KITAB FIQIH YANG BEREDAR DI PESANTREN


Fiqih, di berbagai pesantren salaf/konfergensi di Indonesia, khususnya di Jawa, nama ini merupakan satu disiplin ilmu yang paling diminati dan sangat popular. Seorang santri rela tinggal dan belajar selama bertahun tahun, bahkan puluhan tahun di pesan­tren –dengan konsekuensi jadi bujang lapuk penuh sepi– untuk mendalami ilmu yang satu ini.

Fiqih begitu signifikan bagi kehidupan umat. Hal ini terjadi karena fiqih merupakan piranti pokok yang mengatur secara mendetail perilaku kehidupan umat selama dua puluh empat jam setiap harinya. Oleh karena itu wajar jika dikatakan bahwa fiqih adalah “Islam kecil” sedang Islam itu sendiri sebagai “fiqih besar” dalam konteks bahwa Islam sebagai the way of life para pemeluknya.[1] Sehingga tak ada satu pesantren pun yang tidak mengajarkan ilmu fiqih di dalamnya bahkan mereka yang selama ini mengusung suatu disiplin ilmu tertentu dalam pendidikan yang dikelolanya seperti pesantren ilmu alat, pesantren bahasa dan pesantren-pesantren spesialisasi lainnya.

Tentang kitab kuning fiqih sendiri, sulit memang menentukan kitab mana saja yang beredar di pesantren karena pesantren mempunyai hak preogatif untuk menentukan kurikulum dan kitab yang digunakan. Hal ini sebagai akibat dari kepemilikan absolut oleh pribadi Pengasuh. Kyai tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin dan pengasuh pesantren tapi juga sebagai owner atas pesantren itu sendiri.

Pribadi kyai inilah yang kemudian bicara tentang apa yang akan menjadi kebijaksanaan dan keputusannya untuk menentukan kitab mana saja yang dianggap sesuai untuk dijadikan bahan ajar di pesantren yang dimilikinya. Walau sekarang pada model pesantren ini kurikulumnya banyak disusun oleh para asatidz tapi tetap saja keputusan kyai tetap menjadi keputudsan final yang harus diikuti dan dipatuhi oleh semua unsur yang ada di pesantren. Kyai outhority, demikianlah gambaran penentuan kurikulum dan penentuan kitab-kitab kuning.

Kepemilikan Pesantren secara pribadi oleh kyai ini juga menimbulkan peran dominan dan dominasi kyai dalam setiap pengambilan kepengurusan, kyai sentris ini pada langkah selanjutnya menimbulkan ketergantungan pada diri santri sehingga simbol kyai menjadi unsur mutlak yang harus dimiliki sebuah pesantren di samping kitab kuning dan santri sehingga kemudian banyak pesantren yang bubar setelah sang kyai meninggal dan tidak ada penerusnya.

Latar belakang kehidupan kyai, latar belakang pendidikan dan pergaulan juga menjadi faktor yang dibalik kebijakan seorang pengasuh pesantren untuk menentukan kebijakan apa yang akan ia terapkan di pesantren yang ia miliki termasuk pada kitab apa yang akan ia gunakan. Tapi pemahaman Islam yang didasarkan pada keortodoksian tradisi kelimuan Islam yang dibangun mulai abad pertengahan Islam membuat pilihan-pilihan itu kemudian mengerucut pada fiqih yang berafiliasi pada 4 madzhab. Pada kasus pesantren yang memang banyak mengikuti madhhab Syafi’i yang banyak dianut oleh umat Islam di Asia Tenggara, maka kitab-kitab yang beredar di pesantren pun banyak yang berafiliasi pada fiqih-fiqih Syafi’iyah.

Dan pada umumnya kitab-kitab kuning yang beredar di Pesantren meliputi beberapa dimensi keilmuan yaitu ilmu alat (Gramatikal Bahasa Arab) meliputi nahwu, sharf, I’lal dan balaghah; Tauhid (teologi atau ilmu kalam); fiqih meliputi produk fiqih dan metodologi pengambilan hukum fiqih; al-Qur’an meliputi tafsir dan ulumul qur’an; hadist meliputi hadist dirayah dan hadist riwayah[2]; dan Tasawuf.

Sedangkan menurut Nurcholis Madjid, kitab-kitab kuning ini mencakup pada cabang-cabang ilmu hinnga 12 macam disiplin ilmu yang menurut Penulis pada intinya sama dengan apa yang disebutkan oleh penulis di atas. Ke 12 macam disiplin ilmu adalah nahwu, sharf, balaghah, tauhid, fiqih, qowaid fiqihiyah, tafsir, hadist, mushtalahul hadist, tasawuf dan mantiq.[3]

Dari semua cabang displin keilmuan itu ada beberapa disiplin keilmuan yang biasanya menjadi ciri khas sebuah Pesantren, misalnya Pesantren Tebuireng yang terkenal sebagai spelialisasi ilmu hadis, Pesantren PIQ Malang yang terkenal dengan ilmu al-Qur’annya, Rembang yang terkenal dengan fiqihnya. Akan tetapi, dari sekian ciri khas itu ada beberapa disiplin kelimuan yang mesti dipelajari di Pesantren yaitu Fiqih, ilmu alat dan al-Qur’an.

Dari ketiga disiplin kelimuan ini, fiqih adalah disiplin kelimuan yang mendominasi. Karena fiqih adalah berisi aturan main-aturan main dalam Islam mulai dari hal terkecil seperti buang air kecil hingga hal yang besar seperti kenegaraan. Fiqih juga selalu identik dengan syari’at, karena ia adalah bentuk kongkrit dari hukum Tuhan,[4] minimal demikianlah pendapat sebagian besar para agamawan Islam. Pengajaran fiqih juga mulai ada di Nusantara sejak sejarah pesantren sendiri diragukan keberadaannya.

Dalam ensiklopedi orang Eropa ke Jawa pada 1600-an telah menemukan Taqrib ( kitab fiqih yang dikarang oleh Abu Suja’) telah diajarkan disejumlah Pesantren di Jawa.[5] Hal yang sama juga disebutkan dalam serat Centini yang dikarang pada abad 19 awal. Tentang Kitab Taqrib sendiri hingga sekarang mayoritas Pesantren masih mengajarkannya pada tingkat dasar. Dari penelitian Martin Van Bruinessen (1995) tampak bahwa kitab fiqih mendominasi hingga 20 %, kitab-kitab ilmu Tauhid mencapai 17 %, kitab tentang ilmu alat mencapai 12 %.[6]

Nuansa fiqih selain terdapat dalam kitab-kitab fiqih sendiri secara spesifik juga bisa kita temukan pada pengajaran ilmu hadist dan Tafsir al-Qur’an. Dan dari dua sumber inilah hukum-hukum Islam ditelurkan, bahkan kitab al-U>m karangan al-Shafi’ie pun juga layak disebut sebagai kitab Hadist selain juga sebagi kitab fiqih karena di dalamnya banyak memuat-hadist-hadist nabawi.




[1] Ramlan Efendi, “Fiqih Dalam Islam”, dalam http//www.al-khoirot.com ditulis pada tanggal 08 Juni 2006
[2]Hadist Dirayah adalah cabang ilmu yang mempelajari hadist dari segi pembawa hadist dan sanad hadist.
[3]Tentang yang terakhir ini tidak semua Pesantren mengajarkannya, bahkan sebagian Pesantren mengharamkan pengajaran Mantiq karena menganggap  bahwa mantiq termasuk bagian dari Filsafat. Dan filsafat diharamkan oleh al-Ghozali yang banyak dirujuk oleh orang-orang Pesantren.
[4]Walau penganut paham Islam Liberal menolak hal ini. Bagi Islam Liberal Islam adalah sebuah norma dan tidak bisa dijadikan sebagai hukum baku dalam bermasyarakat
[5]Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, 28.
[6]Ibid., 134.

No comments:

Post a Comment