TASAWUF DAN POLA HIDUP MATERIALITISME

halaqah
Tasawuf atau sufisme dan segala komponen ajarannya merupakan pengendali moral manusia. Keseluruhan konsep yang ditawarkan sufisme seperti zuhud, sabar, tawakal, dan termasuk qona’ah akan dapat mengurangi kecenderungan pola hidup konsumtifisme dan individualisme yang semakin menggejala di banyak dunia modern.
Sufisme dan Islam pada skala yang lebih luas, adalah bentuk tata aturan normatif yang menjajikan kedamaian dan ketenteraman sehingga ketika zaman menghadirkan keresahan-keresahan, seseorang dapat saja menjadikan sufisme atau tasawuf sebagai kompensasi positif. Yang jelas sufisme adalah suatu ajaran yang lebih banyak mengimplikasi langsung dengan hati, jiwa dan perasaan, sehingga ia bahkan hadir sebagai trend, mode dan semacamnya dalam masyarakat yang menginginkan kembali pada kebahagiaan sejatinya.[1] Karena tasawuf lebih menekankan pada moral, maka semakin bermoral semakin bersih dan bening (shofa) jiwanya.[2] Bukankah kebeningan hati dan kejernihan jiwa merupakan pangkal dari keselamatan jiwa dan memperoleh kesehatan mental.
Penyebab utama dalam diri manusia yang mengalami ganguan dan penyakit kejiwaan dalam pandangan tasawuf adalah kekosongan spritual. Padahal, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisis spritual. Sebab ada 3 alasan tasawuf sebagai terapi,
Pertama, tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman spritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas ketuhanan yang cenderung menjadi indikator dalam agama. Dalam ungkapan Wiliam James, seorang ahli ilmu jiwa Amerika, pengetahuan dari pengalaman tersebut disebut Neotic. Pengalaman keagamaan ini memberi sugesti dan pemuasan (pemenuhan kebutuhan) yang luar biasa bagi pemeluk agama.
Kedua, Kahadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Perasaan mistik, seperti ma’rifat, mahabbah, uns, dan sebagainya mampu menjadi moral force bagi amal-amal shalih. Dan selanjutnya, amal shalih akan membuahkan pengalaman-pengalaman mistis yang lain dengan tinggi kualitasnya,
Ketiga, dalam tasawuf, hubungan seorang dengan Allah dijalani atas rasa kecintaan, Allah bagi sufi, bukanlah Dzat yang menakutkan, tetapi Dia adalah Dzat yang sempurna, indah, penyayang, pengasih, kekal, al-Haq, serta selalu hadir kapanpun dan dimanapun. Hubungan antara hamba dengan Allah akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik, lebih baik bahkan yang terbaik, menghindarkan diri dari penyimpangan-penyimpangan perbuatan tercela karena hubungan mesra tersebut sebagai moral kontrol.[3]
Dengan ajaran tasawuf yang menambah moralitas akan mendorong manusia untuk memelihara diri dari menelantarkan kebutuan-kebutuhan spiritualitasnya. Hubungan perasaan mistis dan pengalaman spritual yang dirasakan oleh sufi juga dapat menjadi pengobat, penyegar dan pembersih jiwa yang ada dalam diri manusia. Dengan jiwa bersih, segar tentu akan dapat memperoleh kesehatan jiwa dan kestabilan mental, keharmonisan diri dan tentunya terpelihara kesehatan mentalnya.
Aturannya bagi orang sufi seharusnya kefakiran menjadi rasanya, sabar menjadi pakaiannya, ridha menjadi wahananya dan tawakal menjadi tingkah lakunya. Tidak boleh mencintai dunia selamanya walau memilikinya, karena kecintaannya pada dunia akan menodai kesucian kecintaannya pada Allah. Mencintai dunia melebihi kebutuhannya akan menjauhkannya dari ketentramannya jiwa.[4]
Maka jelaslah tasawuf dengan ajaran-ajarannya merupakan terapi untuk menanggulangi pola hidup konsumtifisme, materialitisme, individualisme dan macam-macam penyimpangan lain yang merupakan penyebab dari ketidak sehatan mental. Dengan menjalankan ajaran-ajaran tasawuf akan mengembalikan manusia dalam kebeningan hati, kebersihan jiwa yang nantinya menyejukkan dan menentramkan jiwa, itulah manifestasi dari kesehatan mental yang dilahirkan oleh tasawuf.

[1] K.H. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LkiS, 1994, hlm. 83
[2] Amin Syukur (etal), Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Waliosongo Press, 2001, hlm. 23
[3] Ibid., hlm. 25-26
[4] Al-Ghazali, Raudhah, Taman Jiwa Kaum Sufi, (terj) Muhammad Abu Hamid Luqman Hakim, Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 25











No comments:

Post a Comment