Al-ruh mempunyai dua pengertian, pengertian pertama: ruh dalam pengertian biologis, yaitu benda halus yang bersumber dari darah hitam di dalam rongga hati yang berupa daging yang berbentuk seperti pohon cemara. Benda halus ini tersebar melalui nadi dan pembuluh balik pada seluruh bagian tubuh. Ruh jasmaniah ini mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak serta merasakan berbagai rasa. Ruh ini dapat diumpamakan sebagai lampu yang mampu menerangi setiap sudut organ. Inilah yang disebut nyawa. Pengertian kedua, luthf rabbani yang merupakan makan hakekat hati. Ruh dan hati saling bergantian pengacu pada Luthf.[1] Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT,
و سيئلونك عن الروح قل الروح من أمر ربّي و ما أوتيتم من العلم إلاّ قليلا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (QS. al-Isra: 85).
Ia dapat berfikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya, ia juga penggerak bagi keberadaan jasad manusia, sifatnya ghaib.[2]
Ruh ini dapat dikatakan sebagai fitrah asal yang menjadi esensi (hakekat) struktur manusia. Fungsinya berguna untuk memberikan motivasi dan menjadikan dinamisasi tingkah lakunya. Ruh ini membimbing kehidupan spriritual nafsani manusia.[3]
Menurut al-Ghazali, dalam Misykah al-Anwar, manusia memiliki tingkatan-tingkatan ruhaniah tertentu, antara lain:
1. Ruh inderawi, yaitu ruh yang menerima sesuatu yang dikirim oleh panca indera. Ruh ini adalah asal dan awal ruh makhluk hidup. Dengannya semua makhluk hidup menjadi hidup. Ruh ini sudah ada walaupun pada bayi yang masih menyusu.
2. Ruh Khayali (Imajinatif), yaitu yang merekam keterangan dan menyimpannya untuk kemudian menyampaikannya kepada ruh aqli (intelegensi) pada saat dibutuhkan.
3. Ruh Aqli (Akal, intlegensi), yaitu yang mampu menyerap makna-makna di luar indera dan khayal. Ruh ini adalah substansi manusiawai yang khusus, tidak terdapat pada bayi ataupun hewan.
4. Ruh Pemikir, yaitu yang mengambil ilmu-ilmu aqli yang murni. Kemudian disatukan dalam bentuk ta’lifat (rangkaian) dan izdiwijat (duplikasi), lalu dideduksi menjadi pengetahuan-pengetahun yang berharga lalu dikembangkan.
5. Ruh suci kenabian (Qudus), yaitu ruh yang tersingkap selubung-selubung lauh-lauh ghaib dan hukum-hukum akhirat serta pengetahuan tentang kerajaanlangit dan bumi, bahkan pengetahuan-pengetahuan rabbani( ketuhanan).[4]
Dalam artian metafisik, keempat unsur (al-nafs, al-aql, al-qalb, al-ruh) adalah semakna dan tak dibedakan satu dari lainnya, semua bersifat ruhaniah, suci, mampu mengenali dan memahami sesuatu, diciptakan Allah dengan sifat kekal, serta merupakan inti kemanusiaan yang disebut dengan bermacam-macam nama antara lain al-Lathifah al-Ruhaniyah atau al-Lathifah al-Rabbaniyyah.[5]
Nama-nama itu berubah-ubah disebabkan oleh perubahan ruh manusia yang bermacam-macam. Apabila nafsu syahwat dapat mengalahkan ruh, maka dinamakanlah ia sebagai hawa nafsu. Jika ruh dapat mengalahkan syahwat, itu disebut akal, jika penyebabnya adalah rasa keimanan, dinamakanlah ia hati, dan bila ia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya dan melakukan pengabdian yang tulus lkhlas, maka disebut ia ruh.
[1] Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Juz III, (terj. TK. H.Ismail Yakub, dari judul: Ihya Ulum al-Din) Pustaka Nasional, Singapura, 1994, Cet. IV, hlm. 3
[2] Abdul Mujib, Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 42
[3] Ibid.,hlm. 44
[4] Imam al-Ghazali, Misykat Cahaya-cahaya, (terj.M. Bagir, dari judul asli Misykat Al-Anwar), Penerbit Mizan, Bandung, 1993, Cet. IV, hlm 80-82.
[5] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 78
No comments:
Post a Comment