SYARAT-SYARAT WALI


Wali dalam pernikahan diperlukan, dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu, seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah:

a.     Islam (orang kafir tidak sah menjadi wali).

b.     Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali).

c.     Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali).

d.     Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali).

e.     Adil (orang fasiq tidak sah menjadi wali).

f.      Tidak sedang ihrom atau umroh.[1]

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut: (1) merdeka, (2) berakal sehat dan (3) dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri, apalagi terhadap orang lain. Syarat ke (4) untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula, sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam.[2]

  Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 141,

 “… Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin…” 

Sedangkan dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, syarat-syarat menjadi wali adalah:

a.     Beragama Islam.

b.     Baligh.

c.     Berakal.

d.     Tidak dipaksa.

e.     Terang lelakinya.

f.      Adil (bukan fasiq).

g.     Tidak sedang ihram haji atau umrah.

h.  Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (Mahjur bi al-Safah).

i.      Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.[3]

Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa persyaratan untuk menjadi wali secara umum adalah:

a.     Islam

Orang yang bertindak sebagai wali bagi orang Islam haruslah beragama Islam pula, sebab orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi wali bagi orang Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 141,

"…Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin.”

b.     Baligh

Anak-anak tidak sah menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan berpikir dan bertindak secara sadar dan baik.[4] Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW. dalam sabdanya, 

عن علي رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال رفع القلم عن أمتي عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ و عن الصبيّ حتى يحتلم و عن المجنون حتى يفيق (رواه أبو داود)

Dari Ali dari Nabi SAW. bersabda: Dibebaskannya tanggungan atau kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu : orang yang sedang tidur sampai ia terbangun dari tidurnya, anak kecil sampai ia bermimpi (baligh) dan orang gila sehingga ia sembuh dari gilanya.”[5]  

Hadits di atas memberikan pengertian bahwa anak-anak tidak berhak menjadi wali. Ia dapat menjadi wali apabila telah dewasa.

c.     Laki-laki

Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah saw: 

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تزوّج المرأة نفسها (رواه ابن ماجه و الدارقطني)

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW. bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni).[6]

d.     Berakal

Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali harus bertanggung jawab, karena itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya atau gila atau juga orang yang berpenyakit ayan tidak dapat memenuhi syarat untuk menjadi wali. Jadi, salah satu syarat menjadi wali adalah berakal dan orang gila tidak sah menjadi wali.[7]

e.     Adil

Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasiq, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.[8]

Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw: 

عن عمران بن حصين عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لا نكاح إلا بوليّ و شاهديّ عدل (رواه أحمد بن حنبل)

Dari Imran Ibn Husein dari Nabi saw. bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”    (HR. Ahmad Ibn Hanbal).

Berdasarkan hadits di atas, maka seseorang yang tidak cerdas dan tidak mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan.

Untuk menentukan seseorang wali itu bersifat adil atau fasiq adalah dilihat dari segi zahir atau luar saja, karena untuk menilai kefasiqan secara batin adalah sulit. Jika yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali adalah sultan atau raja yang fasiq, maka kewaliannya tetap sah karena dilihat dari segi kebutuhannya terhadap wali raja. 

Sebagian besar ulama mutaakhirin dalam mazhab Syafi’i seperti Imam al-Ghazali, telah mengeluarkan fatwa bahwa wali fasiq sah menjadi wali setelah mengucapkan istighfar dan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin telah mengingatkan bahwa seorang wali harus memperhatikan dan meneliti perilaku calon suami, jangan sampai menikahi saudara perempuan dengan seorang laki-laki yang tidak baik budi pekertinya atau lemah agamanya ataupun yang tidak sekufu (seimbang) dengan kedudukannya.

Dan apabila ia menikahkan puterinya dengan seorang laki-laki yang zalim, fasiq, lemah agamanya atau peminum arak, maka ia telah melanggar perintah agamanya dan saat itu juga ia akan mendapat murka dari Allah SWT, karena ia telah melalaikan persoalan silaturahim (hubungan tali persaudaraan) dan telah memilih jalan yang salah.





[1] Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-Undang dan Hukum Perdata (BW), Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981, hlm. 28.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz VI, terj. Beirut : Dar al-Fikr, 1968, hlm. 261.
[3] Departemen Agama RI,  Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1997 atau 1998,  hlm. 33.
[4] Abd al-Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan menurut Hukum Islam, Cet. Ke I, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1986, hlm. 48. 
[5] Al-San’ani, Subul al-Salam, Juz 3, Kairo: Dar Ihya’ Al-Turas Al-Araby, 1980, hlm. 179.
[6] Ibid., hlm. 120.
[7] Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Op. Cit., hlm. 28.
[8] Zakiah Darajat, Ilmu Fikih, jilid. 2, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995, hlm. 82.

No comments:

Post a Comment