PERINGATAN HAUL DALAM ISLAM

haull 2 abah
Haul berasal dari bahasa Arab al-Haul yang mempunyai arti telah lewat dan berlalu atau berarti tahun. Dalam bab zakat kita jumpai dalam literatur fiqih, haul menjadi syarat wajibnya zakat hewan ternak, emas, perak, serta harta dagangan. Artinya, harta kekayaan tersebut baru wajib dikeluarkan zakatnya bila telah berumur satu tahun.[1]
Haul yang dalam bahasa Arab berarti tahun, dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, mempunyai arti yang sangat khusus, yaitu suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seseorang yang ditokohkan dari para wali, ulama atau kyai.[2]
Haul disebut juga khol (mungkin karena salah kaprah dalam pengucapan), adalah salah satu tradisi yang berkembang kuat dikalangan Nahdliyin. Berbentuk peringatan kematian seseorang setiap tahun, biasanya dilakukan tepat pada hari, tanggal dan pasaran kematian.[3]
Peringatan haul ini sudah membumi di bumi tercinta Indonesia, entah sejak kapan dimulai dan siapa yang memulai, yang jelas peringatan ini sudah merupakan suatu kelaziman yang mengakar dimana-mana, tanpa ada keraguan sedikit pun bagi yang melakukannya. Sampai akhirnya muncul kelompok yang anti haul.[4]
Para ulama menyatakan, peringatanhaul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan, menurut penjelasan Kyai Sahal Mahfudh, bahwa status hukum haul ditentukan oleh status hukum rangkaian tiga hal dalam pelaksanaan haul, yaitu:
1. Tahlil, membaca al-Qur’an dan mendo’akan mayit
Telah kita maklumi bersama, perjamuan tahlilan merupakan upacara ritual (seremonial) memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan. Acara tersebut diselenggarakan ketika salah seorang/sebagian dari anggota keluarga telah meninggal dunia. Secara bersama-sama, setelah proses penguburan selesai dilakukan, seluruh keluarga, handai taulan, serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga mayit hendak menyelenggarakan acara pembacaan beberapa ayat al-Qur’an, dzikir, berikut do’a-do’a yang ditujukan untuk mayit di “alam sana”. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali) maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah “tahlilan”.
Ibnu Taimiyyah dalam kitab Fatwa-nya, sesuai dengan kesepakatan para imam bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah badaniyah seperti sholat, puasa, membaca al-Qur’an ataupun ibadah maliyahseperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk orang yang berdo’a dan membaca istighfar untuk mayit.[5]
Berikut ini Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abd. Halim yang lebih populer dengan panggilan Ibn Taimiyah menjelaskan sebagai berikut:
Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung dalam beberapa haditsshahih dari Nabi SAW., seperti kata Sa’ad “Ya Rasulullah, sesungguhnya Ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ia masih hidup, pasti bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya?”Jawab beliau “ya, begitu juga bermanfaat bagi mayit; haji, qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan tanpa imam. Adapun puasa, sholat sunah, membaca al-Qur’an untuk mayit, ada dua pendapat: Pertama, mayit bisa mengambil manfaat dengannya, pendapat ini menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian Ashhab Ayafi’i dan yang lain. Kedua, tidak sampai kepada mayit, menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik dan Syafi’i.[6]
Berziarah ke makam para wali dan orang-orang shaleh telah menjadi tradisi para ulama salaf. Di antaranya adalah Imam Syafi’i mencontohkan berziarah kemakam Laits bin Sa’ad dan membaca Al-Qur’an sampai khatam disana.[7]
Berkumpul untuk melakukan tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh Rasulullah SAW, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena tidak satupun unsur-unsur yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pembacaan yasin, tahlil, tahmid, tasbih dan semacamnya.[8]
Dari sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar untuk menjalin ukhuwah antar anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitian ilmiyah yang dilakukan oleh Zaenuddin Fananie MA., dan Atiqo Sabardila MA., dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Disamping itu tahlil juga merupakan salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai media komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta mendatangkan ketenangan jiwa.[9]
2. Pengajian
Pengajian merupakan salah satu cara dakwah bi al-lisan (dengan ucapan). Untuk memberikan wawasan, bimbingan dan penyuluhan yang bertujuan meningkatkan kualitas ketaqwaan kaum muslimin, dengan jalan memperluas pemahaman mereka tentang ajaran agamanya. Peningkatan iman dan taqwa akan mendorong melakukan amal saleh, baik ibadah ritual, individual, maupun sosial. Dari sana pula diharapkan moralitas dan etika dikalangan masyarakat meningkat.
Pola dakwah dalam bentuk pengajian memiliki beberapa kelebihan, disamping kekurangannya. Kelebihannya, peserta tak perlu mengeluarkan biaya, dapat menampung jumlah yang banyak dari berbagai lapisan, temanya bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat, dan pesan-pesannya disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan dicerna sesuai kadar intelektual pesertanya.
3. Sedekah atau Shodaqoh
Adapun sedekah yang pahalanya diberikan/dihadiahkan kepada mayit, pada dasarnya diperbolehkan. Karena hal itu termasuk amal sholeh. Muhyiddin Abdusshomad dalam bukunya Hujah NU mengatakan bahwa menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang meninggal dunia itu ada manfaatnya, karena dengan izin Allah SWT akan sampai kepada orang yang dimaksud. Jika Allah SWT telah mengabulkan do’a yang dipanjatkan itu, lalu siapakah yang berani mengatakan pahala al-Qur’an serta dzikir itu tidak sampai kepada orang yang meninggal dunia? Pasti pahala tersebut akan sampai kepada ahli kubur yang dimaksud.[10]
Dari keterangan tersebut, jelas aktivitas dalam rangkaian upacara haul dibenarkan adanya. Maka dengan sendirinya haul itu tidak dilarang.
Haul ulama dan orang-orang saleh, sebenarnya jika diteliti lebih lanjut kegiatan itu memiliki tujuan dan tata cara berdasarkan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Tujuan tersebut antara lain:
Pertama, untuk mendo’akan orang yang meninggal dengan memintakan ampun kepada Allah, dan agar dijauhkan dari siksa kubur, siksa neraka serta dimasukkan surga. Karena itulah dalam ritual haul, yang umum dilakukan adalah dengan pembacaan yasin dan tahlil.
Kedua, untuk bersedekah dari ahli keluarganya atau orang yang membuat acara (shohibul hajah), orang yang membantu atau orang yang ikut berpartisipasi dengan diniatkan untuk dirinya sendiri dan juga pahalanya dimohonkan kepada Allah agar disampaikan kepada orang yang dihauli.
Ada beberapa manfaat dari haul itu, antara lain:
Pertama, untuk mengambil teladan dengan kematian seseorang, bahwa kita pada akhirnya nanti juga akan meninggal. Sehingga hal itu akan menimbulkan dampak pada diri kita untuk selalu meningkatkan ketakwaan dan amal sholeh.
Kedua, untuk meneladani amaliyah dan kebaikan-kebaikan dari orang yang dihauli, khususnya jika yang dihauli adalah ulama, sholihin atau waliyullah, dengan harapan agar segala amaliyah baik mayit semasa hidupnya akan dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu biasanya acara haul selalu diisi dengan pembacaan biografi (manaqib) atau sejarah hidup orang yang sudah wafat dengan maksud agar kebaikan orang tersebut dapat diketahui orang yang hadir dan mereka dapat menapak-tilasi perilakunya yang terpuji serta mengambil apa saja yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka.
Ketiga, untuk memohon keberkahan hidup kepada Allah melalui wasilah (media) keberkahan-Nya yang telah diberikan kepada para ulama, sholihin atau waliyullah yang dihauli tersebut selama masa hidupnya.
Keempat, sebagai sarana silaturahmi dan persatuan umat Islam, karena dengan media haul ini tidak jarang para ulama mengajak umat Islam untuk mencintai Rasulullah dan bersatu membentuk ukhuwah Islamiyah.
Walaupun pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat tradisi seperti ini belum berkembang namun jika kita melihat apa yang dilakukan saat penyelenggaraan haul berupa bacaan do’a yang dihadiahkan kepada yang bersangkutan juga kepada kaum muslimin dan muslimat secara umum, adalah sangat dianjurkan oleh Islam.
Allah SWT berfirman :
و الذين جآؤوا من بعدهم يقولون ربّنا اغفر لنا و لإخواننا الذين سبقون بالإيمان و لا تجعل في قلوبنا غلاّ للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (muhajirin dan anshor), mereka berdoa: ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang–orang yangberiman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (QS. Al–Hasyr : 10).
Peringatan haul sedianya diisi dengan menuturkan biografi orang-orang yang alim dan shaleh guna mendorong orang lain untuk meniru perbuatan mereka. Para keluarga mengadakan acara haul pada hari dan tanggal yang telah disepakati bersama keluarga, pada saat mereka mempunyai waktu senggang dan bisa berkumpul bersama.
Di pesantren-pesantren, haul untuk para pendiri dan tokoh-tokoh yang berjasa terhadap perkembangan pesantren dan syi’ar Islam diadakan bersamaan dengan acara tahunan pesantren, semisal khataman kitab akhir tahun, pertemuan wali santri, atau dzikir akbar tahunan.
Selanjutnya, bahwa hal-hal yang bisa dilakukan dalam acara haul, atau muatan peringatan haul tidak lepas dari tiga hal yaitu:
Pertama, tahlilan dirangkai dengan do’a kepada mayit.
Kedua, pengajian umum yang kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang dihauli, yang mencakup nasab, tanggal lahir/wafat, jasa-jasa, serta keistimewaan yang kiranya patut diteladani.
Ketiga, sedekah, baik diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi pada dua acara tersebut atau diserahkan langsung ke rumah masing-masing.
Untuk rangkaian acara yang pertama,biasanya tidak hanya sekedar membaca tahlil, akan tetapi tidak sedikit yang dibarengi atau didahului dengan khataman Al-Qur’an 30 Juz oleh para huffadh.
Menurut KH. M. Hanif Muslih, empat rangkaian acara inilah yang secara umum selalu dilakukan di event-event haul yang diselenggarakan di beberapa tempat di seluruh Jawa dan juga di seluruh Indonesia, mungkin juga di beberapa negara Islam di seluruh dunia.[11]
Memang sangat jauh perbedaannya antara praktek pelaksanaan haul di Indonesia dengan negeri Arab, di Arab peringatan haul hanya dilaksanakan secara sederhana sekali, biasanya rangkaiannya terdiri dari pembacaan biografi (manaqib) ulama yang dihauli dan bacaan al-Qur’an dan tahmid, tahlil dan lain-lain, berbeda sekali dengan di Indonesia.

[1] M. Hanif Muslih, Peringatan Haul Ditinjau dari Hukum Islam, PT. Karya Toha Putra, Semarang, 2006, Cet. I, hlm. 1
[2] Ibid., hlm. V
[3] H. Soeleiman Fadeli, Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliyah-Uswah, Khalista, Surabaya, 2007, Cet. I, hlm. 119
[4] Ibid., hlm. V
[5] Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU: Aqidah-Amaliah-Tradisi, Khalista, Surabaya, 2008, hlm. 81
[6] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Maktabah Al-Nahdhoh Al-Haditsah, Mekkah, t.th, XXIV, hlm. 314-315
[7] Muhyiddin Abdusshomad, Op. Cit., hlm. 92
[8] Ibid., hlm. 95
[9] Ibid., hlm. 98
[10] Ibid., hlm. 86
[11] M. Hanif Muslih, Op. Cit, hlm 2

















































1 comment: