Berdasarkan makna yang dikandungnya nama-nama itu dapat diklasifikasikan kepada; nama wajib, nama sunnah, nama mubah, nama makruh dan nama haram. Masing-masing dapat dijelaskan berikut ini:
a. Nama wajib (nama yang maknanya terbaik)
Istilah “wajib” dalam hal ini tidak lain disesuaikan dengan nama-nama yang paling disukai oleh Allah SWT. Dan kita yakin bahwa apa yang disukai Allah SWT itu harus kita lakukan sebagai hambanya yang paling mulia.
Adapun nama wajib yang paling disukai Allah SWT adalah nama-nama yang maknanya menunjukkan penghambaan diri kepada Allah SWT. Rasulullah SAW menegaskan dalam salah satu hadisnya:
عن ابن عمر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أحبّ الأسماء الى الله تعالى عبد الله و عبد الرحمن (رواه أبو داود)[1]
Dari ibn Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya nama yang paling disukai oleh Allah SWT ialah Abdullah dan Abdurrahman”. (HR. Abu Dawud)
Ibnu Hadjar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari Bisyarh al-Sahih al-Bukhari, Juz X menerangkan, disukainya kedua nama tersebut oleh Allah SWT disebabkan karena beberapa faktor, yaitu:
1) Nama tersebut mengandung sifat wajib bagi Allah (untuk disembah) dan sifat wajib bagi manusia untuk menyembah, dan itu kewajiban utama seorang hamba kepada Tuhannya.[2]
2) Idhafah (rangkaian) kata abdun (penghambaan diri) dengan kata Allah atau kata ar-Rahman merupakan idhafah hakiki yang mengandung arti kemuliaan dan keutamaan di hadapan Allah SWT.[3]
3) Idhafah nama tersebut sesuai dengan firman Allah SWT,[4] seperti dalam surat al-Furqan ayat 63,
و عباد الرحمن الذين يمشون على الأرض هونا
“Dan hamba Allah SWT yang maha pengasih…”
Menurut al-Qurtubhi, nama lain yang sederajat dengan nama tersebut adalah: Abdurrahim, Abdul Muluk dan Abdus Shamad (Fath al-Bari, Juz X hlm. 570). Dengan kata lain, nama-nama yang berupa idhafah (rangkaian) kata abdun (penghambaan diri) dengan asma Allah yang terbaik atau Asma al-Husna masih termasuk dalam kategori nama yang terbaik yang disukai Allah SWT.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nama-nama yang termasuk dalam kategori nama wajib (nama yang paling disukai Allah) ialah nama-nama yang:
1) Langsung menggunakan lafal Abdullah dan Abdurrahman.
2) Menggunakan rangkaian kata Abdun dengan salah satu diantaranya nama-nama Allah SWT yang termasuk dalam Asma al Husna (99 nama terbaik bagi Allah SWT).[5]
b. Nama sunnah (nama yang maknanya baik)
Dasar untuk pengkategorian nama sunnah sama dengan nama wajib. Keduanya berdasarkan hadis-hadis yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. hanya saja, kalau nama yang wajib itu nama-nama yang disukai oleh Allah SWT, sedangkan nama yang sunnah itu nama-nama yang disukai oleh Rasulullah SAW atau yang diperintahkannya.
Di antara sabda Rasulullah SAW yang berkenaan dengan pengkategorian nama sunnah yaitu terdapat dalam hadis Nabi,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال النبي صلى الله عليه و سلم سموا بإسمي ... (متفق عليه)[6]
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Namailah (diri dan anak kalian) dengan namaku….”. (HR. Mutafaq alaih)
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW memerintahkan agar kita menamai anak kita atau diri sendiri dengan nama beliau yakni “Muhammad”. Selain nama Rasulullah SAW, nama-nama para nabi dan rasul lain juga termasuk dalam kategori nama yang baik dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dalam sebuah hadis Nabi,
عن أبي وهب الجشمي قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تسموا بأسماء الأنبياء (رواه أبو داود)[7]
Dari Abu Wahab al-Jasmy ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Namailah (diri dan anak kalian) dengan nama-nama para nabi …” (HR. Abu Dawud)
Termasuk dalam kategori nama sunnah pula ialah nama-nama yang maknanya mengandung kebaikan secara positif menurut padangan Islam. Seperti Sahal (mudah), Hamzah (pemberani) dan sejenisnya.
Jadi yang termasuk dalam ketegori nama sunnah misalnya:
1) Nama-nama yang menggunakan nama Rasulullah.
2) Nama-nama yang mengunakan nama para Nabi dan Rasul.
3) Nama-nama yang memiliki makna kebaikan positif dalam Islam sekalipun tidak berbahasa Arab.
c. Nama Mubah (nama yang tidak bermakna)
Jika nama yang maknanya terbaik, kita kategorikan ke dalam nama wajib. Dan nama yang maknanya baik kita kategorikan ke dalam nama sunnah, maka nama yang tidak bermakna atau maknanya tidak baik, kita kategorikan ke dalam nama mubah, dan masing-masing yang tidak baik itu sebaiknyalah diganti dengan nama yang lebih baik.
Banyak kita dapati di tengah masyarakat, orang tua memberikan nama kepada anaknya sekedar sebagai satu tanda tetapi kehilangan makna do’a dan dorongan agar anak itu menjadi baik. Sekalipun nama-nama yang nota benenya tidak bermakna itu pada dasarnya tidak tergolong buruk, tetapi jelas tidak bisa dikatakan baik, apalagi jika kata yang dijadikan nama itu artinya bermakna buruk.
Padahal Rasulullah SAW jelas-jelas memerintahkan agar membuat nama yang baik. Yakni nama yang mengandung arti dan makna yang baik menurut pandangan Islam. Oleh karena itu sebaiknya nama-nama yang arti dan maknanya tidak baik atau bahkan tidak bermaka itu diganti atau dirubah menjadi nama yang baik. Sehingga sesuai dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW dan insya’allah dapat membawa kebaikan bagi si empunya nama.
d. Nama Makruh (nama yang maknanya buruk)
Kategori nama makruh adalah nama-nama yang arti katanya, maknanya atau konotasinya “buruk”, tidak sesuai dengan dan misi Islam. Visi Islam identik dengan kebaikan yang bersifat manusiawi dan penghambaan diri kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Maka misinyapun mengajak kepada umat manusia agar mengakui derajat kemanusiaannya yang serba terbatas, menghambakan diri secara benar kepada Allah SWT Yang Maha Segala Maha.
Pada masa hidupnya, bila Rasulullah SAW mendengar nama tidak indah, beliau akan menggantinya dengan nama yang baik, misalnya hadis riwayat Abu Dawud:
عن سعيد بن المسيب عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه و سلم قال له ما اسمك؟ قال حزن قال أنت سهل قال لا السهل يوطأ و يمتهن قال سعيد فظننت أنه سيصيبنا بعده حزونة قال ابو داود و غيّر النبي صلى الله عليه و سلم اسم العاص و عزير و عتلة و شيطان و الحكم و غراب و حباب و شهاب فسماه هشاما و سمى هربا سلما و سمى المضطجع المبعث و ارضا تسمى عفرة سماها خضرة و شعب الضلالة شماه شعب الهدى و بنوا الزينة سماهم بني الرشدة و سمى ببني مغوية بني رشدة قال أبو داود تركت أسانيدها للإختصار (رواه أبو داود)[8]
Dari Sa’id bin Musayyab dari Bapaknya dari Kakeknya, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya, “siapa namamu?”. Ia menjawab, “Khazan”. Nabi bersabda, “kamu Sahal”. Ia berkata, “tidak, Sahal itu rendah dan hina”. Sa’id berkata, “saya mengira perbuatan itu akan mendatangkan kesusahan di kemudian hari”. Abu Dawud berkata, “Nabi SAW merubah nama al-‘Ashi, Uzair, ‘Utlah, Syaithan, al-Hakam, Ghurab, Habab, dan Syihab menjadi Hasyim. Nama Harb menjadi as-Salam, al-Mudltaji’ menjadi al-Munba’its, ‘Aqirah menjadi Khadlirah, Syi’budlalalah menjadi Sya’bul Huda, Banu Zinnah menjdai Banu Rusydah, Bani Mughawiyah menjadi Bani Risydah. Abu Dawud berkata, “aku tidak menyebutkan hadis ini semua demi ringkasnya periwayatan”. (HR. Abu Dawud)
Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam bukunya Tasmiyatul Maulud menuturkan point-point penting dalam pemberian nama, di antaranya nama yang makruh adalah sebagai berikut:
1) Nama yang tidak dicocoki oleh hati karena maknanya, lafadznya atau karena menyebabkan menjadi bahan olok-olokan, dan hal-hal lain yang menyusahkan si pemiliknya, seperti Harb, Murrah dan Fadhil.
2) Nama yang bermakna menjurus kepada syahwat, seperti Abiir (parfum), Nurhaad (montok payudaranya), Sya’diyah (penyanyi) dan Fatin (penggoda). Pada umunya nama-nama yang rendah ini adalah nama-nama wanita.
3) Memberi nama dengan nama-nama orang fasik yang sudah hilang rasa malunya, seperti nama para artis atau aktor, penari ular atau figuran.
4) Memberi nama dengan nama-nama yang mengandung makna dosa, kemaksiatan seperti dzalim, Sarriq (pencuri) dan Khaain (pengkhianat).
5) Memberi nama dengan nama-nama diktator atau penguasa tirani seperti Fir’aun dan Qarun.
6) Memberi nama dengan nama-nama hewan yang terkenal sifat-sifat buruknya seperti Hanasy (lalat), Kalbun (anjing), Kulaib (anjing kecil), Himar (keledai) dan lain-lain.[9]
e. Nama haram (wajib diganti)
Dalam Islam nama bukanlah sekedar nama. Karena selain ada nama yang paling disukai oleh Allah SWT Sang Pencipta, juga ada nama yang paling dibenci oleh-Nya. Inilah nama yang diharamkan dan wajib diganti.
Adapun nama-nama yang diharamkan itu tidak lain adalah nama yang maknanya menyamai kekuasaan Allah SWT dalam hadis riwayat Muslim dan Bukhari:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال عن النبي صلى الله عليه و سلم قال إن أخنع إسم عند الله تعالى رجل تسمى مالك الأملاك (رواه البخاري و مسلم)[10]
Dari Abi Hurairah ia berkata, dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya nama yang paling dianggap khianat di sisi Allah SWT Yang Maha Luhur ialah seorang yang bernama malakul amlak (raja diraja atau maharaja)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Manusia wajib mengakui sifat kemanusiaannya yang serba terbatas, dan mustahil bisa menyamai sifat maha segala maha-Nya Sang Pencipta. Nama yang agung dalam Asmaul Husna hanya berhak disandang oleh-Nya, bukan oleh selain Ia. Maka nama-nama yang maknanya menyerupai keagungan-Nya dengan menggunakan sighat muntahal jumu’ (merangkum segala makna yang terkandung di dalamnya) yang secara pasti di luar kemampuannya sebagai manusia yang serba terbatas berarti berusaha menyamakan diri dengan kemahakuasaan Allah (musyrik) yang jelas-jelas diharamkan.
Keharaman nama yang demikian itu secara tegas dilarang oleh Rasulullah SAW dalam hadis:
عن سمرة بن جندب قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تسمين غلامك يسارا و لا رباحا و لا نجيحا و لا أفلح فإنك تقول أثمّ هو فلا يكون فيقول لا (رواه مسلم)[11]
Dari Samrah bin Jundub ia berkata, Rasul SAW bersabda, “Jangan sekali-kali menamai anakmu dengan Yassar (Maha Mudah atau Maha Kaya), jangan nama Rabbah (Maha Beruntung), dengan Najihan (Maha Sukses), dan jangan pula dengan Aflah (paling beruntung) karena sekiranya kamu tanya, “benarkah demikan ? maka sangatlah mustahil dan pasti akan kujawab, tidak…” (HR. Imam Muslim)
Betapa seriusnya larangan dalam hadis tersebut. Selain menggunakan “la nahi” dan “nun taukid” yang sudah menunjukkan larangan yang amat sangat, masih juga disertakan “la nahi” pada setiap nama yang terlarang. Ini tentunya menunjukan sebuah keharaman yang tidak boleh tidak harus dihindarkan oleh setiap muslim dalam menamai anaknya ataupun menamani dirinya sendiri.
Larangan pemakaian nama ini kurang dipahami oleh orang tua muslim sehingga masih banyak orang tua muslim yang menggunakan kata-kata yang termasuk dalam Asma’ al-Husna sebagai nama bagi anaknya. Misalnya: Latifah, Muhaimin, Rahman, dan Aziz, tanpa adanya rangkaian kata Abdun, Abdul, Nur, dan Nurul. Sedangkan penggunaan kata-kata tersebut boleh bahkan menjadi wajib ketika dirangkai menjadi Abdurrahman, Nurul Latifah, Abdul Aziz, dan Abdummuhaimin.
Demikian halnya mengunakan nama rasul juga merupakan hal yang diperintahkan dan termasuk dalam kategori nama yang baik, tetapi menggunakan nama gelar beliau (seperti Abdul Qasim), adalah hal yang dilarang. Dalam sebuah hadis Nabi SAW ditegaskan:
عن ابي هريرة قال قال النبي صلى الله عليه و سلم سموا بإسمي و لا تكتنوا بكنيتي (رواه البخاري و مسلم)[12]
Dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Namailah (diri dan anak kalian) dengan namaku tetapi jangan namai dengan gelarku”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kemudian mengenai nama-nama yang haram, Bakr bin Abdullah bin Zaid lebih lanjut menjelaskan bahwa nama-nama yang haram adalah sebagai berikut:
1) Setiap nama yang mengandng pemahaman kepada selain Allah SWT seperti Abdul Rasul dan Abdul Husain
2) Termasuk kesalahan adalah memberi nama yang disangka merupakan nama Allah SWT padahal bukan seperti Abdul Maqsud dan Abdussattar.
3) Bernama dengan nama-nama Allah SWT seperti ar-Rahman dan al-Barri.
4) Nama-nama bukan Bahasa Arab dan nama tersebut digunakan oleh orang kafir seperti: Petrus, George, Diana dan Suzan.
5) Memberi nama yang tidak menggunakan Bahasa Arab dan tidak bisa diterima oleh Bahasa Arab seperti: Nariman, Sirihan, Syirin dan Jihan.
6) Bernama seperti nama Malakul Amlak, Sultanus Salatin (keduanya berarti raja diraja), Sayyidun Nas (pemimpin manusia) dan Sittunnisa’ (nama wanita).
7) Bernama dengan nama syetan seperti : Iblis, Khinzab dan Al-Wilhan.[13]
Menyadari hal itu, maka peran orang tua muslim hendaknya berhati-hati dalam menamai anaknya. Sekiranya tidak mengetahui atau kurang memahaminya. Lebih baik bertanya kepada para ulama’ Kyai orang yang mumpuni dalam hal menamai anak, baik yang mengunakan Bahasa Arab atau bahasa lainnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Naml ayat 43,
فاسئلوا أهل الذكر ان كنتم لا تعلمون
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahuinya”.
Perlu diingat sekiranya terlanjur menamai anak kita dengan nama yang diharamkan atau terlarang dan kemudian hari tidak ada yang merubahnya hingga si anak meninggal, maka akan berakibat fatal serta mencelainya di akhirat kelak.[14]
[1] Abi Dawud Sulaiman, Op. Cit., hlm. 289.
[2] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.) Juz X, hlm. 570.
[3] Loc.Cit.
[4] Loc. Cit.
[5] Nipan Abdul Halim, Op. Cit., hlm. 53.
[6] Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhori, Op. Cit., hlm. 79.
[7] Abi Dawud Sulaiman, Op. Cit., hlm. 289.
[8] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, Op. Cit., hlm. 291.
[9] Yahya Bin Said Ali Syalwa, Wahai Ayah dan Ibu, Didiklah Anakmu, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2003), hlm. 46-47.
[10] Muslim Abul Hasan, Shahih Muslim II, (Semarang: Toha Putra, t.t.), 259.
[11] Ibid., hlm. 257.
[12] Ibid., hlm. 256.
[13] Yahya Bin Sa’id Ali Syalwan, Op.Cit., hlm. 45-46.
[14] Nipan Abdul Halim, Op.Cit., hlm. 60-63.
No comments:
Post a Comment