HUKUM MENGERJAKAN SHALAT SUNNAH BAGI YANG SEDANG MENANGGUNG SHALAT QADHA MUBADARAH

download (18)
Persoalan qadha shalat sebenarnya bukan sesuatu yang aneh di kalangan pengikut mazhab Syafi'iyah karena memang dalam berbagai kitab dijelaskan mengenai kebolehan melaksanakan shalat yang tidak ditunaikan pada waktunya. Dalam kitab-kitab tersebut dijelaskan bahwa orang yang melewatkan kewajiban shalat karena tak ada uzur maka wajib baginya untuk segera melaksanakan shalat penggantinya (qadha).
Bagi orang yang memiliki tanggungan qadha shalat, maka selain untuk kepentingan mendesak, harus menggunakan seluruh umurnya untuk melaksanakan qadha tersebut. Dalam situasi demikian, ia diharamkan melaksanakan ibadah sunnah. Sedangkan, bagi orang yang melewatkannya karena ada udzur maka sunnah baginya untuk segera melaksanakan qadha.
Pada beberapa kitabnya KH. Rifa'i sering memberi penjelasan mengenai qadha mubdarah dalam konteks pelaksanaan ibadah sunnah bahkan ibadah wajib yang masuk dalam kategori tidak mendesak pelaksanaannya (wajib 'ain muwassa') seperti ibadah haji. Dalam kitab Syarh al-Iman ia menyatakan:
تن ودي اغ نرجع حرم دي حجة * غلبه وديني لن اسيهي علامة * ماريغ راجا كافر غروساك شريعة * اورا ودي إغ الله سيكساني نيغ آخرة * أكيه عالم لن حاج إغ كافر أنوتان أورا ودي إغ الله سبنري فغيران
Tidak takut melanggar haram yang diingini. Tanda-tandanya takut dan kasih sayangnya hanya ditujukan padaraja yang kafir yang merusak syari'at. Tidak takut pada siksa Allah di akhirat. Banyak orang 'alim yang ikut-ikutan haji tapi tetap dalam kekafiran dan tidak takut pada Allah sebenar-benarnya Tuhan.
Demikian pula dalam persoalan shalat jenasah, KH. Rifa'i berpendapat bahwa orang yang memiliki qadha mubdarah tidak dapat dianggap sebagai hitungan untuk melaksanakan wajib kifayah. Dalam hal ini ia menyatakan sebagai berikut:
ووغ دوي قضاء واجب مبادرة * إيكو الله أورا اذن دالم شرع وِناره * للوغان اورا واجب نجا دي أراه * باليك ياتا حرام لامون لومامفاه * ماريني عباده سنه كغ دي حراماكي * ديني فلغكراني شرع دي ويريداكي * حرام ووغ قضاء تمولي دي لاكوءكن * إيكو كاويا عباده كغ دي سنهاكي
Orang mempunyai qadha wajib segera shalat. Inilah Allah tidak mengizinkan dalam syara' yang ada. Bepergian tidak wajib disebabkan ada arah yang dituju. Sebaliknya malah haram kalau dilaksanakan. Meninggalkan ibadah sunnah yang diharamkan. Walaupun pelanggaran syara' diwiridkan. Haram orang yang mengqadha yang kemudian dlaksanakan itu jadikanlah ibadah yang disunnatkan.
Dengan penjelasan ini, maka dalam kehidupan sehari-hari, kalangan Rifa'iyah akan menjumpai banyak kesulitan mendasar untuk dapat melaksanakan ibadah sunnah berskala massal seperti tarawih, shalat ied, selama mereka masih merasa mempunyai tanggungan utang yang segera harus dibayar (qadha mubdarah) dengan Allah. Suasana demikian ini juga terjadi pada pelaksanaan shalat jenazah jika memang ada di antara mereka yang merasa masih memiliki tanggungan qadha mubdarah. Dari kalangan Rifa'iyah mengatakan: "Jangan heran jika dalam pelaksanaan shalat jenazah, ada orang-orang Rifa'iyah yang tidak bersegera ikut shalat. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki qadha mubadarah."
Pendapat KH.Ahmad Rifa'i jika dibandingkan dengan pendapat fuqaha maka dapat dijelaskan di bawah ini:
Para fuqaha sependapat bahwa orang yang terlupa dan tertidur, sehingga shalatnya tertinggal, diwajibkan mengqadha shalatnya. Pendapat ini berdasarkan hadits yang berbunyi:
عن أنس بن مالك ان النبي صلى الله عليه و سلم قال من نسي صلاة فليصلها اذا ذكرها لا كفّارة لها إلاّ ذلك (متفق عليه) و لمسلم اذا رقد احدكم عن الصلاة هو غفل عنها فليصلها اذا ذكرها فإن الله عز و جل يقول أقم الصلاة لذكري
Dari Anas bin Malik, "Bahwa Nabi saw telah berkata, 'Barangsiapa lupa satu shalat, maka shalatlah ketika ingat, tidak ada tebusan untuknya melainkan itu'." (H.r. Muttafaq Alaihi). Dan, bagi Muslim, dikatakan, "Apabila salah seorang di antara kamu tidur sebelum shalat atau lupa shalat, maka shalatlah ketika ingat. Karena Allah azza wa jallatelah Berfirman: 'Dirikanlah shalatkarena ingat kepada-Ku.[1]
Tetapi timbul perbedaan pendapat mengenai orang yang bersengaja meninggalkan shalat, apakah mereka wajib mengqadha shalat yang tertinggal atau tidak. Maka dalam masalah ini para fuqaha terbagi kepada dua pendapat:
Pendapat pertama yang berasal dari pendapat dalam kalangan mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan Hanafi berpendapat orang yang bersengaja meninggalkan shalat wajib mengqadla shalatnya.
Pendapat kedua, yang berasal dari pendapat mazhab Zahiri, Ibnu Hazmin dan salah satu riwayat dari Qasim dan Wazir dari mazhab Syi'ah, berpendapat orang yang meninggalkan shalat dengan bersengaja tidak wajib mengqadha shalatnya yang tertinggal dan kalau juga mereka mengqadha shalatnya, maka shalatnya dianggap tidak sah.
Sebab timbulnya perbedaan pendapat dalam masalah ini disebabkan dua hal: (a) apakah boleh menetapkan hukum dengan qiyas, dan (b) apakah boleh mengqiyaskan orang yang bersengaja dengan orang yang tidak bersengaja atau lupa.
Bagi orang yang berpendapat tidak boleh mempergunakan qiyas dalam menetapkan hukum agama, atau memperbolehkan memakai qiyas, namun tidak boleh mengkiaskan orang yang bersengaja dengan orang yang lupa, mengatakan tidak wajib qadha bagi orang yang bersengaja.
Bagi orang yang berpendapat boleh mempergunakan qiyas dalam menetapkan hukum dan boleh mengkiaskan orang yang bersengaja dengan orang yang lupa, mengatakan wajib qadha bagi orang yang bersengaja meninggalkan shalatnya.
Adapun pendapat pertama yang berpendapat wajib qadha bagi orang yang bersengaja, diperkuat dengan dalil hadits. Hadits yang pertama yang berbunyi:
عن ابي قتادة رضي الله عنه قال ذكروا النبي صلى الله عليه و سلم نومهم عن الصلاة فقال انه ليس في النوم تفريط انما التفريط في اليقظة فإذا نسي أحدكم صلاة او نام عنها فليصلّها إذا ذكرها (رواه النسائي و الترمذي و صححه)
Dari Abu Qatadah, dia berkata, (Shahabat-shahabat) menceritakan kepada Nab saw tentang tertidurnya mereka sebelum shalat, lalu Nabi saw berkata, 'Sesungguhnya di dalam tidur tidak ada keteledoran, karena (yang dinamakan keteledoran) itu hanyalah dalam keadaan berjaga. Oleh karena itu apabila salah seorang di antara kamu lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah ketika ingat'. (HR. an-Nasa'i dan At-Tirmidzy menshahihkannya)[2]
Hadits kedua yang berbunyi:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال ان النبي صلى الله عليه و سلم قال من نسي صلاة فليصلها اذا ذكرها فإن الله قال أقم الصلاة لذكري (رواه الجماعة إلا البخاري و الترمذي)
Dari Abu Hurairah, dan Nabi saw, din berkata: "Barangsiapa lupa satu shalat, maka shalatlah ketika ingat". Karena sesungguhnya Allah telah berfirman: "Dirikanlah shalat karena ingat kepada-Ku". (HR. al-Jama'ah kecuali al-Bukhari dan at-Turmudzy).[3]
Dari pengertian hadits di atas yang mana Rasulullah saw memerintahkan kepada orang yang tertidur dan terlupa untuk mengqadha shalatnya, dan dengan cara qiyas lebih utama bagi mereka yang bersengaja. Begitu juga dikatakan tidak ada tebusannya melainkan dengan mengqadha, menunjukkan juga wajib qadha bagi orang yang bersengaja. Karena orang yang bersengaja berdosa dan lebih utama mereka menebus dosanya dari orang yang tidak berdosa.
Pendapat ini dapat lagi diperkuat dengan hadits yang ketiga yang berbunyi:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال ان عمر بن الخطاب جاء يوم الخندق بعد ما غربت الشمس فجعل يسبّ كفار قريش و قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما كدت أصلي العصر حتى كادت الشمس تغرب فقال النبي صلى الله عليه و سلم و الله ما صليتها فتوضأ فتوضأنا فصلى العصر بعد ما غربت الشمس ثم صلى بعدها المغرب (رواه لبخاري و مسلم)
Dari Jabir bin Abdillah berkata: bahwasannya Umar bin Khatab tiba pada hari pertempuran Khandak sesudah hampir tenggelam matahari dan beliau sibuk menghadapi kafir Quraisy. Beliau berkata: Hai Rasulullah, hampir saja aku tidak mengerjakan shalat Ashar sampai matahari hampir tenggelam. Nabi bersabda: Demi Allah, akupun belum shalat (Ashar). Maka Rasulullah berwudhu dan kami pun berwudhu, beliau shalat Ashar sesudah tenggelam matahari. Kemudian sesudah itu, beliau shalat Magrib". (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Jabir bin Abdillah)[4]
Hadits di atas menggambarkan bahwa Umar bin Khatab dan kaum muslimin, karena kesibukan menghadapi peperangan sehingga terlupa shalat dan mereka qadha shalat Ashar pada waktu Magrib. Karena itu kalau seandainya tidak wajib mengqadha shalat yang tertinggal, niscaya mereka tidak lagi mengerjakan shalat Ashar di luar waktu Ashar.
Hadits yang keempat yang berbunyi:
عن ابن عباس رضي اله عنه ان سائلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم فقال ان أمي ماتت و عليها صوم شهر أفأقضيه؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لو كان على أمك دين أكنت قاضيه عنها؟ قال نعم فدين الله أحق ان يقضى (رواه مسلم)
Seorang penanya mengemukakan pertanyaan kepada Nabi saw. katanya: Ibuku telah meninggal dan dia meninggalkan puasa sebulan. Apakah aku qadhakkan (puasa) itu? Rasulullah menjawab: Kalau seandainya ibumu mempunyai hutang, apakah kau bayar hutangnya? Penanya menjawab: Ya! Rasulullah menyambung: Makahutang kepada Allah lebih utama dibayar". (HR Muslim)[5]
Dalam kata "hutang kepada Allah" dalam hadits di atas, mempunyai pengertian umum, termasuk semua macam kewajiban di antaranya kewajiban mengqadha shalat yang tertinggal, baik dengan sengaja atau tidak.
Hadits kelima yang berbunyi:
عن ابن عباس ان امرأة من جهينة جاءت الى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت أمي نذرت ان تحجّ حتى ماتت أفأحجّ عنها؟ قال حجّي عنها أرأيت لو كان أمك دين اكنت قاضيه أقضو الله فالله أحقّ بالوفاء (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas, Seorang perempuan dari suku Juhainah datang menemui Nabi saw. lalu bertanya: Ibuku bernazar untuk menunaikan haji dan beliau meninggal sebelum berhaji. Apakah kuhajikan untuknya? Rasulullah menjawab: Hajikan untuknya! Apakah kalau seandainya ibumu mempunyai hutang, apakah kau bayarkan? Bayarlah (hutang kepada) Allah dan bagi Allah lebih utama ditunaikan". (HR Bukhari)[6]
Hadits di atas memerintahkan membayar setiap hak Allah, termasuk di antaranya shalat yang tertinggal, baik karena terlupa atau sengaja, karena perintah dalam hadits itu umum.
Adapun pendapat yang kedua yang mengatakan tidak wajib qadha bagi orang yang meninggalkan shalat bersengaja, dikuatkan dengan dalil yang berikut:
Pertama, dengan firman Allah yang berbunyi:
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat yang mereka itu lalai dari shalatnya. (Qs. Al-Maun 4-5).
Kedua, dengan firman Allah yang berbunyi;
Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam: 59)
Dari kedua ayat di atas dapatlah ditarik kesimpulan kalau seandainya orang yang bersengaja meninggalkan shalatnya, sesudah keluar waktu, kemudian diqadhanya dan shalat qadha itu diterima, tidaklah dikatakan celaka dan seterusnya tidak pula dikatakan menemui kehancuran.
Dalil al-Qur'an yang ketiga yang berbunyi:
Dan barangsiapa yang melanggar hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (Qs. at-Thalaq 1).
Dalam pengertian ayat di atas, Allah telah menetapkan tiap-tiap shalat batas waktunya, tidak ada perbedaan orang yang shalat sebelum dan sesudah waktunya, merekatelah melanggar batas-batas waktu yang telah ditetapkan. Setiap pelanggaran terhadap waktu yang telah ditetapkan tidaklah sah shalatnya, dan tidaklah wajib mengqadha shalat itu, sama saja dengan sudah berakhir waktunya, tidak wajiblah qadha.
Dalil keempat yang mereka kemukakan dengan dalil ratio, yang mana mereka katakan mewajibkan qadha shalat bagi orang yang bersengaja adalah menambah hukum baru, dan setiap hukum harus ada dalilnya yang konkrit. Sedang dalam masalah ini tidakada suatu dalil jua pun, yang dapat diperpegangi, baik dari Al-Qur'an maupun hadits yang mewajibkan qadha bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.
Adapun kritik yang ditujukan kepada dalil pendapat pertama dikatakan bahwa hadits pertama dan kedua hanya menunjukkan orang yang lupa dan tertidur saja, yang diwajibkan qadha, sedang orang yang bersengaja meninggalkan shalat tidak tercakup dalam hadits tersebut. Kritik ini dijawab bahwa kendatipun hadits-hadits tersebut kata-katanya hanya menyebutkan orang yang lupa dan tertidur, namun hadits-hadits tersebut sebagai jawaban dari pertanyaan tentang dosa meninggalkan shalat karena terlupa dan tertidur, yang berarti orang yang bersengaja lebih utama mengqadha shalatnya, karena dosanya adalah lebih besar lagi.
Dikatakan kalau kedua hadits itu hanya mencakup orang yang tidak bersengaja saja, maka pengertian yang seperti ini sangat bertentangan dengan hadits yang lain yang menerangkan "bayarlah hak Allah, dan Allah lebih utama dibayar". Hadits yang terakhir ini dengan jelas mengatakan orang yang bersengaja wajib qadha, yang mana mantuq (isi) hadits itu didahulukan daripada mafhum (pengertian).
Kritik yang kedua dikatakan bahwa di dalam hadits disebutkan qadha itu sebagai kafarah (penghapus), tidak menunjukkan orang yang bersengaja tercakup dalam hadits itu. Karena kafarah hanya berlaku kepada orang yang tidak bersengaja dan juga bagi orang yang lupa dan tersalah. Kritik ini dijawab bahwa kafarah itu berlaku untuk semua bentuk kelalaian, termasuk sengaja. Hanya disebutkan orang yang tersalah dan terlupa, untuk menekankan bahwa orang yang lupa dan tertidur juga dinamakan lalai, agar terhindar dari mengerjakan yang lebih besar lagi. Karena itu disebutkan qadha shalat bagi orang yang lupa dan tertidur sebagai kafarah, yang berarti dosanya tidak mungkin hilang saja, melainkan mengqadha.
Kritik ketiga dikatakan bahwa Nabi saw mengqadha shalat Ashar karena lupa dan tidak bersengaja. Seorang Nabi tidaklah pantas meninggalkan shalat bersengaja, karena sengaja mengakibatkan dosa, sedang Nabi terpelihara dari dosa. Karena itu, kebolehan mengqadha hanya berlaku bagi orang yang tidak bersengaja, tidak termasuk orang yang bersengaja. Kritik ini dijawab, bahwa pada lahirnya, Nabi saw meninggalkan shalat karena kesibukan menghadapi peperangan seperti yang diriwayatkan oleh Nasa’i dari Abi Said, dan peristiwa ini terjadi sebelum diturunkan ayat yang memperbolehkan shalat khauf. Jadi, pada waktu itu, shalat yang ditinggalkan karena sengaja, karena tidak dapat melaksanakannya, dan meninggalkan shalat dalam suasana yang seperti itu tidaklah termasuk dosa, karena ada alasan.
Kritik yang keempat yang ditujukan kepada hadits Ibnu Abbas, dikatakan bahwa pengertian hadits itu umum, ini tidak dapat diterima. Karena adanya hadits-hadits lain yang memberikan pengecualian ialah orang yang bersengaja. Kritik ini dijawab, seperti dalam jawaban terdahulu ialah mantuq hadits lebih diutamakan dari mafhum, karena itu tidak ada pengecualian dari hadits-hadits itu, yang berarti orang yang bersengaja pun termasuk di dalamnya.
Adapun kritik yang dikemukakan oleh pendapat pertama terhadap dalil pendapat kedua, bahwa ayat yang pertama yang menerangkan ancaman bagi orang-orang kafir yang shalat dengan secara riya,' dan kata lupa dimaksudkan tidak beriman, bukan melambatkan waktu shalat dengan bersengaja. Dan dalam ayat kedua ditujukan kepada orang yang kafir yang meninggalkan shalat dan mengikuti hawa-nafsunya.
Seandainya kedua ayat itu mencakup juga orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, namun ancaman itu hanya bagi mereka yang meninggalkan shalat bersengaja tanpa alasan, dan sekalipun demikian tidaklah menghilangkan tugas mereka untuk mengqadlanya dengan dalil hadits Ibnu Abbas.
Kritik yang ditujukan kepada dalil al-Quran yang ketiga, mereka kemukakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa alasan termasuk orang yang melanggar hukum Allah dan menganiaya dirinya sendiri. Kendatipun demikian, tugas mengqadha shalat tidaklah terhapus. Dosa karena melalaikan shalat lain dari dosa meninggalkan shalat, yang hanya dapat ditebus dengan qadha.
Adapun pendapat mereka yang mengatakan bahwa shalat sebelum waktunya sama saja dengan shalat sesudah lewat waktunya. Pendapat ini tidak dapat diterima, karena shalat sebelum waktunya jatuh sebelum diperintahkan, sedang shalat sesudah lewat waktunya adalah jatuh sesudah diperintahkan yang merupakan tugas yang wajib ditunaikan.
Kritik terhadap dalil yang mengatakan qadha bagi orang yang bersengaja tidak ada dalilnya, ini pun tidak dapat diterima. Karena ada dalil-dalil seperti yang telah kami kemukakan ialah kedua hadits Ibnu Abbas yang terakhir.
Bertitik tolak pada uraian di atas penulis mendukung pendapat madzhab Syafi’i yang mewajibkan qadha terhadap shalat yang ditinggal dengan sengaja. Alasannya, karena dengan diberinya kesempatan seseorang mengqadha shalat yang ditinggal dengan sengaja maka akan menghapuskan rasa putus asa. Orang akan optimis bahwa dosa dalam hubungan vertikal ini ada kemungkinan diampuni.
Sedangkan paham yang tidak membolehkan qadha cenderung berdampak negatif yaitu munculnya kesan bahwa shalat yang ditinggalkan cukup taubat saja tanpa harus mengganti. Ini akan berakibat meremehkan peran dan fungsi shalat sehingga dengan mudah meninggalkan shalat tanpa beban. Alasan lainnya bahwa pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama, yang mewajibkan qadha bagi orang yang bersengaja. Karena itu Imam Nawawi berkata "telah ijma ulama mengatakan bahwa mereka yang meninggalkan shalat bersengaja wajib mengqadha shalatnya.”
Adapun terhadap pendapat KH. Ahmad Rifa'i bahwa di satu pihak KH. Ahmad Rifa'i mewajibkan shalat qadha bagi orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, maka dalam hal ini penulis setuju. Akan tetapi, dilain pihak KH. Ahmad Rifa'i berpendapat bahwa orang yang sedang menganggung shalat qadha maka diharamkan shalat-shalat sunnah. Terhadap pendapatnya ini, penulis kurang sependapat karena tidak ada dalil yang menunjuk ke arah itu meskipun Syekh al-Malibary berpendapat yang sama dengan KH. Ahmad Rifa'i. Sebagaimana diketahui Syekh al-Malibary berpendapat bahwa,
Yang jelas, orang yang tertinggal shalat haruslah menggunakan secukup waktu untuk mengqadhanya selain waktu yang digunakan untuk melakukan sesuatu yang wajib atasnya; di samping juga haram baginya melakukan shalat sunnah (sebelum qadha).[7]
Pernyataan Syekh al-Malibary menunjukkan bahwa orang yang mempunyai tanggungan shalat qadha maka diharamkan mengerkan shalat sunnah. Namun demikian pendapat ini pun tidak didukung oleh dalil yang kuat dan qath'i. Karenanya, pendapat KH. Ahmad Rifa'i dan pendukungnya masih tepat bila dimasukkan sebatas wacana.

[1] Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al–Autar Min Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973, hlm. 26
[2] Al-Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad -Dahak as-Salmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmudzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931, hlm. 30. Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy Syaukani, Nail al–Autar Min Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973, hlm. 28.
[3] Ibid, hlm. 26
[4] Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani al-Marwazi, Musnad Ahmad, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1382 H/1953 M. 45.
[5] Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Tijariah Kubra, Mesir, tth. 28.
[6] Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 325.
[7] Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in Bi Sarh Qurrah al-Uyun, Maktabah wa Matbaah, Semarang: Toha Putera , tth, 11





































































1 comment:

  1. Permisi Numpang Promo
    Refiza Souvenir menyediakan berbagai macam souvenir tasbih dan souvenir Buku Yasin cek katalog kita di www.refiza.com

    ReplyDelete