Dalam
kehidupan sehari-hari, sering terjadi seorang anak perempuan yang dipaksa
menikah oleh ayahnya. Karena merasa tidak cocok atau ada alasan lain semisal ingin
melanjutkan pendidikannya, si anak pun menolak. Kalaupun menerima, tidak dengan
sepenuh hati.
Setiap
insan tentu ingin membina rumah tangga dengan jalan melangsungkan perkawinan.
Suatu keinginan yang mulia dan sangat wajar. Tak seorang pun mengingkari, dalam
diri manusia terdapat hajah atau syahwah jinsiyyah (kebutuhan atau
nafsu biologis), yang sengaja diberikan oleh Allah Swt. Untuk menjaga
perkembang-biakan manusia (tannasul) sebagai prasyarat proses imarah al-ardh
(memakmurkan bumi) secara berkesinambungan. Sudah pasti pula, perkawinan
tersebut diharapkan dapat memberikan kebahagiaan lahir batin, suatu keadaan
yang sering diistilahkan dengan penuh mawaddah, mahabbah, dan rahmah.
Karenanya gagasan tentang “rumahku surgaku di dunia” dapat menjadi nyata.[1]
Kiranya
disepakati, penentuan calon pendamping baik istri maupun suami merupakan masalah
yang paling serius bagi yang berhasrat akan menikah. Proses tersebut
hendaknya dilakukan dengan penuh
kehati-hatian, karena akan sangat mempengaruhi secara langsung terhadap tujuan pencapaian perkawinan yang diidealkan.
Permasalahannya menjadi agak rumit, tatkala
dalam memilih jodoh ternyata seseorang
tidak bisa lepas dari keterlibatan orang tua, sebagai pihak yang menjadi
perantara kehadirannya di dunia.[2]
Di
samping alasan moral tersebut, orang tua juga merasa memiliki alasan ikut menentukan
sang calon, berupa keinginan membahagiakan anaknya, menjaga nama baik, meneruskan
misi, dan lain-lain serta serangkaian cita-cita yang sangat wajar dan normal bagi
mereka. Keterlibatan mereka akan menyebabkan terjadi proses tarik-menarik antara
harapan dan kepentingan si anak dengan harapan dan kepentingan orang tua, yang
memang tidak selamanya sama. Bahkan kadang-kadang cenderung berlawanan, misalnya
anak menginginkan suami yang sederhana asal berbudi luhur, sedangkan orang tua lebih
memprioritaskan aspek material daripada pertimbangan moral keagamaan.[3]
Perbedaan
tersebut pada gilirannya akan mengakibatkan adanya ketidak-samaan dalam membuat
kriteria calon yang diinginkan, yang kalau tidak bisa dikompromikan lewat
pencarian solusi yang memuaskan kedua pihak, tidak mustahil akan terjadi perbuatan-perbuatan
yang nekat dan irasional, seperti kawin lari, bunuh diri, atau menjerumuskan diri ke dalam dunia hitam yang
justru merugikan diri
sendiri. Hal tersebut adalah suatu kenyataan yang sangat disesalkan.
Selanjutnya,
bagaimana sikap (ulama atau ahli fiqh) dalam masalah tersebut? Ini merupakan permasalahan
yang layak untuk dikedepankan di tengah-tengah
giatnya upaya emansipasi perempuan pada zaman ini yang kadang-kadang secara salah kaprah
dimengerti sebagai persamaan dalam segala aspek kehidupan tanpa melihat
sisi-sisi perbedaan sehingga terjebak dalam sikap ifrat.[4]
Dalam
mazhab Syafi’i, sebagaimana termaktub pada literatur-literatur fiqihnya,
ternyata diakui adanya wali mujbir (bapak atau kakek) yang memiliki hak memaksa
anak perempuannya yang masih perawan. Hak ijbar tidak berlaku untuk perempuan bukan
perawan untuk menikah dengan laki-laki tanpa persetujuannya.[5]
Pendapat
tersebut secara implisit mengakui orang tua sebagai pihak yang lebih tahu dan berpengalaman
menentukan pasangan anaknya. Nilai lebih itu kemudian dilengkapi adanya rasa kasih
sayang yang sudah menjadi fitrahnya. Perpaduan antara pengalaman,
kebijaksanaan, dan kasih sayang ini bisa berjalan sebagaimana mestinya
tampaknya cukup menjamin hak memaksa yang dimiliki tidak akan membawa pada
keputusan keliru.[6]
Namun
sangatlah berbahaya, bila masalah hukum hanya didasarkan atas kasih sayang semata.
Karena hak ijbar (memaksa) tersebut hanya
bisa diberlakukan, jika telah memenuhi beberapa
persyaratan yang sangat ketat, seperti antara anak dan wali tidak terjadi permusuhan yang jelas diketahui masyarakat
sekitar, anak tidak terlibat permusuhan dengan calon pasangan, baik secara terang-terangan
maupun tidak, sang calon harus setara dan kaya dalam arti mempu memenuhi
kewajiban-kewajibannya sebagai suami dan mampu pula membayar mahar. Kalau
keempat syarat tersebut tidak dipenuhi, pernikahannya tidak sah.[7]
Selain
itu, ada satu hal lagi yang bila tidak dipenuhi, maka sang wali berdosa, meski pernikahannya
tetap sah, yaitu jumlah mahar tidak kurang dari mahar misil (sesuai dengan
mahar yang diterima saudara-saudara perempuan dan kerabatnya). Berupa mata uang
yang lazim digunakan di daerahnya serta diserahkan secara kontan. Ketentuan
itu secara lengkap dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Mazahib Al-Arba’ah.
Yang dimaksud setara atau dalam bahasa arabnya al-kufu ialah sederajat atau
setingkat dalam aspek, nasab status (kemerdekaan, profesi
dan agama).
Perempuan
yang salehah tidak setara dengan laki-laki yang tidak bermoral. Perempuan yang berasal
dari keluarga dengan profesi terhormat tidak setara dengan yang berprofesi
kurang terhormat.[8]
Kesetaraan itu merupakan hak anak dan orang tua. Si anak berhak menolak dikawinkan
dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya, orang tua juga berhak
menolak keinginan anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Jika
seorang perempuan mempunyai hasrat menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang
tua tidak boleh menolak atau melakukan al-‘adlul.[9]
Perlu
juga diperhatikan, hak ijbar yang telah memenuhi syarat tersebut, menurut Muktamar
Nahdlatul ‘Ulama, hanya diperkenankan jika tidak dikhawatirkan membawa akibat yang
fatal. Lebih jauh disinggung bahwa yang dimaksud “diperkenankan” pada kasus
ijbar di sini bukan berarti mubah, melainkan makruh, yang berarti perkawinan
semacam itu sebaiknya tetap dihindari. Sebaliknya dianjurkan (sunnah) meminta
izin dan persetujuan si anak. Hak ijbar juga di jumpai dalam Mazhab Maliki, dan
Hanbali.[10]
Selain
pendapat tersebut, ada juga ulama yang tidak mengakui hak ijbar terhadap anak
perempuan yang telah balig secara mutlak, baik perawan maupun janda. Mereka
adalah pendukung mazhab Hanafi. Pendapat itu sangat beralasan. Sebab jika dalam
masalah jual beli saja unsur taradli (kerelaan, lawan dari ikrah,
paksaan) menjadi syarat keabsahan akad, tentu hal yang sunnah, bahkan lebih baik,
juga berlaku dalam perkawinan yang jauh lebih penting. Karena hal ini mencakup
kehidupan seseorang secara langsung dalam jangka panjang. Pendapat itu
diperkuat asumsi, adalah hak setiap manusia menentukan nasib sendiri.[11]
Di
samping alasan-alasan rasional, mereka juga menyalurkan dalil tekstual (naqly)
berupa hadits riwayat Imam Ibnu Majah yang dinukil dalam isi kitab Al-Halal
wa Al-Haram fi Al-Islam, yang mengesahkan tentang seorang perempuan datang kepada
Rasulullah Saw. mengadukan nasib telah dinikahkan bapaknya dengan anak laki-laki saudaranya
(keponakan) yang tidak disukainya. Akhirnya Rasulullah Saw menyerahkan urusan perkawinan
kepadanya. Dalam arti, dia diberi hak membatalkan perkawinan tersebut. Anehnya
dia tidak mau, bahkan berkata, “Saya memperbolehkan tindakan bapakku, cuma saya
ingin memberitahukan kepada para perempuan bahwa orang tuanya tidak berhak
apa-apa atasnya. Artinya mereka tidak berhak memaksa.”[12]
Pertimbangan-pertimbangan
itulah yang mungkin mendorong Tim Perumus Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang
menjadi pedoman para hakim di pengadilan-pengadilan agama di Indonesia, pada
bab IV tentang Rukun dan Syarat Perkawinan, pasal 16, bagian dari buku 1 tentang hukum perkawinan menetapkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Ketentuan
itu selanjutnya diperjelas lagi dengan Pasal 17 sebagai konsekuensinya yang
berbunyi, “Bila ternyata
perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinan
itu tidak dapat dilangsungkan.”
Dari
uraian itu dapatlah ditarik kesimpulan, persetujuan calon mempelai hendaknya
mendapat perhatian sewajarnya. Meminta persetujuan si anak, selain dianggap baik
dari sisi pengamatan ajaran Rasulullah Saw., juga didukung kaidah fiqh al-khuruj
min al-khilaf mustahab, keluar dari perbedaan dengan mengompromikan
pendapat yang berbeda-beda adalah sunnah.[13]
No comments:
Post a Comment