Nipan Abdul Halim menyebut beberapa tujuan yang seharusnya menjadi pijakan orang tua muslim tentunya tidak lepas dari tiga hal secara bersamaan, yakni memenuhi kewajiban alami, mentaati perintah agama dan mendidik kesalehan anak.[1]
a. Memenuhi kewajiban alami
Semua yang ada di alam ini tak akan teridentifikasikan secara pasti tanpa nama-nama yang melekat padanya terlebih lagi isi alam yang menjadi mahluk paling mulia berupa manusia. untuk mengidentifikasi-kannya, manusia secara mutlak memerlukan sebuah nama yang secara otomatis menjadi sebuah kewajiban alami.
Manusia yang pertama kali diciptakan oleh Allah pun tidak lepas dari kewajiban alami. Allah SWT memberinya nama Adam, dan benda-benda yang berkenaan atau mengelilingi kehidupan beliaupun oleh Allah SWT diberikan nama sendiri yang kemudian diberitahukan kepada beliau. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT secara jelas dalam surat al-Baqarah: 31.
و علّم آدم الأسماء كلّها ثم عرضها على الملائكة
“Dan dia (Allah SWT) mengajarkan kepada Adam nama-nama semua (benda) yang kemudian disebutkannya terhadap para malaikat……”
Dengan demikian, ketika menamai anak para orang tua muslim tidak terlepas dari tujuan untuk memenuhi kewajiban alami yang satu ini. Karena tanpa sebuah nama, nyaris anak-anak yang terlahirkannya itu tidak terbilang sebagai manusia. Dengan nama yang diberikan itulah, maka anak terlengkapi unsur kemanusiaannya.
Dalam rangka menempatkan tujuan untuk memenuhi kewajiban alami tersebut, maka nama yang hendak diberikan mesti disesuaikan dengan jati dirinya anak itu sendiri. Sebagai mahluk termulia di alam raya ini. Tidak disamakan dengan nama binatang dan juga tidak disamakan dengan nama malaikat, apalagi nama kekuasaan dan keagungan Allah SWT.
b. Mentaati Perintah Agama.
Selain untuk memenuhi kewajiban alami, menamai anak hendaklah bertujuan pula untuk memenuhi perintah agama, sebagaimana hadis Rasulullah SAW:
عن الحارث بن النعام قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أكرموا أولادكم و أحسنوا أسمائهم (رواه ابن ماجه)[2]
Dari Kharis bin Nu’am ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Muliakanlah anak-anak kalian dan berilah mereka nama-nama yang baik”. (H.R. Ibnu Maajah)
Dengan menetapkan tujuan menamai anak untuk mentaati perintah agama, niscaya harapan yang dicanangkan di dalam nama yang diberikan kepada anakpun akan berupa harapan yang baik dan benar menurut kaca mata agama. Sebuah harapan mulia agar anaknya kelak tumbuh dewasa menjadi insan muslim yang taat menjalankan ajaran agamanya, mampu menghambakan diri kepada Allah SWT secara baik dan benar, serta mampu pula berhubungan baik dengan sesama makhluk ciptan-Nya.
Selain memiliki harapan yang jelas dan benar dengan menetapkan tujuan menami anak untuk mentaati perintah agama maka apa yang akan dilakukannya itu sudah barang tentu akan mendapatkan imbalan dari sisi Allah SWT.[3]
c. Mendidik kesalehan anak
Selain kewajiban memberikan nama yang baik kepada anak, salah satu kewajiban berat lainnya bagi orang tua terhadap anak tercintanya ialah mendidik dan mengarahkan menuju terbentuknya anak yang saleh, yang pandai menghambakan diri kepada Allah SWT secara baik dan benar, sekaligus pandai berhubungan sesama makhluk. Sehingga anak tersebut bisa terselamatkan dari sengatan api neraka.
Kewajiban tersebut merupakan instruksi langsung dari Sang Pencipta yang harus ditaati oleh setiap hamba-Nya yang beriman. Perintah ini secara tegas disampaikan dalam firman-Nya dalam surat al-Tahrim ayat 6.
يا أيّها الذين آمنوا قوا أنفسكم و أهليكم نارا
“Wahai orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga (anak, istri) kalian dari siksa api neraka…”
Menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka tidak lain harus dilakukan dengan cara mendidik diri dan keluarga menuju terbentuknya insan-insan yang saleh. Dan insan yang saleh itu sendiri tiada lain adalah insan yang pandai menghambakan diri kepada Allah SWT dan pandai berhubungan baik dengan sesama. Insan saleh yang demikian nantinya akan terjauh dari kehinaan dan siksaan api neraka.[4]
[1] M. Nipan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm. 64.
[2] Abi Abdillah M. Bin Yazid Al-Qazwany, Sunan Ibnu Majah 2, (Beirut: Dar al Fikr, t.th.), hlm. 1114 (hadits ke 3671).
[3] Nipan Abdul Halim, Op.Cit., hlm. 65.
[4] Nipan Abdul Halim, Op.Cit., hlm. 67.
No comments:
Post a Comment