HUKUM MENIKAH


Para fuqaha berbeda pendapat tentang status hukum asal dari pernikahan. Menurut pendapat yang terbanyak dari fuqaha madzhab Syafi'i, hukum nikah adalah  mubah (boleh), menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali hukum nikah adalah sunnat, sedangkan menurut madzhab Dhahiry dan Ibn Hazm, hukum nikah adalah wajib dilakukan sekali seumur hidup.[1]

Adapun hukum melaksanakan pernikahan jika dihubung-kan dengan kondisi seseorang serta niat dan akibat-akibatnya, maka tidak terdapat perselisihan di antara para ulama, bahwa hukumnya ada beberapa macam, yaitu:[2]

Pernikahan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk nikah dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup pernikahan serta ada kekhawatiran, apabila tidak nikah, ia akan mudah tergelincir untuk berbuat zina.[3]

Alasan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut. Menjaga diri dari perbuatan zina adalah wajib. Apabila bagi seseorang tertentu penjagaan diri itu hanya akan terjamin dengan jalan nikah, bagi orang itu, melakukan pernikahan hukumnya adalah wajib. Qa'idah fiqhiyah mengatakan, “Sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya adalah wajib”; atau dengan kata lain, “Apabila suatu kewajiban tidak akan terpenuhi tanpa adanya suatu hal, hal itu wajib pula hukumnya.” Penerapan kaidah tersebut dalam masalah pernikahan adalah apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan jalan pernikahan, baginya pernikahan itu wajib hukumnya. 

Pernikahan hukumnya sunnah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk nikah dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban dalam pernikahan, tetapi apabila tidak nikah juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina. 

Alasan hukum sunnah ini diperoleh dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi sebagaimana telah disebutkan dalam hal Islam menganjurkan pernikahan di atas. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa beralasan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi itu, hukum dasar pernikahan adalah sunnah. Ulama madzhab al-Syafi’i berpendapat bahwa hukum asal pernikahan adalah mubah. Ulama-ulama madzhab Dhahiri berpendapat bahwa pernikahan wajib dilakukan bagi orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak nikah.[4]

Pernikahan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup pernikahan sehingga apabila nikah juga akan berakibat menyusahkan istrinya. Hadits Nabi mengajarkan agar orang jangan sampai berbuat yang berakibat menyusahkan diri sendiri dan orang lain.[5]

Al-Qurthubi dalam kitabnya Jami li Ahkam al-Qur’an (Tafsir al-Qurthubi) berpendapat bahwa apabila calon suami menyadari tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar mahar (maskawin) untuk istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, tidak halal menikahi seseorang kecuali apabila ia menjelaskan peri keadaannya itu kepada calon istri; atau ia bersabar sampai merasa akan dapat memenuhi hak-hak istrinya, barulah ia boleh melakukan pernikahan.

Lebih lanjut al-Qurthubi dalam kitabnya Jami' li Ahkam al-Qur’an mengatakan juga bahwa orang yang mengetahui pada dirinya terdapat penyakit yang dapat menghalangi kemungkinan melakukan hubungan dengan calon istri harus memberi keterangan kepada calon istri agar pihak istri tidak akan merasa tertipu. Apa yang dikatakan al-Qurthubi itu amat penting artinya bagi sukses atau gagalnya hidup pernikahan. Dalam bentuk apa pun, penipuan itu harus dihindari. Bukan saja cacat atau penyakit yang dialami calon suami, tetapi juga nasab keturunan, kekayaan, kedudukan, dan pekerjaan jangan sampai tidak dijelaskan agar tidak berakibat pihak istri merasa tertipu.[6]

Hal yang disebutkan mengenai calon suami itu berlaku juga bagi calon isteri. Calon istri yang tahu bahwa ia tidak akan dapat memenuhi kewajibannya terhadap suami, karena adanya kelainan atau penyakit, harus memberikan keterangan kepada calon suami agar jangan sampai terjadi pihak suami merasa tertipu. Bila ia mencoba menutupi cacat yang ada pada dirinya, maka suatu hari masalah ini akan berkembang dengan pertengkaran dan penyesalan.

Bahkan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada diri calon istri, yang apabila diketahui oleh pihak colon suami, mungkin akan mempengaruhi maksudnya untuk menikahi, misalnya giginya palsu sepenuhnya, rambutnya habis yang tidak mungkin akan tumbuh lagi hingga terpaksa memakai rambut palsu atau wig dan sebagainya, harus dijelaskan kepada colon suami untuk menghindari jangan sampai akhirnya pihak suami merasa tertipu. 

Pernikahan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu dalam segi materiil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak khawatir akan terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istrinya, meskipun tidak akan berakibat menyusahkan pihak istri; misalnya, calon istri tergolong orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk nikah. Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu pernikahan dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh daripada yang telah disebutkan di atas.[7]

Pernikahan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila tidak nikah tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata nikah pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap istri. Pernikahan dilakukan sekedar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga keselamatan hidup beragama.[8]





[1] Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 3-4.
[2] Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hlm. 14 – 16
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 110.
[4] Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hlm. 14 – 16.
[5] Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 111.
[6] Sikap terus terang antara calon suami isteri sangat penting karena untuk membangun sikap jujur yang justru harus dimulai pada saat saling mengenal. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari sekap menyesal.
[7] Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hlm. 16
[8] Ibid, hlm. 16.

No comments:

Post a Comment