Anak sholeh merupakan tuntunan agama yang juga menjadi harapan setiap orang tua tetapi tidaklah mudah untuk meraihnya, karena orang tua sebagai first school dianjurkan mampu memotivasi perkembangan anak secara total yang mencakup fisik, emosi, intelektual dan religius-spiritual; bahwa perkembangan intelektual senantiasa dibarengi dan seirama dengan perkembangan religius adalah suatu keniscayaan dalam pendidikan Islam,[1] sehingga dalam mengukirnya harus sesuai dengan ajaran agama agar terbentuk generasi yang setabil dalam mengarungi kehidupan dunia dan akhirnya selamat sampai kehidupan di akhirat nanti. Sudah menjadi keharusan bahwa pendidikan terhadap anak merupakan tanggung jawab orang tua sepenuhnya karena dasarnya anak lahir dalam keadaan fitrah sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَا مِنْ مَولُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَ يُنَصِّرَانِهِ وَ يُمَجِّسَانِهِ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang anakpun yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi. (HR. Muslim)[2]
Hadits tersebut jelas menyebutkan bahwa setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, polos bagai kain kanvas putih yang akan dapat dengan mudah dicoreti tinta warna apapun dan dengan bentuk gambar bagaimanapun sehingga orang tua akan dapat dengan mudah melukiskan dengan corak, warna dan model yang sesuai dengan kehendaknya, dalam hal ini seakan Rasulullah memberikan otoritas penuh kepada orang tua tanpa adanya campur tangan dari pihak lain sampai Rasulullah mengungkapkan bahwa anak (dari orang muslim) tergantung atas orang tuanya yang mau membentuknya sebagai generasi Yahudi, Nasrani ataupun Majusi.
Begitu besar tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak sejak dini agar kelak besar nanti anak tidak menempuh jalan yang sesat, diantara pendidikan terhadap anak sejak awal ini Rasulullah SAW memberikan suri-tauladan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
حَدَّثَناَ مَسَدَّدُ ثَناَ يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِيْ عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ رَافِع عَنْ أَبِيْهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلْيٍّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ (رواه أبو داود)
(Abu Daud berkata): Musaddad telah menyampaikan suatu hadits kepada kami, (Musaddad berkata): Yahya telah menyampaikan hadits tersebut kepada kami dari Sufyan, (Sufyan) berkata: ‘Ashim bin ‘Ubaidillah menyampaikan hadits kepadaku dari ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari bapaknya, dia (Abi Rafi’) berkata: “Saya telah melihat Rasulullah mengumandangkan adzan pada telinga al Hasan bin Ali ketika Fathimah melahirkannya, dengan adzan shalat.”[3]
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sri Mufarida (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo) dalam skripsinya yang berjudul Kualitas Hadits Tentang Adzan pada Telinga Bayi yang Baru Lahir, dinyatakan bahwa ditemukan tiga riwayat hadits tersebut melalui Ahmad bin Hambal, Al-Tirmidzi dan Abu Daud, dan semuanya melalui satu periwayat yang dha’if yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, sehingga bila dipandang dari segi riwayatnya hadits ini termasuk hadits yang dha’if, tetapi secara matan hadits ini bukanlah termasuk hadits yang dha’if karena dari segi kandungan matanya tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan akal sehat.[4]
Abī al-‘Ulā Muhammad Abdurrahman al-Mubarkafūry dalam kitab Tuhfah al-Ahwady Bissyarkhi Jami’ at-Tirmiżi, menjelaskan apabila ditanya: bagaimana melaksanakannya padahal hadits ini dha’if karena dalam sanadnya terdapat ‘Ashim bin Abdillah yang diketahui dha’if. Hadits tersebut adalah dha’if akan tetapi hadits tersebut saling menguatkan dengan haditsnya al-Husain bin Ali yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mausuly dan Ibnu as-Siny.[5]
Keterangan dari Syarkh di atas dapat disimpulkan bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah adzan salat, secara sanad hadis ini dha’if karena melalui perawi yang diangap lemah oleh para ulama hadis yaitu ‘Ashim bin Abdillah, adapun pelaksanaannya dibolehkan dan adzan tersebut dilaksankan sesaat setelah bayi dilahirkan.
Adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah sama dengan adzan salat, dan ini menunjukkan akan disunnahkannya adzan di telinga bayi yang baru lahir. Al-Qāry berkata: “Penjelasan hadits ini: diriwayatkan oleh Umar bin Abdul Aziz menyebutkan bahwa apabila seorang anak dilahirkan maka diadzani di telinga kanan dan diiqamati di telinga kiri. Kemudian dalam Musnad Abī Ya’lā al-Mausūly dengan riwayat marfu’ dari al-Husain: Barangsiapa yang melahirkan anak maka adzanilah di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri maka tidak akan diganggu oleh Ummu Sibyan. Dan Ummu Sibyan adalah sebangsa jin. Begitu juga yang disebutkan oleh dalam al-Jami’ al-Sagir al-Suyuty.[6]
Adapun tentang pelaksanaan hadits dha’if ini para ulama’ berpendapat sebagai berikut :
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits merangkumkan bahwa pendapat tentang pemakaian hadits dha’if itu ada tiga mazhab ulama’ yaitu:
1. Hadits dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlaq. Pendapat ini dikemukakan oleh al Bukhari dan Muslim, alasannya adalah agama Islam diambil dari Al-Qur’an dan sunnah yang benar sedangkan hadits dha’if bukanlah sunnah yang dapat diakui kebenarannya.
2. Hadits dha’if boleh dipergunakan untuk fadhailul ‘amal. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian Fuqaha dan ahli hadits seperti Imam Ahmad dan Ibu Abdul Barr.
3. Hadits dha’if dipergunakan apabila dalam suatu masalah tidak diperoleh hadits-hadits shahih dan hasan. Pendapat ini disandarkan kepada Abu Dawud dan Imam Ahmad.[7] Abu Daud menyatakan bahwa hadits yang lemah (dha’if) jika tidak terlalu lemah adalah lebih baik dibandingkan dengan pendapat para ulama’ itu sendiri.[8]
Senada dengan pendapat Hasbi, Fatchur Rahman dalam kitabnya yang berjudul Ikhtisar Mushthalah al-Hadits menjelaskan bahwa ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya hadits dha’if diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam hal ini terbagi menjadi tiga pendapat,
Pertama, melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dha’if. Baik untuk menetapkan hukum maupun untuk memberikan sugesti keutamaan amal. Ini adalah pendapat Ibnu Bakar al-‘Arabi.
Kedua, membolehkan mengamalkan hadits dha’if dengan melepaskan sanadnya dan tidak menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadhail al-a’mal). Bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat. Ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal, Abdur Rahman bin Mahdy dan Abdullah bin Mubarak.
Ketiga, membolehkan berhujjah dengan hadits dha’if untuk fadhail al-a’mal dengan beberapa syarat, yaitu;
1. Hadits dha’if yang ke-dha’if-nya tidak tidak keterlaluan. Oleh karena itu, hadits dha’if yang disebabkan rawinya pendusta dan banyak salah tidak dapat dijadikan hujjah, kendatipun untuk fadail al-a’mal.
2. Dasar a’mal yang digunakan oleh hadits dha’if tersebut masih dibenarkan oleh hadits yang maqbūl (hadits ṣaḥīḥ dan hasan). Artinya hadits dha’if tersebut memiliki muttabi’ hadits ṣaḥīḥ.[9]
Hadits muttabi’ adalah hadits yang mengikuti periwayatan rawi lain sejak pada gurunya atau gurunya guru. Sedangkan, periwayat yang mengikuti periwayatan seorang guru atau gurunya guru dari rawi lain disebut muttabi.[10]
Apabila periwayat yang lebih dari satu orang itu menerima hadits tersebut dari guru yang sama maka hadits itu disebut hadits mutabi’ tamm, jika periwayat tersebut menerima hadits tersebut dari guru-guru yang berbeda maka hadits yang dimaksud disebut dengan hadits mutabi’ qashir.[11] Dengan bahasa yang lebih mudah muttabi’ adalah periwayat yang menjadi pendukung sanad lain ditingkat selain sahabat. Bila dukungan itu terletak ditingkat sahabat disebut dengan syahid. Menurut Ibnu Katsir, hadits syahid adalah jika sebuah hadits diriwayatkan secara makna dari jalur lain, yang berasal dari sahabat yang berbeda.[12]
3. Dalam mengamalkan hadits dha’if tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi, tetapi dengan tujuan untuk kehati-hatian belaka.[13]
Dari pendapat para ulama’ tersebut terdapat dua mazhab yang berpendapat bahwa hadits dha’if boleh diamalkan dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan. Dalam hal ini penulispun sependapat bahwa pelaksana hadits dha’if itu boleh saja selama hadits tersebut tidak berhubungan dengan hukum syari’at yang berupa haram, halal, makruh, wajib dan mustahab. Pendapat ini didukung oleh Yusuf Qardhawi yang menuliskan bahwa mayoritas ulama’ memperbolehkan periwayatan hadits yang lemah dalam hal fadailul a’māl (perbuatan kebaikan), raqāiq (ungkapan nasihat yang mengharukan), zuhud, targīb (Imbauan untuk berbuat baik), tarhīb (menakut-nakuti agar tidak berbuat dosa) dan kisah-kisah.[14]
Berdasarkan dari pendapat para ulama’ yang telah dikemukakan di atas, maka hadits tentang adzan di telinga bayi yang baru lahir dalam hal penggunaannya adalah hukumnya boleh dilaksanakan karena isi hadits tersebut termasuk kepada kategori fadhailul a’mal dan tidak berhubungan dengan hukum syari’at, disamping itu tidak ada dalil yang lebih kuat yang melarangnya bahkan ada beberapa hadits yang dalam misinya mendukung pelaksanaan hadits tentang adzan di telinga bayi yang baru lahir ini. Dan hendaknya hadits ini disikapi sebagai langkah pendidikan kepada anak.
Kemudian untuk membuktikan apakah bayi bisa mendengar? Penulis akan kemukakan beberapa dalil al-Qur'an, hadīs dan beberapa hasil penelitian. Allah SWT berfirman:
وَ اللهُ أَخْرَجَكُمْ مِن بُطُونِ أُمَّاهَتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئاً وَ جَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَ الأَبْصَارَ وَ الأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (النحل: 78)
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Qs. an-Nahl: 78)[15]
Al-Qurthuby dalam menafsirkan ayat tersebut menyebutkan bahwa penciptaan pendengaran dan penglihatan itu agar manusia dapat mengetahui sesuatu, pendengaran dan penglihatan itu sendiri diciptakan sejak bayi masih dalam kandungan.[16]
Penafsiran al-Qurthuby tersebut menjelaskan bahwa pendengaran dan penglihatan diciptakan sejak bayi masih dalam kandungan, sehingga sangat mungkin sekali bahwa bayi yang masih dalam kandungan bisa mendengarkan, apalagi yang sudah dilahirkan tentu pendengaran sudah tidak terhalang lagi. Sesaat setelah dilahirkan rangsangan yang utama dan pertama dirasakan oleh bayi adalah rangsangan suara, sedangkan rangsangan cahaya yang ditangkap oleh mata baru benar-benar sempurna pada bayi usia 6 bulan.[17]
Dengan demikian, mengumandangkan adzan di telinga bayi yang baru dilahirkan sangatlah mungkin dilakukan, karena sejak dalam kandungan bayi tersebut sudah bisa mendengar dan setelah dilahirkan tentunya pendengaran akan lebih bisa digunakan secara optimal, sehingga adzan di telinga bayi yang baru lahir itu akan dapat di terima oleh bayi sebagai informasi pertama sebelum dia mendengar informasi yang lainnya. Dalam hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:
حَدَّثَناَ حَاجِ بن الْوَلِيْد حَدَّثَناَ مُحمد بن حَرْبٍ عَن الزُّبَيْدِي عَن الزُّهْرِي أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بن الْمُسَيَّب عَن أَبي هُريرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه و سلم مَا مِنْ مَولُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَواهُ يُهَوِّدَانِهِ وَ يُنَصِّرَانِهِ وَ يُمَجِّسَانِهِ (رواه مسلم)
(Imam Muslim berkata:) Hajib bin al-Walid menyampaikan hadīs kepada kami, (Hajib bin al-Walid berkata :) Muhammad bin Harbin menyampaikan hadīs kepada kami dari al-Zubaidi, (al-Zubaidi berkata :) Sa’id bib al Musayyab menyampaikan hadīs kepadaku dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang anakpun yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi. (HR. Muslim)[18]
Mastuhu dalam bukunya Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, mengungkapkan bahwa pengertian fitrah adalah berarti asli, bersih dan suci, bukan kosong tetapi berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada manusia itu sendiri.[19] Pendapat ini dilandaskan pada firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 172 berikut:
وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْناَ أَنْ تَقُولُوا يَومَ الْقِيَامَةِ إِناَّ كُناَّ عَنْ هَذَا غَافِلِيْنَ (الأعراف: 172)
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Qs. al-A’rāf: 172)[20]
Jadi, sesungguhnya anak yang dilahirkan itu bukannya kosong tanpa isi sama sekali tetapi yang dimaksud fitrah itu adalah suci yang mengandung daya-daya yang berupa fitrah illahiyah yang telah mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa yang ditandai ikrar manusia sejak masih dalam kandungan sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk menghindar bahwa dia tidak tahu tentang keesaan Allah.
Kemudian untuk menyuburkan fitrah illahiyah itu diantaranya yaitu dengan mengumandangkan adzan di telinga bayi yang baru lahir sebagai wujud tanggung jawab orang tua dalam rangka menjaga dan mengembangkan fitrah illahiyah yang telah tertanam dalam diri anak. Dalam Hadīs yang lain Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللهِ بن مُحمد حَدَّثَناَ عَبْدُ الرَّزَّاق أَخْبَرَناَ مَعْمَر عَنِ الزُّهْرِي عَن سَعِيد بن الْمُسَيَّب عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنهم أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ مَا مِنْ مَولُودٍ إِلاَّ وَ الشَّيْطَانُ يَمَسُّهُ حِيْنَ يُولَدُ فَيَسْتَهِلُّ صَارِخاً مِنْ مَسِّ الشَّيْطَانِ إِياَّهُ إِلاَّ مَرْيَمَ وَ ابْنَهاَ (رواه البخاري)
(Imam Bukhari berkata:) telah meriwayatkan hadits kepadaku Abdullah bin Muhammad, (Abdullah bin Muhammad berkata:) Abdurrazzaq telah meriwayatkan hadits kepadaku, (Abdurrazzaq berkata:) Mu’ammar telah memberikan habar kepadaku dari al Zuhri dari Sa’id ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah r.a., Bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada anak keturunan Adam yang dilahirkan kecuali setan akan menyentuhnya ketika dia lahir, maka setan memeras perutnya sehingga bayi tersebut menjerit karena sentuhan setan, kecuali Maryam dan putranya”. (HR. al-Bukhari)[21]
Hadits tersebut menyebutkan bahwa setiap anak yang dilahirkan akan selalu disertai oleh setan dan kemudian setan akan meremas perutnya dengan keras sehingga anak itu akan menjerit kesakitan, dengan kata lain setan tersebut juga akan menggoda anak tersebut. Maka untuk menghindari hal tersebut tindakan untuk mengadzani anak yang baru lahir adalah suatu upaya untuk mencegah setan agar tidak mengganggu anak lebih jauh lagi.
Adapun hikmah pengkumandangan adzan di telinga bayi yang baru lahir, Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya Tuhfatul Mudud sebagaimana dikutip oleh Jamal Abdurrahman dalam bukunya Pendidikan Ala Kanjeng Nabi menyebutkan bahwa rahasia dikumandangkannya adzan dan iqamah pada telinga bayi yang baru lahir adalah supaya adzan merupakan kalimat yang pertama yang didengar oleh bayi, dimana adzan ini mengandung kebesaran Allah dan merupakan persaksian bagi bayi tersebut untuk dimasukkan Islam.[22]
Abdullah Nasih Ulwan dalam karyanya yang berjudul Tarbiyatul Aulad fil Islam yang diterjemahkan oleh Jamaluddin Miri dengan judul Pendidikan Anak dalam Islam, menambahkan bahwa hikmah lainnya yaitu agar dakwah/ajakan untuk iman dan menyembah kepada Allah dengan lafal syahadatain sebagai simbol pertama masuk Islam itu lebih dulu dari pada ajakan setan karena setiap anak yang dilahirkan itu sudah selalu ditunggui oleh setan.[23] Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW,
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللهِ بن مُحمد حَدَّثَناَ عَبْدُ الرَّزَّاق أَخْبَرَناَ مَعْمَر عَنِ الزُّهْرِي عَن سَعِيد بن الْمُسَيَّب عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنهم أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ مَا مِنْ مَولُودٍ إِلاَّ وَ الشَّيْطَانُ يَمَسُّهُ حِيْنَ يُولَدُ فَيَسْتَهِلُّ صَارِخاً مِنْ مَسِّ الشَّيْطَانِ إِياَّهُ إِلاَّ مَرْيَمَ وَ ابْنَهاَ (رواه البخاري)
(Imam Bukhari berkata:) telah meriwayatkan hadits kepadaku Abdullah bin Muhammad, (Abdullah bin Muhammad berkata:) Abdurrazzaq telah meriwayatkan hadits kepadaku, (Abdurrazzaq berkata:) Mu’ammar telah memberikan habar kepadaku dari al Zuhri dari Sa’id ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah r.a., Bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada anak keturunan Adam yang dilahirkan kecuali setan akan menyentuhnya ketika dia lahir, maka setan memeras perutnya sehingga bayi tersebut menjerit karena sentuhan setan, kecuali Maryam dan putranya”. (HR. al-Bukhari)[24]
Hadits tersebut menyebutkan bahwa setiap anak yang dilahirkan akan selalu disertai oleh setan dan kemudian setan akan meremas perutnya dengan keras sehingga anak itu akan menjerit kesakitan, dengan kata lain setan tersebut juga akan menggoda anak tersebut.
Abdurrahman Mas’ud mengemukakan bahwa adzan dan iqamah yang diperdengarkan pada bayi yang baru lahir merupakan ajakan kemenangan dalam arti yang sebenarnya yaitu al-falah: kejayaan lahir dan batin, dunia dan akhirat.[25]
Pendapat tersebut menafsirkan bahwa lafad al-falah bisa diartikan secara luas yaitu kejayaan lahir yaitu kebahagiaan lahiriyah berupa kesehatan dan kebaikan kehidupan serta kejayaan batin yang berupa ketenteraman secara batiniyah, serta kejayaan dunia akhirat yaitu dalam dunia bisa hidup tentram dan bahagia dengan penghidupannya serta bisa mengamalkan ibadah sesuai dengan syariat agama yang akhirnya nanti akan masuk dalam kejayaan akhirat karena ibadah dan amal kebaikan di dunia yang telah ia lakukan.
Dengan bahasa yang berbeda Aba Firdaus al-Hawawi dalam buku yang berjudul Melahirkan Anak Salih, juga mengatakan bahwa di dalam adzan juga terkandung makna ajakan untuk mengenal Allah mengenal agama serta ajakan untuk beribadah kepada-Nya.[26]
Keempat pendapat di atas mengemukakan betapa besar hikmah adzan yang diperdengarkan pada telinga bayi yang baru lahir yaitu sebagai talqin tentang keimanan yaitu ajakan untuk masuk Islam dengan syahadatain dan tuntunan ibadah serta bermaksud agar dakwah Islamiyah tersebut tidak didahului oleh ajakan setan yang selalu menggoda manusia.
[1] Abdurrahman Mas’ud, Azan Di Telinga Anak, dalam Nurcholish Madjid, dkk., Puasa Titian Menuju Rayyan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), cet. I, hlm. 109.
[2] Imam Abi al Husain Muslim bin al Hajjaaj al Qusairy al Naisabury, Shahih Muslim, Juz II, (Bairut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, t.t.), hlm. 458.
[3] Imam Abi Dawud Sulaiman Ibn al Asy’ash al Sijistany al Azdy, Sunan Abi Daud, Jus III (Bairut: Dar al kutub al ‘Ilmiyyah, t.t.), hlm. 333.
[4] Sri Mufarida, Kualitas Hadiś Tentang Ażan Pada Telinga Bayi yang Baru Lahir, Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2002), hlm. 77.
[5] Abī al-‘Ulā Muhammad Abdurrahman al-Mubarkafūry, Tuhfah al-Ahwady Bissyarkhi Jami’ at-Tirmiżi, Juz V, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), hlm. 89
[6] Ibid, hlm. 90
[7] Tengku Muhammad Hasbi ash Shiqqieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 201-202.
[8] Muhammad Mustafa Azami, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Lentera, 1993), hlm. 119.
[9] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al-Hadits, (Bandung: al Ma’arif, 1974), hlm.143
[10] Ibid, hlm. 107
[11] Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 124
[12] Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Ikhtisar Ulum al Hadits, (Kairo: Dar Ibnu al Jauzi, 2008), hlm.36
[13] Fatchur Rahman, Op. Cit, hlm.230
[14] Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1999), hlm. 67.
[15] R.H.A. Sunarjo, dkk, Al-Qur'an al Karim wa Tarjamatu Ma’anihi ila al-Lughah al-Indunisia (al-Qur'an dan Terjemahnya), (Madinah al Munawwarah: Mujamma’ Malik Fahd li Thiba’at al Mushhaf asy Syarif, 1418 H.), hlm. 413.
[16] Abi Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad al-Anshary al-Qurthuby, Al-Jami’ Liahkamil Qur’an, Juz 10, (Bairut: Darul Kutub al Ilmiyyah, 1993), jilid V, hlm. 100.
[17] Gajahnata, Beberapa Aspek Pemikiran tentang Kesehatan dan Kelahiran dalam Islam, (Jakarta : PT. Media Sarana Press, 1987), hlm. 124.
[18] Imam Abi al Husain Muslim bin al-Hajjaaj al-Qusairy al-Naisabury, Shahih Muslim, Juz II, (Bairut : Dar al Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), hlm. 458.
[19] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta, INIS: 1994), hlm. 15.
[20] R.H.A. Sunarjo, dkk. , Op.Cit., hlm. 250.
[21] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Ibnu Ibrahim bin al Mugirah Barizabah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz V, (Bairut: Dar al Kutub al-Ilmiyyah, 1992), hlm. 199.
[22] Jamal Abdurrahman, Pendidikan Ala Kanjeng Nabi, Terj. Jujuk Najibah Ardiyaningsih, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hlm. 11.
[23] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terj. Jamaliddin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 66
[24] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Ibnu Ibrahim bin al-Mugirah Barizabah al-Bukhari, Loc. Cit.
[25] Abdurrahman Mas’ud, Azan di Telinga Anak, dalam Nurcholish Majid, dkk, Puasa Titian Menuju Rayyan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hlm. 109.
[26] Aba Firdaus al-Hawani, Melahirkan Anak Sholeh, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), Cet. III, hlm. 38
No comments:
Post a Comment