STATUS WALI ANAK PEREMPUAN HASIL NIKAH SIRI MENURUT FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN



A. Persamaan

1.  Status pernikahannya adalah sah. 

Fikih menyatakan bahwa pernikahan yang telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan adalah sah, karena telah terpenuhinya ketentuan shari’at.[1] Sebagaimana fakta dari pernikahan siri, sering disebut pernikahan dibawah tangan, atau pernikahan yang tidak dicatatkan kepada lembaga Negara, adalah pernikahan yang sah menurut ketentuan shari’at, meskipun tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama atau Lembaga Pencatatan Sipil. Pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, yang berhak dijatuhi sanksi hukum. 

Sebagaimana dalam Undang-undang Perkawinan, bahwa; pernikahan yang sah adalah pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama masing-masing, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 4. 

Ketentuan-ketentuan diatas, lebih menitik beratkan kepada terpenuhinya syarat dan rukun pernikahan. Jika pernikahan yang dilaksanakan belum memenuhi syarat dan rukun pernikahan, atau dengan kesengajaan meniadakan salah satu dari ketentuan syarat dan rukun, maka pernikahan dinyatakan tidak sah oleh keduanya.

2. Status anak yang dilahirkan adalah anak sah.

Sebagaimana diungkapkan Sayyid Sabiq, yang berbunyi;

Anak yang sah dalam pandangan shara’ adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah secara shara’. …”[2]

Ungkapan di atas, memperjelas status anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah secara shar’i adalah anak sah dari kedua orang tua tersebut. Sebagaimana Undang-undang Perkawinan, Pasal 42 dinyatakan; bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kompilasi Hukum Islam, Pasal 99: anak yang sah adalah (1) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan sah. (2) hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim yang dilahirkan oleh isteri tersebut. 

3. Anak memiliki hubungan nasab dengan ayah kandungnya atau laki-laki dari perempuan yang melahirkannya. 

Bahwa bahwa anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah memiliki status dan hubungan kepada kedua orang tuanya. Sehingga dinasabkan kepada suaminya. Sebagaimana riwayat Abu Hurairah r.a:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال الولد للفراش و للعاهر الحجر

anak-anak yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan anak  itu) dan bagi pezina adalah rajam”.[3]

Pasal 100;

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Hubungan nasab dalam ketentuan Undang-undang Perkawinan Indonesia merupakan kesatuan hubungan yang tidak dititik beratkan pada salah satu garis keturunan ayah atau ibunya, melainkan kepada keduanya secara seimbang. Namun  seorang anak menjadi tanggung jawab bersama antara isteri dan suami, serta memiliki hubungan nasab kepada kedua orang tuanya, hingga anak dewasa atau telah menikah. Kecuali jika status anak diluar perkawinan sah, sehingga anak hanya memiliki hibungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, atau jika kekuasaannya telah dicabut oleh Pengadilan.  

4. Perwalian nikah anak perempuan yang dilahirkan dari pernikahan yang sah tersebut adalah perwalian ayah atau nasab. 

Sebagaimana bunyi hadith riwayat Abu Hurairah di atas;

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال الولد للفراش و للعاهر الحجر

Anak-anak yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan anak itu) dan bagi pezina adalah rajam[4]

Hadith di atas memperjelas hubungan seorang anak dengan ayah kandungnya, sehingga status perwalian nikah bagi perempuan tersebut adalah nasabnya, terlepas apakah wali menjadi syarat sah pekawinan atau tidak.

Dalam Undang-undang Perkawinan, Pasal 47 (1) anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.[5]

 Pasal 50 ayat (1)

"Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya".

Selanjutnya pasal 51 ayat (2) atau KHI pasal 107 ayat (4) menyatakan,

"Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik". 

Pasal 20 ayat (1) KHI menyatakan,

"Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, akil dan baligh".

Memahami kontek perwalian anak perempuan dari pernikahan yang sah (terpenuhinya syarat dan rukun), baik fikih maupun Undang-undang Perkawinan memiliki kesamaan, yaitu kedua orang tuanya atau wali nasab. Dan secara teoritis Undang-undang

Perkawinan tidak menyebutkan laki-laki menjadi syarat wali, akan tetapi dalam prakteknya laki-laki menjadi syarat perwalian dan perkawinan, sebagaimana dalam fikih dan juga tertuang dalam KHI. Itu artinya haruslah laki-laki yang menjadi wali nikah.

C.  Perbedaan

1. Pembuktian keabsahan pekawinan.

Bahwa perkawinan dinyatakan sah oleh Negara bila memenuhi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sebagaimana pasal 2 ayat (1) dan ayat (2). Ayat (1) berbunyi:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[6]

Pasal tersebut diberi penjelasan resmi yang termuat dalam penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, angka 4 huruf b yang berbunyi:

Bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[7]

Makna yang terkandung dalam rumusan peraturan yang termuat dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) di atas, harus kita pahami sebagai satu kesatuan aturan hukum, bukan ketentuan aturan yang terpisah. Artinya ayat (1) tidak berdiri sendiri dan ayat (2) juga tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu, perkawinan akan menjadi sah menurut hukum agama dan negara apabila ketentuan kedua ayat itu dipenuhi dan dilaksanakan.

Dengan melaksanakan ayat (1) saja, perkawinan menjadi tidak sah, karena perkawinan tersebut tidak dicatat oleh negara. Begitu pula dengan hanya melaksanakan ayat (2) saja, tetapi tata cara pelaksanaan perkawinan itu bertentangan dengan hukum masing-masing agama seperti yang disebutkan dalam ayat (1), maka perkawinan itu tidak sah.

Apalagi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 10 ayat (3) mengatur, bahwa disamping tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya, perkawinan juga harus “dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.[8]

Setiap perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya, harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan oleh instansi pemerintah yang berwenang yaitu KUA. Dengan pencatatan pernikahan tersebut, maka akan diterbitkan bukti otentik berupa akta nikah sebagai bentuk pengesahan nikah sesuai pasal 2 ayat (1) dan (2) secara utuh dan pasal 13 ayat (1) dan (2). 

Ketentuan Undang-undang Perkawinan untuk mencatatkan pernikahan tersebut adalah untuk melindungi ikatan pernikahan dari hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari. Meskipun shara’ tidak mewajibkan adanya ketentuan pencatatan tersebut, tetapi kebijakan Pemerintah dalam rangka mengatur ketertiban di masyarakat adalah hal yang wajar dan berlaku bagi yang dipimpinnya. Sebagaimana qaidah fiqhiyah yang bebrbunyi;

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

Kebijakan pemimpin itu wajib diikuti oleh rakyatnya jika untuk mencapai kemaslahatan”.[9]

2. Penetapan status hubungan nasab hanya bisa dibuktikan dengan adanya Akta Perkawinan.

Memperhatikan beberapa ketentuan, diantaranya Pasal 42 menyatakan; bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. 

Pasal 45 (1)

Kedua orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) ini berlaku sampai anak itu kawin atau anak itu dapat berdiri sendiri. Kewajiban akan berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua terputus

Pasal 99:

Anak yang sah adalah (1) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan sah. (2) hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim yang dilahirkan oleh isteri tersebut.[10]

Pasal 103: (1)

Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.

Pasal 103: (2)

Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.

Pasal 103: (3)

Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut pada ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan Akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan

Sehingga dapat disimpulkan, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak memiliki bukti otentik, dinyatakan sebagai anak diluar perkawinan, dan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Bukti otentik itu berupa; akta nikah sebagai keabsahan perkawinan (KHI pasal 7 ayat (1) dan akta kelahiran (UU No.1 atau 1974 pasal 55) sebagai bukti adanya hubungan nasab anak dengan kedua orang tuanya.

Pada akhirnya bila dicermati dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang Hukum Perkawinan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan ini biasa disebut dengan kekuasaan orang tua, yakni timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.

Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan keluarga ibunya. Agaknya dapat dinyatakan mafhum mukhalafah dari pernyataan tersebut bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam bentuk; nasab; hak dan kewajiban secara timbal balik. 

3. Wali hakim adalah wali anak perempuan yang lahir di luar perkawinan. 

Sebagaimana status anak diluar nikah, hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 51 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan,

"Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik".

Undang-undang Perkawinan dalam hal wali mensyaratkan dewasa, sehat pikiran, adil, jujur dan berkelakuan baik bagi wali, tanpa mensyaratkan laki-laki. Khusus mengenai wali nikah Undang-undang Perkawinan tidak menjelaskan apakah perempuan boleh menjadi wali.

Namun demikian karena Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga merupakan hukum tertulis dan juga menjadi acuan bagi pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mensyaratkan laki-laki sebagai wali nikah. Pasal 20 ayat (1) KHI menyatakan,

"Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, akil dan baligh".

Syarat perwalian atau wali menurut Undang-undang Perkawinan ialah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, berkelakuan baik. Secara teoritis Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan laki-laki menjadi syarat wali, akan tetapi dalam prakteknya laki-laki menjadi syarat dalam perwalian dan perkawinan, karena demikian menurut KHI. Itu artinya haruslah laki-laki yang menjadi wali nikah.

Jika memperhatikan perwalian di atas, bahwa kekuasaan perwalian dilakukan oleh seorang laki-laki yang memenuhi syarat secara hukum islam, dan dari pernikahan yang sah. Jika perkawinan dinyatakan tidak sah secara Undang-undang, maka hubungan keperdataan hanya kepada ibu, sehingga perwalian menjadi terputus.

Seorang ibu atau perempuan tidak dapat menjadi wali dalam pernikahan anak perempuannya, dan anak perempuan tersebut tidak memiliki wali. Bagi perempuan yang tidak memiliki wali, kewajiban perwalian diberikan kepada penguasa atau hakim.

Sebagaimana hadith;

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لا نكاح إلا بولي و شاهدي عدل و ما كان من نكاح على غير ذلك فهو باطل فإن تشاجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

Dari Aishah sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Dan pernikahan yang dilangsungkan tanpa hal itu adalah batal. Jika para wali berselisih, maka penguasa menjadi wali bagi mereka yang tidak memiliki wali.”[11]   

Peraturan Menteri Agama RI No. 30 tahun 2005 tentang wali hakim, menyatakan:

Pasal 1 ayat (2),

Wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.

Tentang wali hakim ialah:

"Kepala Negara yang beragama Islam yang mempunyai kekuasaan yang boleh mengangkat orang lain menjadi wali hakim untuk menikahkan seseorang perempuan yang berwali hakim".[12]

Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas ketentuan-ketentuan tentang wali hakim. Namun demikian KHI memberi rumusan wali hakim sebagaimana termaktub pada pasal 1 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam (KHI),

"Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah".

Peraturan Menteri Agama RI No. 30 tahun 2005 tentang wali hakim, menyatakan: 

Pasal 1 ayat (2),

Wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai perempuan yang tidak mempunyai wali.

Pasal 2 ayat (1),

Bagi calon mempelai perempuan yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri atau di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhol maka pernikahnya dapat dilangsungkan dengan wali hakim.




[1] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 541.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 11.
[3] Ibn al-Hajr al-Asqalani, Fath al-Bari’, 127.
[4] Ibid., 127
[5] Dirjen Bimas Islam, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, 29.
[6] Departemen Agama, Pedoman PPN dan P3N, 13.
[7] Ibid., 30.
[8] Ibid., 91.
[9] Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuti, Al-Ashbah wa Al-Nadair.  126
[10] Ibid., 137.
[11] Imam Ahmad bin Hambal, al-Musnad, 516.
[12] Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syari`at Islam (Medan: Universitas Dharmawangsa, 1983), 53.

No comments:

Post a Comment