Yusuf putra Ya’kub pergi bersama-sama saudara-saudaranya untuk mengembalakan domba-domba keluarga mereka. Setiap orang membawa tongkat yang berat untuk membantu mereka mengarahkan gembalaan mereka dan untuk melindungi diri mereka dari binatang buas. Waktu itu Yusuf masih kecil. Pada suatu siang ia tidur di pangkuan salah seorang kakaknya.
Ketika terjaga, ia berkata kepada saudaranya, “maukah kalian aku ceritakan tentang mimpiku?” Mereka menjawab, “tentu!” Yusuf kemudian berkata: “aku melihat seakan-akan tongkatku terbenam ke dalam tanah, kemudian tongkat-tongkat kalian ditanamkan mengitari sekelilingnya. Tongkatku adalah yang terpendek, kemudian tongkatku tumbuh hingga mencapai langit. Tongkatku tegak di atas tanah dan berakar kuat yang kemudian akar-akarnya mendorong tongkat-tongkat kalian jatuh dekat tongkatku.” Mendengar itu, salah satu seorang saudaranya menjawab: “Putra Rachel itu mengatakan bahwa ia adalah tuan kita dan kita adalah budaknya.”[1]
Tujuh tahun kemudian, dalam mimpi yang lain, Yusuf melihat matahari, bulan dan bintang-bintang bersujud kepadanya. Seperti dikisahkan dalam al-Qur’an, kemudian Yusuf menemui ayahnya Ya’qub as, dan berkata “Wahai ayahku! Aku melihat dalam mimpiku sebelas bintang, matahari dan bulan. Aku lihat mereka sujud kepadaku” (QS. Yusuf: 4).
Ya’qub mengerti makna mimpi putranya, dan berkata: “Matahari dan bulan itu adalah ibu dan ayahmu, dan bintang-bintang itu adalah saudara-saudaramu”. Ya’qub menambahkan, “Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, supaya mereka tidak merencanakan tipu daya terhadapmu. Sungguh setan adalah musuh yang nyata bagi manusia!” Sesuai dengan Firman Allah:
قال يا بنيّ لا تقصص رؤياك على إخوتك فيكيدوا لك كيدا إن الشيطان للإنسان عدو مبين
Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)-mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”. (QS.Yusuf: 5)[1] Yadi Purwanto, Memahami Mimpi Perspektif Psikologi Islam, Yogyakarta: Menara Kudus, 2003, hlm. 184
No comments:
Post a Comment