Masyarakat Jawa merupakan satukesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Selain itu, masyarakat Jawa mempunyai suatu budaya yang menjadi landasan normatif bagi kehidupannya yaitu “sangkan paraning dumadi” (darimana manusia berasal, apa dan siapa dia, dimana kini dan kemana arah tujuan hidup yang akan dijalani serta kemana tujuannya) yang dianggap sebagai landasan religius masyarakat.[1]
Keagamaan orang Jawa, pada pokoknya dimanifestasikan terhadap pemujaan nenek moyang. Nenek moyang itu adalah leluhur yang terdekat, leluhur tertentu dari masa lampau yang lebih jauh atau pencipta alamsemesta yang dianggap sebagai sumber kekuatan hidup. Para leluhur itu dianggap terus mempengaruhi mereka yang masih hidup.[2] Oleh karena itu, suku Jawa mempunyai kekayaan simbolisasi yang terefleksikan dalam berbagai budayanya, salah satunya adalah adanya slametanatau disebut juga dengan wilujengan.
Slametan atau Wilujengan adalah suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya. Suatu upacara slametan biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga yang pria, dengan beberapa tamu (kebanyakan pria), yang biasanya tetangga–tetangga terdekat dan kenalan-kenalan yang tinggal tidak terlalu jauh, kerabat-kerabat yang tinggal di kota atau dusun yang sama dan ada kalanya juga teman-teman akrab yang mungkin tinggal agak jauh. Tamu-tamu ini biasanya diundang tidak lama sebelumupacara diadakan.[3]
Slametan adalah peristiwa komunal, namun tidak mendefinisikan komunitas secara tegas. Slametan berlangsung melalui ungkapan verbal yang panjang dimana semua orang setuju dengannya, tetapi secara perorangan belum tentu sepakat akan maknanya. Slametan juga dipandang sebagai pola kompromi kebudayaan sikap dan gaya retorik yang diwujudkan berbagai variasi dan dibawa ke dalam nuansa kehidupan keagamaan yang berbeda-beda pula.[4]
Bahkan, kebanyakan antropolog yang mempelajari masyarakat Jawa berpendapat bahwa slametan adalah jantungnya agama Jawa.[5] Sehingga tidak mengherankan bila Geertz membuka uraiannya dalam The Religion of Java dengan pernyataan : “Di pusat sistem agama Jawa, terdapatlah suatu ritus yang sederhana, formal, jauh dari keramaian dan dramatis: itulah slametan”.[6]
Secara umum tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun halus. Slametan biasanya dilaksanakan setelah matahari terbenam dengan seperangkat sesajen dan berbagai makanan yang disajikan tergantung pada jenis dan tujuan slametan.[7]
Slametan terbagi dalam empat jenis : (1) yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan (sepanjang lingkaran hidup), sejak seorang individu ada dalam rahim ibunya sampai meninggal; (2) yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam; (3) yang ada kaitannya dengan integrasi sosial desa (bersih desa); (4) slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu tidak tetap.[8]
Upacara peralihan tahap pada orang Jawa menggambarkan sebuah busur, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tidak teratur yang melingkungi kelahiran, sampai kepada pesta dan hiburan besar yang diatur rapi pada khitanan dan perkawinan dan akhirnya upacara-upacara kematian yang hening dan mencekam perasaan.[9] Bahkan Avan Gennep, agak melebih-lebihkan pendapatnya dalam bukunya Rites de Passeage, bahwa rangkaian upacara sepanjang lingkaran hidup merupakan bentuk tertua dari semua aktivitas keagamaan dalam kebudayaan manusia. Walaupun demikian, upacara-upacara tersebut sudah pasti sangat penting dan mutlak dalam banyak agama, terutama dalam sistem keagamaan Jawa.[10]
Ritus peralihan (rites of passage) dalam masyarakat Jawa terbagi menjadi beberapa tahap yaitu :
1. Slametan bagi wanita hamil
Dalam masyarakat Jawa bila seorang wanita hamil, menurut tradisi perlu diadakan bermacam-macam slametan dan upacara lainnya. Hal ini perlu dilaksanakan dengan maksud agar bayi yang dikandung akan lahir dengan mudah dan selamat. Slametan dan upacara yang sering dilaksanakan adalah:
a. Kehamilan bulan keempat, disebut “ngupati”
b. Kehamilan bulan ketujuh, biasa disebut “tingkeban”[11]
Slametan tujuh bulan ini juga disebut “mitoni”. Tingkeban merupakan slametan utama pada masa kehamilan. Slametan ini diselenggarakan hanya pada anak pertama dan bertempat di rumah ibu si calon ibu. Upacara tingkeban ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih bertanam didalam rahim sang ibu.[12]
c. Kehamilan bulan kesembilan
Bila wanita sedang hamil sembilan bulan yaitu menjelang bayi lahir, slametan yang diadakan adalah membuat jenang procot, dengan maksud agar bayi yang ada didalam kandungan dengan mudah lahirnya.
2. Slametan Kelahiran
Setelah bayi lahir, dipotong tali pusarnya, dan dibersihkan oleh dukun bayi atau bidan. Segera setelah itu ayah bayi membisikkan adzan ke dalam telinga kanannya dan iqamah ke dalam telinga kirinya. Slametan yang diadakan pertama biasanya adalah slametan puput pusar, yang diadakan berhubungan dengan peristiwa terlepasnya tali pusar. Upacara selanjutnya yaitu memberi nama. Pemberian nama biasanya diadakan pada kelahiran bayi yang biasanya disebut slametan brokohan.
Upacara ini sekarang sudah jarang dilakukan, karena pemberian nama dilakukan pada hari ketujuh hari kelahiran bayi sekaligus upacara kekah dan pemotongan rambut yang disebut slematan nyepasari. Seharusnya upacara nyepasari diadakan pada waktu seorang bayi berumur lima hari, tetapi agaknya telah terjadi kekacauan sehingga upacara berkorban kekah dan kedua peristiwa itu diadakan pada hari ke tujuh. Upacara slametan kelahiran yang lain adalah nyelapani yang diadakah pada waktu seorang bayi berumur 35 hari.
Upacara Tedhak Siten atau upacara menyentuh tanah merupakan slametan terakhir terhadap seseorang ketika masih bayi. Slametan ini diadakan pada hari weton ke tujuh setelah bayi berumur 35 hari (jadi 7 x 35 hari). Upacara tedhak siten ini adalah merayakan peristiwa sentuhan pertama dengan tanah.[13]
3. Khitanan (tetakan)
Khitanan atau sunatan (tetak) juga diadakan slametan. Kebanyakan anak laki-laki di Jawa disunat pada usia sepuluh sampai 15 tahun. Menurut kebiasaan penyunatan dikerjakan oleh seorang ahli yang disebut calak atau bong yang seringkali merangkap sebagai tukang cukur, jagal, atau dukun. Namun sekarang, banyak yang menyunatkan anaknya di rumah sakit. Sesudah dipilih hari yang baik, slametan diadakan pada malam hari menjelang sunatan dilaksanakan. Slametan ini disebut manggulan.[14]
Biasanya anak yang akan dikhitan berjaga sampai tengah malam, ditemani oleh keluarganya. Orang Jawa mengira pada malam itu para bidadari dan makhluk halus yang baik terhadap manusia akan turun untuk memberikan doa restu kepada mereka. Kemudian pada pagi harinya anak tersebut dikhitan yang dilakukan dengan memotong kulit luar alat kelaminnya yang berlangsung beberapa menit saja.
Siang harinya diadakan salematan yang dinamakan slametan jenang abrit. Unsur terpenting dalam slametan ini adalah bubur merah yang terbuat dari bubur beras dengan gula merah. Slametan ini biasanya hanya dihadiri oleh keluarga dekat saja.[15]
4. Perkawinan
Upacara perkawinan,yang disebut juga dengan kepanggihan (pertemuan), selalu diselenggarakan di rumah pengantin perempuan. Dalam upacara perkawinan, slametan perkawinan diselenggarakan pada malam hari menjelang upacara sebenarnya. Slametan itu disebut midodareni. Pada upacara perkawinan bagian terpenting adalah melakukan ijab-kabul.[16]
Sebelum peresmian pernikahan, terlebih dahulu diselenggarakan serangkaian upacara. Seorang jejaka yang ingin menikah dengan seorang gadis, langkah-langah yang dijalankan diatur sebagai berikut :
a. Jejaka yang bersangkutan harus ke rumah orang tua si gadis untuk menanyakan masih legan artinya sudah ada yang punya atau belum. Hal ini biasa disebut nakokake (bertanya)
b. Setelah upacara nakokake disusul dengan upacara peningsetan yaitu upacara pemberian sejumlah harta dari pihak jejaka pada si gadis. Harta itu berupa pakaian selengkapnya dan kadang kala disertai cincin kawin.
c. Upacara selanjutnya adalah upacara asok–tukon. Upacara ini adalah suatu tanda penyerahan harta benda atau kekayaan dari pihak keluarga calon pengantin pria kepada pihak calon pengantin wanita. Upacara asok-tukon ini disebut juga upacara srah-srahan yang merupakan tanda mas kawin.
d. Sehari menjelang upacara pernikahan, pagi hari beberapa pihak calon pengantin wanita berkunjung ke makam para leluhurnya untuk memohon doa restu. Pada sore harinya diadakan upacara slametan untuk memohon berkah dan rahmat Allah agar dalam serangkaian upacara slametan tanpa adanya aral melintang. Pada malam harinya dilanjutkan dengan malam begadang atau leklekan.
e. Malam menjelang hari perkawinan diadakan malam midodareni atau slametan tirakatan yang sebelumnya yaitu pada pagi atau sore hari calon pengantin melaksanakan upacara siraman.
f. Pada saat pernikahan, pengantin pria dengan diiringi dengan orang tua dan handai tolannya pergi ke rumah calon wanita. Setelah itu melaksanakan ijab-kabul atau akad nikah. Akad nikah biasanya dilaksanakan di rumah, di Kantor Urusan Agama atau di Gereja bagi yang beragama Nasrani.
g. Setelah ijab Kabul selesai, disusul serangkaian upacara panggih atau temon antara pengantin pria dan pengantin wanita yang akhirnya kedua pengantin itu duduk bersanding dipelaminan.
h. Apabila pihak keluarga pria bermaksud hendak membawa pengantin wanita ke rumah mereka, harus menuggu sepasar, yaitu 5 hari sejak mereka melangsungkan pernikahan. Boyongan pengantin sepasaran yang disertai dengan pesta ditempat orang tua pengantin pria disebut upacara ngunduh mantu.[17]
5. Kematian
Meninggal dunianya seseorang mengakibatkan terjadinya peristiwa kesripahan, kematian bagi keluarga yang ditinggalkan. Slametan-slametan yang biasanya diadakan keluarganya terhadap orang yang meninggal adalah pada hari geblak (meninggalnya), nelung dino (tiga harinya), mitung dino (tujuh harinya), matang puluh (empat puluh harinya), nyatus (sersatus harinya), mendhak sepisan (setahunya), mendhak pindho (dua tahunnya), dan nyewu (seribu harinya). Peringatan seribu hari biasanya dibarengkan pula dengan ngijing atau memasang batu nisan.[18]
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa slametan utama dalam lingkaran hidup ada 5 tahap yaitu sebelum kelahiran, kelahiran, khitanan, perkawinan, dan yang terakhir adalah kematian. Para ahli menyebutnya rites of passage.
[1] P.J. Zoetmulder, Panteisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa Suatu Studi Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1987, hlm. 115
[2] Clifford Geertz, The Religion of Java, Free Press of Glencoe, London, 1964, hlm.534
[3] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm.344
[4] Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.36
[5] Ibid, hlm.39
[6] Clifford Geertz, Op. Cit., hlm.13
[7] Andrew Beatty, Op. Cit., hlm.43
[8] Clifford Geertz, Op. Cit., hlm.38
[9] Ibid, hlm.48
[10] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm.350
[11] Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Tradisional Masyarakat Jawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.12
[12] Ibid, hlm.21
[13] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm.352 – 356
[14] Clifford Geertz, Op. Cit., hlm.66-67
[15] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm.358 – 359
[16] Clifford Geertz, Op. Cit., hlm.70–71
[17] Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Op. Cit., hlm.93–95
[18] Marbangun Hardjowirogo, Adat Istiadat Jawa, Patma, Bandung, t.th, hlm. 142
No comments:
Post a Comment