Untuk
memperjelas syarat nikah maka lebih dahulu dikemukakan pengertian syarat baik dari segi etimologi maupun terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang
harus diindahkan dan dilakukan.[1] Menurut
Satria Effendi M. Zein, bahwa menurut bahasa, syarat adalah sesuatu yang
menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda,[2]
melazimkan sesuatu.[3]
Secara
terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung
adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu
mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti
pula adanya hukum.[4]
Hal ini sebagaimana dikemukakan Abd
al-Wahhab Khalaf,[5]
bahwa syarat adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada
keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan
ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaan secara syara’,
yang menimbulkan efeknya. Hal senada dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, asy-syarth
(syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak
adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak
pasti wujudnya hukum.[6]
Syarat
Pernikahan menurut Prof. Dr. Ainur Rofiq dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia
adalah sebagai berikut:[7]
a. Calon mempelai
laki-laki syaratnya adalah beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, dapat
memberikan persetujuan, tidak terdapat halangan perkawinan.
b. Calon mempelai
perempuan syarat-syaratnya adalah ber-agama, perempuan, jelas orangnya, dapat
dimintai persetujuannya, tidak terdapat halangan pernikahan.
c. Syarat wali
nikah adalah laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian dan tidak terdapat
halangan perwaliannya.
d. Saksi nikah,
syaratnya adalah minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab qabul, orang
yang dapat mengerti maksud akad, beragama Islam, orang yang telah dewasa.
e.
Ijab Qobul,
syaratnya adalah adanya pernyataan menikah-kan dari wali, adanya pernyataan
penerimaan dari calon mempelai pria, memakai kata-kata nikah atau tazwij
atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij, antara ijab dan qabul bersambungan,
antara ijab dan qabul jelas maksudnya,
orang yang berkait dengan ijab dan qabul tidak sedang dalam ihram haji
atau umroh, majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang
yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau
wakilnya dan dua orang saksi.
Sedangkan
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia di sebutkan syarat-syarat
pernikahan diantaranya:
Menurut
pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam
pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam.
Dan
dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin
ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang
dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum. Pasal 6 UU Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan
perkawinan, yaitu Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
Bila
calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin kedua
orang tua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila keduanya
telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,
maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mem-punyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
Dalam hal ada perbedaan
pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan
orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan. Ketentuan tersebut
tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya yang bersangkutan.
Sedangkan
syarat perkawinan menurut KUH Perdata adalah syarat material absolut yaitu asas
monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi
wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu
dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan
orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan,
larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan
memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1
tahun.
Berdasarkan
UU no. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam UU no. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi.
[1] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2004, hlm. 1114.
[2] Satria Effendi
M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 64.
[3] Kamal Muchtar,
Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 34.
[4] Alaiddin Koto,
Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004,
hlm. 50
[5] Abd al-Wahhab
Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm. 118.
[6] Muhammad Abu
Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 59.
[7] Rofiq, Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 50
No comments:
Post a Comment