, tradisi bhubuwan ini
ternyata memiliki nilai atau jaminan sosial tertentu bagi masyarakatnya. Dapat
dikatakan, tradisi bhubuwan merupakan bentuk asuransi sosial yang paling
sederhana dalam kehidupan. Masyarakat bersedia bhubuwan, karena hal itu
merupakan usaha untuk meminimalisir dan mendistribusikan beban kehidupan
mereka, khususnya untuk meghadapi resiko dan ketidak-pastian masa depan.
Harus
diakui bahwa salah satu problem kekinian yang senantiasa aktual untuk
dibicarakan dalam konteks shari'ah menyangkut hal-hal yang bersifat usul
dan perihal yang bersifat furu' adalah persoalan teks dan kemaslahatan.
Persoalan ini muncul – salah satunya – sejak tersebar luasnya tulisan al-Tufi[13] tentang "al-maslahah"
yang mengalami perkembangan walaupun tidak terhindarkan dari kritik serta
penolakan terhadap konsep yang di tulisnya itu.
1. Shari'ah adalah kemaslahatan
Jika
shari'ah adalah sebuah kemaslahatan (al-shari'ah maslahatun), maka
pandangan ini diakui oleh seluruh kaum muslimin dan diterima oleh mayoritas
ulama dalam setiap masa. Salah satu indikasinya adalah:[14]
• Shari'ah datang membawa
kemaslahatan dan mencegah kerusakan.
• Shari'ah membawa manfaat dan
menolak kerugian.
• Shari'ah ditetapkan untuk
kemaslahatan seluruh manusia.
• Shari'ah berlandaskan pada
hikmah dan kemaslahatan manusia, yaitu keadilan universal, rahmat universal,
dan kemaslahatan universal.
• Dimana terdapat kemaslahatan, maka
disitulah terdapat shari'ah Tuhan, begitu pula dimana terdapat shari'ah
Tuhan maka disitulah terdapat kemaslahatan.
Ketika
shari'ah adalah sebuah kemaslahatan, maka terkandung makna bahwa tujuan shari'ah
adalah mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, mewujudkan, menjaga dan
memeliharanya. Oleh karenanya, ketika seseorang ingin melaksanakan shari'ah
dengan seutuhnya, maka kemaslahatan yang merupakan inti dari shari'ah
harus dijadikan sebagai landasan utama.
2.
Kemaslahatan adalah Shari'ah
Al-maslahah
shari'atun memberikan makna sebuah penegasan bahwa tujuan
shari'ah adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia.[15] Memahami Tuhan, agama dan
shari'ah berarti meyakini bahwa sesuatu yang kita kerjakan (yang
mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan) merupakan perintah agama yang kemudian
menjadi tujuan shari'ah. Ungkapan mengenai al-maslahah shari'ah
bukan sekedar sebuah konklusi logika akal, akan tetapi ia merupakan sebuah
ungkapan yang ditunjukkan oleh al-Qur'an, yaitu:[16]
يا
أيها الذين آمنوا اركعوا و اسجدوا و اعبدوا ربكم و افعلوا الخير لعلكم تفلحون
"Hai
orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan".[17]
فمن
يعمل مثقال ذرة خيرا يره
"Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dharrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan) nya".[18]
و
قال موسى لأخيه هارون اخلفني في قومي و اصلح و لا تتبع سبيل المفسدين
"Dan
berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam
(memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan
orang-orang yang membuat kerusakan".[19]
إن
الله يأمر بالعدل و الإحسان و إيتاء ذي القربى و ينهى عن الفخشاء و المنكر و البغي
يعظكم لعلكم تذكّرون
"Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran".[20]
Semua
teks yang telah disebutkan di atas, mengindikasikan akan adanya perintah,
larangan, anjuran, dan petunjuk terhadap sesuatu yang dapat mendatangkan kemaslahatan
dan menghindari kemafsadatan (jalb al-masalih wa dar'u al-mafasid).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang dapat mendatangkan
kebaikan, keadilan, kemanfaatan, dan kemaslahatan adalah perintah shara',
begitu juga sebaliknya sesuatu yang mendatangkan kerusakan, kebatilan,
kehancuran, dan kebahayaan merupakan larangan shara'.
Demikianlah
penulis menyoroti masalah bhubuwan yang sudah berjalan di sebagian
masyarakat berada diluar kewajaran. Bagi orang kaya, hal ini tentu tidak menjadi
masalah, namun bagi masyarakat ekonomi menengah atau miskin, banyaknya undangan
hajatan itu bisa mengguncang perekonomian rumah tangga mereka. Untuk menutup
kebutuhan sehari-hari saja sulit, belum lagi untuk biaya pendidikan anak, masih
harus ditambah lagi dengan biaya bhubuwan tadi. Maka tidak heran, jika
dijumpai ibu-ibu yang rela hutang sana-sini, untuk sekedar memberi sumbangan.
Tradisi yang seharusnya meringankan beban masyarakat itu, terkadang menjadi
"kewajiban sosial" yang memaksa dan "mencekik" leher, meski
dilakukan secara halus dan sopan.
Penulis
tidak habis pikir, ketika sebagian besar masyarakat banyak mengeluh, namun
masih saja tidak mampu untuk menghindar. Menjadi dilematis, karena jika tradisi
ini diikuti akan terasa berat, tapi jika ditinggalkan akan kehilangan jaminan
sosial.
Dalam
sejarah perjalanan manusia, tradisi kebudayaan dapat langgeng jika masih
memiliki nilai manfaat bagi anggota masyarakatnya. Mungkin, tradisi bhubuwan
ini tidak akan mengganggu ekonomi rumah tangga, jikalau disesuaikan dengan
kemampuan riil seseorang, tanpa dipengaruhi gengsi atau sungkan.
Menjadi
pertanyaan besar, apakah tradisi mulia yang telah bermetamorfosis menjadi beban
ekonomi ini, akan tetap langgeng atau justru mungkin akan segera ditinggalkan? Kuncinya
ada pada kreativitas dan kesadaran masyarakat itu sendiri. Mampukah masyarakat
mengembalikan tradisi bhubuwan ini pada aspek sosial dan kemanusiaannya? Atau
justru ikut tenggelam dalam arus budaya kapitalistik yang mendewakan materi
diatas segala-galanya?
Sehingga
untuk memberikan pertimbangan yang lebih bijaksana dan maslahah, maka bhubuwan
yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat adalah termasuk transaksi hibah
bi ath-thawab (hibah yang mengharap imbalan). Dengan konsekuensi logis
bahwa pengaruh adat terhadap makna hutang terbantahkan disebabkan masyarakat
memahami bhubuwan adalah kewajiban yang tidak terikat dalam
pengembaliannya.
[1] al-Qur’an, 5 (al-Maidah): 2.
[2] Ahmad bin Hanbal, Musnad
al-Imam Ahmad, Jilid I, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th), 379
[3] Hadith ini juga menjadi
landasan hukum ’urf (adat) oleh Wahbah al-Zuhayli, Usul Fiqh, 111
[4] Wahbah al-Zuhayli, Ushul Fiqh
al-Islamiy, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 104. Mengutip dalam buku Usul al Fiqh Islami karya Wahbah al-Zuhayli
beliau mengatakan "sebagian Ulama Usuliyyin berkata sesungguhnya kata 'urf
dan kata adat merupakan kata sinonim seperti diungkapkan ibnu ’Abidin, dan
ar-Rahawi dalam bukunya Sharhu al-Manar,
dan ibnu Najim dalam bukunya al-Asbah wa
an-Nazair. Dan kedua kata tersebut bermakna sesuatu yang sudah tetap pada
manusia, dibenarkannya oleh akal dan diterima pula tabiat yang sehat. Dan
berkata sebagian Usuliyyin yang lain seperti ibnu al-Hammam al-Bazdawi dalam
bukunya al-Talwih 'ala at-Taudih: sesungguhnya 'urf lebih umum dari pada
adat, 'urf tercakup 'urf qawli dan 'urf ’amali, dan sedangkan
adat hanya dibatasi pada 'urf ’amali saja, lihat Wahbah al-Zuhayli, Ushul Fiqh al-Islamiy., 105. Lihat juga Muin
Umar, dkk. Ushul Fiqh, Jilid I, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama, 1986), 150
[5] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar Al- Barsany, (Jakarta PT Raja Grafindo
Persada, 1994), 134., Lihat juga, Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, CV Pustaka Setia,
1999), 128., dan Miftahul Arifin dan Faishal Haq, Ushul Fiqh,89.
[6] Moh. Adib Bisri, Risalah
Qawaid Fiqh, terj, al-Faraidul Bahiyyah, (Kudus: Menara, t.t), 24. Lihat Juga
’Abd al-’Aziz al-Khayyat, Naz}ariyat
al-’Urf, (Amman: Maktabah Aqsa, 1977), 44
[7] Abu Faid Muhammad Yasin bin
’Isa al-Fadani, al-Fawaid al-Janniyyah,
vol I (Beirut: dar al-Fikr, 1997), 246
[8] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,
Cet. 1, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 143-144.
[9] Ibid, 97
[10] Ibid, 321
[11] Ibid, 100
[12] Ibid, 101-102
[13] Nama lengkapnya adalah Najm
al-Din Abu al-Rabi' Sulaiman bin Abd al-Qawiy bin Abd al-Karim Sa'id al-Tufi
al-Sarsari al-Baghdadi. Dia adalah seorang ulama yang dilahirkan di Thufa pada
tahun 675 H. ia adalah seoarang ulama yang mengikuti madhhab Hanbali. Lihat:
‘Umar Rida, Mu'jam al-Muallif Tarajum Musannifi al-Kutub al-‘Arabiyyah, vol. 3
(Beirut: Dar al-Ihya' al-Turath, al-‘Arabi, t.t.), hal. 266. Abd. Al-Wahhab
Khallaf mengatakan bahwa ia lahir pada tahun 673 H. lihat: Abd. Al-Wahhab
Khallaf, Masadir al-Tashri' al-Islami fima la Nassa Fih (Kuwait: Dar al-Qalam,
1972), hal. 96.
[14] Ahmad al-Raysuni dan Muhammad
Jamal Barut, Ijtihad: Antara Teks,
Realitas dan Kemaslahatan Sosial (Jakarta: Erlangga, 2002), hal. 15.
[15] Diantara sendi hukum Islam
adalah bahwa hukum Islam tidak memberatkan dan menghindarkan mashaqqah, hukum
Islam memelihara kemaslahatan seluruh umat manusia, hukum Islam mewujudkan
keadilan yang merata. Lihat: Ahmad Azhar Basyir, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: UII Press,
2000), hal. 57. Lihat juga: Muhammad Yusuf Musa, al-Fiqh al-Islami (Kairo: Dar
al-Kutub al-Hadithah), hal. 115-125.
[16] Ahmad al-Raysuni dan Muhammad
Jamal Barut, Ijtihad: Antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial, hal. 105.
[17] al-Qur’an, 22 (al-Hajj): 77
[18] al-Qur’an, 99 (al-Zalzalah): 7
[19] al-Qur’an, 7 (al-A’raf): 142
[20] al-Qur’an, 16 (al-Nahl): 90
Saya adalah Ibu Nur Amalina, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka adalah banyak scammers dan pemberi pinjaman pinjaman palsu di internet. Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana Tuhan menolong saya dengan mengarahkan saya kepada pemberi pinjaman asli, setelah itu saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang kemudian menyebut saya sebagai pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Mrs. Charity meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 750 juta rupiah Indonesia (Rp750.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan dan hanya dengan suku bunga 2% saja.
ReplyDeleteSaya sangat terkejut saat memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya ajarkan dikirim langsung ke akun saya tanpa penundaan. Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, silakan hubungi dia melalui email: (charitywhitefinancialfirm@gmail.com) dan dengan rahmat Tuhan dia tidak akan mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda memenuhi persyaratannya.
Anda juga bisa menghubungi saya di email saya: (nuramalinasofiyani05@gmail.com) Akan melakukan yang terbaik untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinya.