CINTA DALAM AL-QUR’AN

CINTA
Secara lebih spesifik, bahasa Arab menyebut dengan enam puluh istilah jenis cinta, seperti ‘isyqun (dalam bahasa Indonesia menjadi asyik), hilm, gharam (asmara), wajd, syauq, lahf dan sebagainya, tetapi al-Qur’an hanya menyebut tujuh term saja, seperti:
a. Cinta mawaddah (ar-Rum: 31) adalah jenis cinta menggebu-gebu, membara dan “nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya.
b. Cinta rahmah (ar-Rum: 31) adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. la sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.
Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al-Qur'an, kerabat disebut al-arham, dzawi al-arham, yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu bersilaturrahim, atau silaturahmi artinya menyambung tali kasih sayang.
c. Cinta mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur'an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an-tamilu kulla al-mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama.[1]
d. Cinta syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al-Qur'an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, isteri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
e. Cinta ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al-Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra'fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (an-Nur: 2).
f. Cinta shabwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al-Qur'an menyebut term ini ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa ilia tashrif ‘anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min aljahilin (Yusuf: 33).[2]
g. Cinta syauq (rindu). Term ini bukan dari al-Qur'an tetapi dari hadits yang menafsirkan al-Qur'an. Dalam surat al-‘Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari hadits riwayat Ahmad; wa as ‘aluka ladzzata an-nadzari ila wajhika wa assyauqa ila liqaika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah-Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu. Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauzi dalam kitab Raudlat al-Muhibbin wa Nuzhat al-Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al-qalb ila al-mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta.
h. Cinta kulfah, yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positif meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al-Qur'an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, laa yukallifullah nafsan illa wus'aha (al-Baqarah: 286).[3]


[1] Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Besar, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2005, hlm. 106-107.
[2] Ibid, hlm. 107.
[3] Ibid, hlm. 108.












No comments:

Post a Comment