INSÂN KAMÎL

insan kamil
Ali Yafie merumuskan insân kamîl yaitu manusia yang memiliki keseimbangan (mental), yang dapat memadukan kehidupan pribadinya sebagai individu dan kehidupan sosialnya sebagai warga masyarakat.[1] Manusia semacam ini, kata Ali Yafie sebagaimana hasil kajiannya terhadap al-Qur'an, adalah manusia yang memiliki kesadaran bahwa kehadirannya di muka bumi ini tidak sendiri. Dia bersama dengan sesama manusia, dia bersama dengan makhluk dan benda lain yang juga ciptaan Tuhan. Semuanya diberi peran dan peluang yang sama untuk membangun dan menjaga keseimbangan dan kelangsungan hidup bumi ini. Di sini nilai-nilai persamaan, keadilan dan toleransi terlihat dominan menguasai alam pikiran dan jiwa manusia semacam itu.
Tidak hanya itu, manusia yang memiliki keseimbangan juga dilengkapi dengan sikap terbuka, jujur, dan menghargai orang lain. Bertanggungjawab, ikhlas, berani, memiliki rasa cinta kasih dan sebagainya. Lebih jauh lagi, dia sadar akan hak dan kewajiban, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Manusia seperti itulah yang mampu mendukung dan ikut dalam program pembangunan masyarakat yang mencerminkan keseimbangan.
Insân kamîl adalah manusia teladan atau manusia ideal. Insân kamîl adalah manusia yang seluruh nilai insaninya berkembang secara seimbang dan stabil. Tak satu pun dari nilai-nilai itu yang berkembang tidak selaras dengan nilai-nilai lain.[2]
Menurut Ahmad Tafsir, insân kamîl (manusia sempurna) menurut Islam tidak mungkin di luar hakikatnya.[3]
Kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata, dan lainnya.[4]
Adapun kata kamîl dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat. Hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.[5]
Jika hendak membahas insân kamîl, maka harus dibicarakan lebih dahulu tentang siapa manusia itu sebenarnya. Yang berarti pula harus berbicara tentang hakikat manusia. Ada tiga kata yang digunakan al-Quran untuk menunjuk kepada manusia.
1. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins, naas, atau unas.
2. Menggunakan kata basyar.
3. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.[6]
Uraian ini akan mengarahkan pandangan secara khusus kepada kata basyar dan kata insan.
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dua) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk menyampaikan bahwa,
إنما أنا بشر مثلكم يوحى إليّ
Aku adalah basyar manusia seperti kamu yang diberi wahyu. (QS. Al-Kahfi : 110).
Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Quran yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.
و من آيته أن خلقكم من تراب ثم أنتم بشر تنتشرون
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran. (QS al-Rum: 20).
Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezeki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggungjawab. Karena itu pula Maryam mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak padahal dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang mampu berhubungan seks) (QS Ali 'Imran: 47). Kata basyiruhunna yang digunakan oleh al-Quran sebanyak dua kali (QS al-Baqarah: 187), juga diartikan dengan hubungan seks.[7]
Demikian terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Dan karena itu pula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar (perhatikan QS al-Hijr: 28 yang menggunakan kata basyar), dan QS Al-Baqarah: 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitaan Allah kepada malaikat tentang manusia.[8]
Ciri manusia sempurna (insân kamîl) menurut Islam yaitu,
1. Jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan.
2. Cerdas serta pandai.
3. Rohani yang berkualitas tinggi.[9]
Seluruh uraian tentang ciri manusia sempurna menurut Islam ini dapat diringkaskan sebagai berikut. Manusia sempurna menurut Islam haruslah:
1. Jasmaninya sehat serta kuat, termasuk berketerampilan;
2. Akalnya cerdas serta pandai;
3. Hatinya (kalbunya) penuh iman kepada Allah.
Jasmani yang sehat serta kuat cirinya adalah:
1. Sehat,
2. Kuat,
3. Berketerampilan.
Kecerdasan dan kepandaian cirinya adalah:
1. Mampu menyelesaikan masalah secara cepat dan tepat;
2. Mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah dan filosofis;
3. Memiliki dan mengembangkan sains;
4. Memiliki dan mengembangkan filsafat.
Hati yang takwa kepada Allah berciri:
1. Dengan sukarela melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya;
2. Hati yang berkemampuan berhubungan dengan alam gaib.[10]
Menurut Muthahhari ada dua cara untuk mengenal insân kamîl,
Pertama, dengan melihat bagaimana al-Qur'an dan hadits menggambarkan manusia sempurna tersebut (walaupun al-Qur'an dan hadits sendiri tidak menyebutkan istilah insân kamîl, akan tetapi menggunakan istilah "muslim kamil" dan "mukmin kamil").
Kedua, mengenal insan kamil tanpa penjelasan dari al-Qur'an maupun hadits, melainkan dengan cara mengenal langsung individu-individu yang meyakinkan bahwa mereka adalah orang yang terbina sedemikian rupa sebagaimana diinginkan oleh al-Qur'an dan hadits.[11]


[1] Ali Yafie, Teologi Sosial, Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan, Yogyakarta: LKPSM Tampeyan, 1997, hlm. 156.
[2] Murtadha Mutahhari, Manusia Seutuhnya, Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1995, hlm. 11 dan 33
[3] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, hlm. 41
[4] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003, hlm. 257
[5] Ibid, hlm. 259
[6] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: PT. Mizan Pustaka anggota IKAPI, 2003, hlm. 278
[7] Ibid, hlm. 279
[8] Ibid.
[9] Ahmad Tafsir, Op. Cit., hlm. 41
[10] Ibid, hlm. 50
[11] Murtadha Mutahhari, Manusia Seutuhnya, Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1995, hlm. 12




















































No comments:

Post a Comment