DHARURAT DALAM ISLAM

emergency
1. Pengertian Dharurat
a. Pengertian dharurat menurut bahasa
Darurat itu berasal dari kata (الضرار) yang artinya sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Adapun kalimat (الضرورة) itu sama seperti (الضرورة) atau (المضارة) yang berarti sesuatu y ang dibutuhkan. (رجل ذو ضرور هو ضرورة) artinya seseorang yang punya hajat. (و قد اضطر الليث) artinya sangat membutuhkan sesuatu menurut Alaist, kalimat (الضرورة) adalah kata benda (isim) dari masdar (sumber kata) (الأبيطيرر) missal (حملتني الضرورة على كذا و كذا) yang berarti aku dibebani kebutuhan akan ini dan itu. Dan kalimat (و قد اضطر فلان على كذا و كذا) berarti sipolan itu benar-benar membutuhkan ini dan itu dan ia berasal dari kalimat (الضرار) yang berarti sempit.[1] Atau ada juga yang mengartikan bahwa darurat adalah suatu peristiwa yang tidak di tolak, suatu keadaan dimana bahaya dan kesulitan yang teramat sangat menimpa diri seseorang dan di khawatirkan akan menimbulkan kerusakan sehingga ketika itu untuk mengatasinya ia dibolehkan melakukan yang haram dan meninggalkan yang wajib.
Wahbah Az-Zuhaily berpendapat bahwa darurat adalah suatu kemaslahatan yang menjadi landasan hidup manusia secara alamiah agama atau dunia yang sekiranya sesuatu tersebut di tiadakan maka tidak akan mampu bertahan hidup di muka bumi ini dan lebih parahnya lagi akan terjadi beberapa kerusakan diantaranya terbengkalainya beberapa nikmat dan akhirnya siksalah yang bakal diterima kelak di akhirat.[2]
Ibnu Nujaim mengartikan bahwa darurat adalah sampainya seseorang kepada suatu batas yangapabila tidak melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang akan dapat mencelakakan dirinya.[3] Sedangkan, Abu Zahrah, sebagai ahli ushul fiqh dan kalam, mendefinisikan darurat sebagai suatu keadaan yang memaksa untuk memakan yang dilarang dalam rangka mempertahankan nyawa, khawatir akan kehilangan harta atau karena kebutuhan daruri (pokok) seseorang terancam apabila dia tidak mempertahankannya kecuali dengan melakukan sesuatu yang dilarang tanpa mengganggu hak orang lain.[4]
Dan pendapat Fuqaha Maliki mendefinisikan darurat sebagai sesuatu kekhawatiran atas kebinasaan diri baik berdasarkan kehawatiran maupun berdasarkan dugaan yang kuat. Darurat ini tidak terwujud kecuali ada sesuatu keadaan yang memaksa untuk melakukan yang diharamkan agar terpelihara diri dari kebinasaan seperti haus dan lapar yang berlebihan atau sakit membawa kepada kematian.
b. Pengertian dharurat menurut syara’
Darurat menurut syara' ialah datangnya kondisi bahaya atau kesulitan yang amat berat kepada diri manusia yang membuat dia khawatir akan terjadi kerusakan atau suatu yang menyakiti jiwa, anggota tubuh, kehormatan, dan yang bertalian dengannya. Ketika itu boleh tidak mengerjakan yang di haramkan atau meninggalkan yang di wajib kan, atau menunda waktu pelaksanaannya guna menghindari kemadharatan yang di perkirakannya dapat menimpa dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang di tentukan oleh syara'.[5]
Dari definisi-definisi tersebut hampir sama atau mirip, yakni tidak hanya menyangkut darurat tentang kebutuhan makan saja, tetapi kalau kita lihat lebih seksama pengertian itu lebih umum, yakni selain mencakup darurat makan juga mencakup mempertahankan diri dari penganiayaan dari harta dan kehormatan. Ada sebagian ulama yang mendefinisikan darurat sebagai suatu keadaan yang memaksa untuk melanggar sesuatu yang dilarang oleh agama. Dan ini berarti selain mencakup darurat makan juga mencakup darurat menolak segala sesuatu yang dapat mengancam keselamatan nyawa atau anggota-anggota badan atau kehormatan atau akal bahkan harta benda.
2. Tingkatan Darurat
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Adapun dari beberapa kejadian kalau dihubungkan dengan kehidupan dan kebutuhannya maka bisa di bagi menjadi lima tingkatan dalam Darurat.
a. (ضرورة) / Darurat
Darurat adalah tingkatan yang paling tinggi dan pada tingkat darurat ini diperbolehkan menggunakan atau melakukan perkara yang diharamkan. Maksudnya yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka akan mendatangkan kerusakan. Dalam kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang.
b. (حاجة) / Tingkat Kebutuhan
Yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati, kerusakan dan kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram, karena apabila tidak melakukan hal tersebut maka tidak akan mengancam keselamatan jiwanya ataupun mendatangkan kerusakan, misalnya orang yang tidak kuat berpuasa maka dia diperbolehkan untuk berbuka puasa dengan makanan yang halal, bukan makanan yang haram.
c. (منفعة) / Harapan suatu Pemanfaatan
Yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak, maka hukum ditetapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat, misalnya makan makanan yang pokok seperti beras, sayur-sayuran, ikan, buah-buahan dan sebagainya.
d. (زينة) / Perhiasan
Yaitu kepentingan manusia hanya untuk sekedar berhias agar lebih indah, baik terhadap sesuatu ataupun barang-barang yang indah bagus.
e. (فضول) / Keinginan untuk berlebih-lebihan
Yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih-lebihan yang mungkin mendatangkan kemaksiatan atau keharaman, kondisi semacam ini dikenakan hukum saddud dzariah, yaitu menutup segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan.[6]
3. Batasan-batasan Darurat
Mengenai masalah batasan darurat yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan ini dikalangan para ulama ahli fiqh dan beberapa pendapat yang maknanya tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya diantaranya sebagai berikut :
a. Menurut ulama dari mazhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuh yang menjadi cacat.
Seseorang yang dipaksa akan di bunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya[7] apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang di haramkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. Dan berdasarkan syariat ia berdosa kalau memang ia tahu bahwa hal itu sebenarnya bisa menggugurkan keharaman. Tetapi kalau memang ia tidak tahu bahwa hal itu merupakan keringanan baginya, ia masih bisa diharapkan tidak berdosa soalnya ia bermaksud menegakkan kebenaran syariat dengan cara tetap menjaga diri untuk tidak mau melanggar keharaman menurut anggapannya.
Keharaman menjadi gugur kalau memang pemaksaannya disertai dengan ancaman yang beresiko sangat menyakitkan tetapi kalau ancamanannya tidak terlalu berat seperti hanya akan ditahan selama setahun atau dihukum dengan di ikat namun masih tetap diberi jatah makan dan minum itu berarti ia masih punya pilihan artinya ia tidak sedang dalam keadaan darurat. Firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah : 173,
Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya.
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu dalam kondisi ini maka semua haram dapat diperbolehkan memakainya, misalkan seorang dihutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
b. Menurut ulama dari mazhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau sekedar dugaan namun ada juga yang berpendapat darurat ialah menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat, menurut pendapat di atas hal itu tidak disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, atau sudah dalam keadaan sakaratul maut, karena makan dalam keadaan seperti itu sudah tidak ada gunanya lagi.
c. Menurut ulama mazhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya diatasi dengan memakan bangkai dan sebagainya, seperti halnya ulama-ulama mazhab lain mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang.
Karena pada saat-saat kritis seperti itu tidak ada gunanya makan bahkan pada sampai batas seperti itu tidak dihalalkan makan karena ia memang tidak ada gunanya. Mereka juga sepakat bahwa seseorang diperbolehkan makan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya, kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian, sekalipun ia merasa takut selama sakit.
d. Menurut para ulama dari mazhab Hanbali, darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang diharamkan adalah yang membuatnya merasa khawatir dan akan mati kalau sampai ia tidak memakannya.
Sedangkan menurut Imam Ahmad, apabila seseorang hanya karena tidak mau makan barang yang haram merasa khawatir dirinya bisa kelaparan atau takut tidak kuat berjalan sehingga terpisah dari rombongannya atau tidak kuat naik kendaraan maka ia harus memakannya tanpa dibatasi waktu tertentu.[8]
لا حرام مع الضرورة و لا كراهة مع الحاجة
Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakmuran bagi kebutuhan.[9]
اذا تعارض مفسدات روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
Apabila dua mafsadat bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan memilih yang lebih ringan madaratnya.
Dari pendapat di atas yang menerangkan tentang batasan atau kriteria darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang haram mempunyai pengertian yang mirip. Jadi menurut penulis, seperti yang dikatakan oleh Imam Hambali, dharurat ialah posisi seseorang yang sudah berada dalam batasan maksimal jika ia tidak mau mengkonsumsi yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati.[10] Atau dikhawatirkan salah satu anggota tubuhnya bisa celaka. Pada dasarnya hal itu karena sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan diterjang kecuali karena ada alasan darurat. Darurat itu pun punya standar sendiri apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama ia bisa mati atau hampir mati. Maka itu artinya ia sudah berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang diharamkan.
4. Hukum Darurat
Maksud dari hukum darurat disini ialah efek yang ditimbulkan dari hukum darurat tersebut dan menuntut ditetapkannya ketetapan-ketetapan hukum pengecualian untuk individu, kelompok ataupun masyarakat dan cocok untuk mereka yang lalu menghendaki kebolehannya yang dilarang atau meninggalkan yang wajib atau ditunda pelaksanaannya dengan menentang kaidah-kaidah yang umum yang berlaku menyeluruh yang diterapkan dalam keadaan-keadaan biasa.
Dalam tema hukum Darurat dibawah ini akan dibicarakan efek yang langsung dari Darurat yang tentunya sangat berpengaruh dalam lingkungan masyarakat dan masalah inilah yang akan kami bahas dalam pembahasan berikut ini:
a. Efek Darurat dalam pembolehan yang haram dan meninggalkan yang wajib.
Darurat yang serupa dengan itu pula hajat memiliki ketetapan-ketetapan hukum yang telah kita kenal yaitu mengenai pemaksaan, rukshah, kaidah-kaidah serta penyerapan-penyerapan masing-masing dari kedua-duanya. Diantara ketetapan-ketetapan hukum yang paling menonjol adalah bahwa kadang kala karenanya dibolehkan yang dilarang, dan kadang kala terbatas pada terangkatnya tanggung jawab ukhrawi tanpa menghilangkan keharaman, dan kadang kala yang wajib serta mungkin juga ditundanya pelaksanaan yang wajib itu. Dalam pembahasan kali ini akan kami sebutkan pengaruh keterpaksaan dalam beberapa ketetapan hukum, dan pengaruh masyaqqah dalam mempermudah ketetapan-ketetapan hukum.[11]
Tentang pengaruh keterpaksaan ini akan kami bahas dalam keadaan darurat. Disini secara garis besar kami ketengahkan dua keadaan yaitu : keadaan darurat makan dan keadaan darurat yang dipaksa.
Contohnya untuk pembahasan dalam keadaan darurat makan, yaitu dibolehkannya sesuatu yang dilarang untuk sementara guna menghindari kemadharatan dari jiwa. Dalam hal ini maka dibolehkanlah bagi orang yang dalam keadaan terpaksa memakan bangkai, darah, daging babi, minum khamer dan sebagainya, diantara makanan dan minuman yang telah diharamkan oleh Allah Swt.
Sedangkan masalah tentang pemaksaan, ialah dibolehkannya untuk melakukan perbuatan yang diharamkan ketika bebas, atau mungkin juga diberikan keringanan untuk itu, tetapi keharamannya untuk selamanya tidak mungkin hapus. Mungkin juga tidak dibolehkan dan tidak diberi keringanan sama sekali. Jadi pemaksaan itu tidak selamanya dipandang sebagai salah satu faktor yang membolehkan hal-hal yang dilarang, tetapi ada kalanya yang dilarang itu menjadi boleh karenanya. Namun, kadangkala terjadi sebaliknya pada saat itu pemaksaan akan dipandang sebagai salah satu penghalang tanggung jawab kepidanaan saja.
b. Ketetapan hukum dalam mengamalkan tuntutan Darurat.
Dalam ketetapan hukum ini para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan hukum mengamalkan tuntutan darurat, apakah jaiz ataukah wajib. Ulama Zahiri, Abu Yusuf dan Abu Ishaq al–Syimzi dari kelompok syafi’iyah, kemudian pendapat dari ulama Hambaliyah dan dalam satu riwayat dari Abu Yusuf mengatakan, bahwa orang yang terpaksa dan orang yang dipaksa di bolehkan mengambil yang haram, seperti mengambil barang orang lain.[12] Atas perbuatan-perbuatan itu mereka tidak berdosa karena perbuatan itu adalah rukshah tetapi keharaman benda-benda itu tetap ada. Firman Allah Swt :
Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan, kecuali apa yang kamu terpaksa memakannya. (QS. Al–An’am : 119).
FirmanNya :
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS : Al – Baqarah : 173).
Dilihat dari nash di atas menunjukkan kehalalan atau kebolehan (ibadah) saja, karena pengecualian pada ayat merupakan pengecualian dari pengalaman, pengecualian yang haram adalah atau ibadah.
Sedangkan dari ulama mazhab Hanafiyah dalam satu riwayat yang jelas, dari mazhab Malikiyah dan mazhab Syafi’iyah, menurut pendapat yang paling benar di kalangan mereka dan ualam dari mazhab Hambaliyah di dalam pendapat yang terpilih di kalangan mereka mengatakan bahwa orang yang terpaksa keadaan dam dipaksa dibolehkan bahwa wajib baginya mengerjakan yang dilarang untuk memelihara keselamatan dirinya dari kebinasaan sekedarnya.[13] Jika ia menolak memakan yang haram sampai ia meninggal ia maka mendapat siksa dan dosa sebab hal itu menjerumuskan diri dari kebinasaan. Firman Allah Swt :
Janganlah kamu jatuhkan dirimu ke dalam kehancuran. (QS : Al – Baqarah : 195).
Dan firman Allah Swt :
Dan janganlah bunuh dirimu sesungguhnya Allah SWT adalah maha penyanyang kepadamu. (QS : An Nisa : 29).
Disisi lain ia juga mampu mempertahankan diri dengan melakukan apa yang halal untuknya, karena itu ia tidak dapat memakan yang dilarang tersebut, sebagaimana jika ia memiliki makanan yang halal.[14]
Untuk ungkapan yang diungkapkan oleh mazhab Hanafiyah sebagaimana telah dijelaskan, dengan dalil-dalil yang rasional dan merupakan pendapat yang jelas riwayatnya bahwa sesungguhnya tidak berarti dalam keadaan Darurat itu orang memakan yang haram sebab hal itu merupakan pengecualian yang jelas dan dijelaskan Allah Swt dengan firman-Nya QS. Al An’am ayat 119.
Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa permasalahannya adalah menyangkut persoalan diluar pengecualian dan ia merupakan barang halal sebelum adanya pengharaman jadi, ia tetap dalam statusnya semula ketika dalam keadaan Darurat. Mungkin juga dikatakan juga pengecualian pengharaman itu adalah kebolehan dan apabila jelas hal itu mubah maka sikap menolak yang haram itu dari orang yang terpaksa keadaan sehingga ia binasa dari sikapnya yang menolak makanan yang halal sampai binasa jadi ia berdosa karena sikapnya.
c. Batasan Perbuatan yang Haram dan yang Halal dilakukan dalam keadaan Darurat
Mengenai masalah ini para ulama terbagi 2 kelompok, yaitu untuk kelompok yang pertama berpendapat bahwa kebolehan itu terbatas pada kadar untuk menghindari kemadharatan dan satu lagi mengatakan bahwa kebolehan itu pada batas mengenyangkan.
1) Ulama Hanafiyah, ulama Safi’iyah menurut pendapat yang lebih jelas di kalangan mereka dan Imam Ahmad menurut salah satu riwayat dari 2 yang paling benar dari beliau, segolongan ulama dari ulama mazhab Malikiyah yang diantaranya adalah Al Majisum dan Ibnu Habib mengatakan,
Orang yang terpaksa memakan atau meminum barang yang haram, sekalipun bangkai atau barang milik orang lain sekedar untuk mengenyangkan jiwa, yaitu dalam kadar yang memungkinkan seseorang melakukan sholat secara berdiri, mengerjakan puasa yaitu beberapa suap saja. Kebolehan itu berlaku sampai didapatkannya makanan dan minuman (yang dihalalkan).[15]
Dari uraian di atas ulama Hanafiyah mengecualikan keharaman dan kemahruhan, jika tidak ada kemadharatan yang dikhawatirkan maka diberikanlah kebebasan dalam keadaan apa saja yang dipilih untuk memperkuat diri dalam mengerjakan puasa esok hari, atau agar kita tidak merasa malu terhadap kamu dan tidak diperbolehkan melatih diri dengan jalan mengurangi makanan sampai ia tidak mampu melakukan sholat wajib dengan berdiri.
Sedangkan ulama Syafi’iyah menggunakan ungkapan tentang keadaan terpaksa ini ialah,
Menurut pendapat yang lebih jelas, hanya sekedar untuk mempertahankan hidup lebih dari itu, bukan lagi orang yang terpaksa kecuali jika ia khawatir akan keselamatan jiwanya atau timbulnya penyakit, atau bertambahnya penyakit. Jika demikian dibolehkan melebihi batas dari sekedar sadd al-dzariyat sekedar untuk bertahan hidup bahwa harus di lakukan agar jiwa tidak terancam binasa. Juga dibenarkan membawa bekal dari barang-barang yang haram, sekalipun ada harapan akan sampai kepada hal yang halal, hal itu di bolehkan untuk berjaga-berjaga sebab masih ada kemungkinan tidak didapatkan apa-apa untuk di makan setelah itu sehingga ia terancam binasa.[16]
Menurutnya orang terpaksa itu wajib memulai dengan memakan makanan yang halal yang didapatkannya, dan tidak dibolehkan baginya untuk memakan makanan yang haram sebelum dipastikan adanya Darurat apabila yang haram itu telah menyeluruh maka seseorang yang terpaksa boleh menggunakannya sepanjang yang digunakan tanpa terbatas pada keadaan darurat.
Jadi, apabila seseorang memakan yang haram sekedar yang dapat menghilangkan kecemasannya akan terjerumus ke dalam kemadhorotan seketika, maka ketika itu hilanglah keadaan darurat itu dan dalam keadaan yang demikian itu tidak lagi ada perhitungan akan apa yang dapat menutup lapar. Sebab lapar yang tidak ada keterpaksaan tidaklah membolehkan seseorang makan bangkai dan lainnya, apabila seseorang tidak khawatir adanya kemadharatan dengan meninggalkan makan. Dengan demikian setelah terjaminnya jiwa maka seseorang tidak lagi dalam keadaan terpaksa dan ia tidak lagi dibolehkan lagi untuk memakan bangkai.
2) Ulama Malikiyah menurut pandangan yang lebih kuat dikalangan mereka, Imam Ahmad dalam satu riwayat darinya dan ulama Syafi’iyah di dalam pendapat yang tidak kuat[17] mengatakan boleh bagi orang yang terpaksa memakan yang haram, dan ia boleh berbekal dengan bangkai dan yang seumpamanya apabila ia khawatir menghadapi keadaan darurat dan perjalanannya.[18]
Apabila ia tidak memerlukannya lagi maka ia dapat membuangnya sebab tidak ada dalam keadan darurat membawanya dan menyiapkannya untuk mencegah kemadharatan yang dihadapi atau untuk menutupi hajatnya. Namun, ia tidak dibenarkan memakannya kecuali ketika dalam keadaan darurat. Golongan ulama Malikiyah memegang dalil yang sependapat dengan mereka ialah prinsip bahwa darurat itu menghapuskan keharaman, sehingga bangkai dan sejenisnya berubah menjadi mubah sesuai dengan QS. al-Baqarah : 173.
Untuk batasan darurat itu adalah dalam keadaan tidak adanya makanan sampai ada. Lagi pula setiap makanan yang dibolehkan yang dibenarkan orang memakannya sekedar untuk mempertahankan sisa hidup itu adalah juga boleh baginya memakan sampai kenyang sebagaimana layaknya memakan makanan yang halal. Ini berlaku bila kelaparan itu jarang terjadi, tapi jika kelaparan itu sudah merata, berkepanjangan dan juga terus menerus maka disini terdapat perbedaan pendapat ulama tentang dibolehkan nya memakan bangkai dan makanan yang dimakan sampai kenyang.[19]
Jadi, dari pembahasan di atas sudah jelas bahwasanya keadaan darurat yang seperti tersebut diataslah yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melanggar perintah Allah dan meninggalkan larangan Allah dengan syarat keadaan darurat dapat mengancam jiwanya, dan apabila dengan dia melakukan yang haram dan meninggalkan yang wajib dapat menyelamatkan jiwanya maka hal itu di boleh kan dan hanya sebatas untuk menyelamatkan jiwanya.

[1] Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 16.
[2] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Al Islami, Damaskus, Darul Fikri,1996. hal. 1020.
[3] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta, PT. Ihtiar Baru Van Hoeven, Cet. Pertama, 1997. hal. 327.
[4] Kafawi Ridwan, et al, Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT. Icgtiar Baru van Hoeven, 1993, hal. 293
[5] Wahbah Al-Zuhaili, Op.Cit., hal. 72.
[6] Imam Jalaludin As-Suyuti, Asybah Wan Nadhair, Darul Fikri,1995 hal. 62. Muclis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002, hal. 134-135.
[7] Abdul Rosyid, Op. Cit, hal. 31.
[8] Abdul Rosyad, Op. Cit. hal. 34
[9] Abdul Rosyad, Op. Cit, hal. 34.
[10] Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002, hal. 134.
[11] Wahbah Az Zuhaili, Op Cit, hal. 303
[12] Syekh Imam Syamsudin, Al Mughni, Bairut, Darul Maktabah Al Ilmiah, hal, 596.
[13] Abu Bakr Muhammad Bin Abdullah Ma’ruf, Ahkamul Al-Qur’an, Bairut, Darul Maktabah Al Ilmiah, 468-543 hijriyah, hal. 56, Syekh Imam Syamsudin, Loc. Cit.
[14] Salim Bahresy, Said Bahreys, Tafsir Ibnu Katsier, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1992, hal. 206.
[15] Wahbah Az Zuhairi, Op. Cit, hal, 332.
[16] Ibid, hal. 333-334.
[17] Syekh Imam Syamsudin, Op. Cit. hal. 595.
[18] Ibnu Rusyd, Hidayatu’l Mujtahid, Semarang, cetakan pertama, 1990, hal. 462.
[19] Abu Bakr Muhammad Bin Abdullah Ma’ruf, Op. Cit, hal. 55


























































































No comments:

Post a Comment