KEDUDUKAN MAHAR DAN MAKNA FILOSOFIS PEMBERIAN MAHAR


Para ulama madzhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu syarat atau rukun akad, tetapi merupakan suatu konsekuensi adanya akad.[1] Mahar merupakan akibat dan salah satu hukum dari sebagai hukum dalam  suatu perkawinan yang shahih, dan hubungan sebadan sesudah terjadinya perkawinan yang fasid (batal), serta hubungan sebadan yang disebabkan kesamaran. Mahar wajib atas suami untuk istrinya dengan adanya akad nikah yang shahih.[2]

Islam sangat menentang diskriminasi laki-laki terhadap kaum wanita dan inilah keistimewaan syari’at Islam. Kedudukan kaum wanita pada zaman Jahiliyah sangat nista, sebagai budak yang sangat hina. Mereka diperjual belikan sebagaimana barang dagangan yang murah dan sama sekali tidak dihormati. Mereka berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan yang lain, tak ubahnya barang dagangan, dari satu ahli waris ke ahli waris lainnya. 

Pada masa itu apabila seorang laki-laki meninggal, maka sanak kerabatnya dapat mewarisi istrinya sebagaimana mereka mewarisi harta kekayaanya. Islam datang untuk menyelamatkan kaum wanita dari kedzaliman dan penindasan tersebut. Islam datang bukan hanya mengembalikan atau menempatkan mereka pada posisi yang terhormat, tetapi juga mengakui kemanusiaan mereka serta hak-hak yang mereka miliki, sebab pengakuan terhadap hak dan kemanusiaan tidak mereka terima pada sistem perundang-undangan buatan manusia.[3]

Pada zaman jahiliyyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya semena-mena dapat menggunakan hartanya dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya serta menggunakannya, lalu Islam  datang menghilangkan  belenggu  ini. Istri diberi hak mahar serta suami diberikan kewajiban membayar mahar kepadanya bukan kepada ayahnya.[4] Turunlah firman Allah ayat 19 surat an-Nisa’:

Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena ingin mengambil sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya”. (Qs. an-Nisa: 19)

Islam mengatur hak-hak yang dapat dimiliki oleh isteri atas suaminya, yang pada zaman Jahiliyah, wanita tidak mempunyai hak sama sekali. Pertama, hak kebendaan seperti maskawin dan uang belanja. Kedua, hak bukan benda, misalnya perlakuan yang adil di samping isteri-isteri lainnya apabila suami mempunyai isteri lebih dari satu. 

Di samping itu ada akibat hukum yang harus dilaksanakan dalam kehidupan suami isteri. Akibat hukum itu berupa hak-hak di antara keduanya, hak-hak tersebut adalah:

a. Hak isteri atas suaminya.

b. Hak suami atas isterinya.

c. Hak bersama antara suami dan isteri.[5]

Mahar merupakan hak murni perempuan yang disyaria’tkan untuk  diberikan kepada perempuan sebagai ungkapan keinginan pria terhadap perempuan tersebut, sebagai salah satu tanda kasih sayang calon  suami terhadap calon istri, dan suatu pemberian wajib sebagai bentuk penghargaan calon suami kepada  calon  istri  yang  dilamar, serta sebagai simbol untuk memuliakan, menghormati dan membahagiakan perempuan yang akan  menjadi istrinya. 

Adanya kewajiban memberikan mahar kepada istri, terbentanglah tanggung jawab yang besar dari suami untuk memberikan nafkah di dalam kehidupan rumah tangga secara layak, firman Allah yang terdapat dalam Qs. an-Nisa ayat 34:

Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (Qs. an-Nisa: 34)

Mahar yang diberikan, boleh berupa barang (harta kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat (mahar non materi). Berupa barang, diisyaratkan  haruslah barang itu berupa sesuatu yang mempunyai nilai  atau harga, halal dan suci, sedangkan kalau berupa jasa atau manfaat, haruslah berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik. 

Dasar yang membolehkan hal ini adalah yang menerangkan bahwa Rasulullah pernah menikahkan sahabatnya dengan mahar berupa sebentuk cincin yang terbuat dari besi. Demikian pula, Beliau pernah menikahkan sahabat lain dengan mahar berupa jasa dari calon suami dengan mengajarkan al-Qur’an kepada calon istrinya.[6]





[1] Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Afif Muhammad, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2001, hlm. 366.
[2] Ahmad al-Hajji al-Kurdi, Op. Cit., hlm. 33.
[3] Ahmad Mudjab Mahalli, Wahai Pemuda Menikahlah, Jogjakarta: Menara Kudus, Cet. I, 2002, hlm. 145.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah III, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta:  Cakrawala Publishing, 2008, hlm. 40.
[5] H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), Jakarta: Pustaka Amani, edisi II, 2001, hlm. 129.
[6] Departemen Agama RI., Op. Cit., hlm.  668.

No comments:

Post a Comment